Fasisme Kontra Komunisme di Final Euro
Tertatih di permulaan Euro 2020, Spanyol mengharapkan dukungan publik sebagaimana 57 tahun lalu kala meladeni raksasa komunis.
PUBLIK Spanyol patut kecewa. Di hadapan publik sendiri, timnas Spanyol asuhan Luis Enrique ditahan imbang 0-0 oleh Swedia dalam laga pembuka Euro 2020 Grup E yang dimainkan di Stadion La Cartuja, Sevilla, 14 Juni 2021.
Bahkan akibat membuang beberapa peluang emas, bomber Álvaro Morata mendapatkan siulan dan ejekan dari fans. Padahal, Morata salah satu pemain senior yang paling diharapkan bisa memecah kebuntuan sekaligus memimpin tim muda Spanyol mengulang sukses di Piala Eropa 1964, 2008, dan 2012.
“Akan lebih baik ketika publik bisa mengapresiasi Anda ketimbang memberi siulan. Saya ingin bertarung bersama orang-orang yang mengapresiasi kami dan membantu kami melewati masa-masa sulit. Jika kami bermain dengan cara yang sama melawan Polandia, saya yakin peluang-peluang itu akan berubah jadi gol. Saya pikir Morata paham bagaimana mengatasinya dan di laga berikutnya dia akan mencetak gol,” ujar rekan setim cum pemain debutan Pedri González kepada Marca, 15 Juni 2021.
Baca juga: Piala Super Spanyol Sarat Drama
La Furia Roja (julukan Timnas Spanyol) berharap publik tetap setia mendukung di dua partai grup tersisa, kontra Polandia pada 19 Juni dan Slovakia empat hari berselang. Dukungan yang diharapkan itu sebagaimana dukungan di final Euro 1964, kala skuad muda Spanyol meladeni juara bertahan Uni Soviet di Stadion Santiago Bernabeu di bulan yang sama 57 tahun silam.
Tak jauh berbeda dari skuad Euro 2020, timnas Spanyol di Euro 1964 itu juga punya jalan sulit untuk sampai ke final. Pemain legendaris Spanyol Luis Suárez mengingat, di babak kualifikasi mereka susah payah untuk bisa menang 2-1 atas Irlandia Utara dan memetik skor yang sama di semifinal ketika bertemu tim kuat Hungaria lewat perpanjangan waktu.
“Memori yang paling dikenang di final itu adalah atmosfernya karena (stadion) Bernabéu sangat penuh. Kami sangat menderita di semifinal melawan Hungaria, jadi fans sangat penting keberadaannya di belakang kami. Mereka memberikan rasa aman dan membantu kami tetap tenang,” kenang Suárez di laman UEFA.
Baca juga: Santo Iker di Bawah Mistar
Di Euro kedua itu, Spanyol juga diisi para pilar muda minim pengalaman. Hanya Suárez yang punya pengalaman bermain di pentas internasional di antara skuad besutan José Villalonga kala itu.
“Kami bermain sebagai satu tim. Kami sangat kompak dan memahami satu sama lain. Di skuad hanya saya pemain yang punya banyak pengalaman internasional. Saya yang paling tua (29 tahun) dan sudah lama bermain di luar negeri. Kami bukan sekumpulan pemain top dan kerjasama tim serta dukungan luar biasa dari publik Spanyol memberi semangat bagi tim muda kami untuk bisa meraih sesuatu,” lanjutnya.
Pertarungan Ideologi Franco vs Khrushchev
Stadion Santiago Bernabéu bergemuruh tiada henti pada 21 Juni 1964. Stadion megah di distrik Chamartín, Madrid itu penuh sesak jelang final Euro 1964 yang mempertemukan Spanyol kontra Uni Soviet. UEFA mencatat 79.115 orang memenuhi Bernabéu, sementara suratkabar ABC menyebut 120 ribu penonton.
