12 Sepatu Bola yang Hilang
Meski sekarang tak terlihat lagi, sepatu-sepatu ini dulu mewarnai lapangan sepakbola di berbagai tempat.
Sebagai cabang olahraga paling populer, sepakbola menjadi bahan obrolan orang di berbagai tempat, mulai televisi hingga warung kopi. Tak hanya jadwal plus hasil pertandingan dan para bintang lapangan, beragam hal lain seputar sepakbola juga menjadi “sorotan”.
Sepatu bola tak ketinggalan, menjadi bahan obrolan di banyak tempat meski tak diobrolkan seluas topik obrolan seputar pemain. Sama seperti permainan dan para pemain sepakbola, sepatu bola juga terus mengalami kompetisi, evolusi, regenerasi.
Meski sekarang praktis hanya Adidas, Nike, dan Puma yang mendominasi lapangan-