Diktator fasis Spanyol Generalísimo Francisco Franco menyaksikan langsung partai puncak itu dari tribun kehormatan. Kala ia menyapa, seantero Bernabéu serentak berdiri dan memberi aplaus.
“Di hadapan tim USSR (Uni Soviet), di mana bendera merah berkibar di atas stadion, di depan 600 jurnalis dari seluruh dunia dan di hadapan jutaan pemirsa televisi, 120 ribu penonton Spanyol memberi penghormatan kepada kepala negara. Sebuah gestur spontan rakyat Spanyol yang dipamerkan kepada Uni Soviet. Setelah 28 tahun masa damai, di balik setiap aplaus turut terdengar spirit 18 Juli (hari pertama Perang Saudara Spanyol, 18 Juli 1936),” tulis ABC edisi 23 Agustus 1964.
Baca juga: Sepakbola Soviet Era Stalin
Laga final itu jadi momen pertama Franco berkenan menjamu musuh komunisnya. Ia bahkan mengizinkan bendera palu-arit bersanding dengan Bandera de España di Bernabéu kendati Perang Dingin sedang panas-panasnya.
Empat tahun sebelumnya, Franco lebih suka timnasnya tidak bertanding di lapangan hijau ketimbang bertanding namun bertemu Uni Soviet. Franco masih menyimpan dendam lantaran Soviet ikut menyokong kaum Republiken berhaluan kiri di Perang Saudara Spanyol (1936-1939). Untuk itu Franco mencoba bernegosiasi dengan UEFA agar dua laga Spanyol kontra Uni Soviet dimainkan di negara netral. Tapi usulan itu ditolak Uni Soviet. Franco pun memaksa timnasnya mundur dari Euro 1960 kendati mesti kena denda dua juta franc Swiss dari UEFA.
Khrushchev pun menertawakan Franco yang memaksa Alfredo Di Stéfano dkk. mundur ketimbang bertemu Lev Yashin cs. di dua laga home-away pada babak perempatfinal Piala Eropa 1960.
“Partai perempatfinal Spanyol melawan Uni Soviet dijadwalkan pada 29 Mei di Moskow dan 9 Juni di Madrid. Tiket pertandingan di Moskow bahkan sudah habis terjual dan pada akhir April kedua pelatih telah menyerahkan daftar tim. Akan tetapi kabinet (pemerintahan Franco) memutuskan untuk menolak izin untuk tim Spanyol melawan Uni Soviet pada 25 Mei,” ungkap Juan Antonio Simón dalam “Football, Diplomacy, and International Relations during Francoism, 1937-1975” yang termaktub dalam Soccer Diplomacy.
Baca juga: Arena Sejarah Piala Eropa
Banyak pihak menyayangkan keputusan Franco. Pasalnya, Timnas Spanyol yang dilatih Helenio Herrera itu masih dipenuhi pemain top. Selain Alfredo Di Stéfano, ada Luis Suárez, Luis Del Sol, Francisco Gento, Antoni Ramallets, Joaquín Peiró, Chus Pereda, dan Joan Segarra.
“Kami pulang dengan kesedihan. Kami tidak bisa pergi ke Rusia. Padahal kami tertarik mengunjungi negeri yang masih jadi misteri bagi kami dan bagi kebanyakan orang Spanyol yang tak mengalami Perang Saudara atau Perang Dunia II. Saya ingat kami dikumpulkan di kantor federasi (sepakbola) di Madrid ketika mereka tiba-tiba mengatakan pertandingannya dibatalkan. Itu karena tekanan politik. Beberapa menteri mengizinkan tapi lainnya menolak. Tetapi Franco adalah bosnya dan dia berkata, ‘tidak’,” kenang Chus Pereda, dikutip Jimmy Burns dalam La Roja: A Journey through Spanish Football.
Rumor pun menyelimuti alasan di balik keputusan Franco itu. Yang paling diyakini adalah, Franco mengendus adanya konspirasi komunis setelah meneliti laporan kepolisian. Laporan kepolisian itu merangkum sejumlah media Uni Soviet yang mencoba mengompori spirit kaum separatis kiri di Spanyol untuk menggalang dukungan bagi Timnas Uni Soviet. Belum lagi pihak Khrushchev menuntut lagu kebangsaan Uni Soviet diperdengarkan bersamaan dengan bendera Uni Soviet yang diterbangkan dengan pesawat di langit Bernabéu.
Bagi Franco, tuntutan itu ibarat deklarasi perang terhadap negerinya. Spanyol kala itu dianggap sebagai benteng terakhir fasisme di Eropa.
Baca juga: Politik Dua Kaki Francisco Franco
Apapun alasan Franco, di Moskow Khrushchev “geli”. Dia meledek Franco yang memaksa timnasnya mundur.
“Seantero dunia tertawa melihat trik terbaru (Franco) itu. Dari posisinya sebagai bek ‘sayap kanan’ yang mempertahankan prestis Amerika, dia mencetak gol bunuh diri dengan melarang para pemain Spanyol bertanding melawan tim Soviet,” ujar Khrushchev meledek.
Dua tahun kemudian, Franco insyaf. Dia mulai lebih membuka diri. Adalah Menteri Luar Negeri Fernando María Castiella dan Menteri Sekretaris Negara José Solís yang meyakinkan Franco bahwa olahraga bisa jadi ujung tombak kepentingan politik luar negeri dan meningkatkan relasi internasional.
“Francoisme mulai mengandalkan gelaran olahraga sebagai alat konsolidasi identitas dan prestis nasional. Media massa pro-pemerintah juga mendukung dengan menyanjung Francoisme di masa perayaan 25 tahun masa damai usai Perang Saudara Spanyol. Olahraga juga memperkuat hubungan diplomatik Francoisme, terutama kerjasama mereka dengan Amerika Serikat dan pada akhirnya meretas jalan menuju Komunitas Ekonomi Eropa,” sambung Simón.
Baca juga: Ancaman Mussolini untuk Tim Azzurri
Langkah awal mewujudkan keterbukaan Franco dilakukan dengan mengizinkan tim basket Real Madrid memainkan tiga laga final FIBA European Champions Cup 1963 kontra CSKA Moskow. Franco lebih menggebu memanfaatkan olahraga sebagai propaganda kala Spanyol dipercaya jadi tuan rumah Piala Eropa 1964. Alasannya, Euro ke-2 itu akan disiarkan ke seluruh dunia lewat dua stasiun televisi, Eurovision dan Intervision.
Maka, Franco dengan bangga mau hadir ke tribun kehormatan Estádio Santiago Bernabéu untuk menyaksikan langsung final Spanyol kontra Uni Soviet. Ia pun harus melihat bendera palu-arit berkibar berdampingan dengan bendera negaranya.
Pada final yang dipimpin wasit Arthur Holland asal Inggris itu, Suárez dkk. bertarung sengit sejak awal laga. Berkat besarnya dukungan moril penonton, Chus Pereda mencetak gol pembuka ke gawang Lev Yashin di menit keenam kendati dua menit kemudian disamakan oleh Galimzyan Khusainov.
Skor itu bertahan hingga menjelang laga berakhir sehingga berpotensi akan dimainkan laga ulangan. Namun, enam menit sebelum pertandingan usai, Marcelino Martínez membukukan gol penentu.
Euforia pun memenuhi seisi stadion. Franco ikut senang. Spanyol juara Piala Eropa untuk pertamakalinya di rumah sendiri. Momen itu pun digunakan Franco untuk membalas ejekan Khrushchev pada 1960.
“Persatuan dan patriotisme kita telah dibuktikan kepada jutaan orang di berbagai belahan dunia yang menyaksikan pertandingan hebat ini lewat televisi,” kata Franco dikutip sepupu sang diktator, Francisco Franco Salgado-Araújo, dalam Mis Conversaciones Privadas con Franco.
Baca juga: Menggenjot Citra Fasis Lewat Sepakbola
Tambahkan komentar
Belum ada komentar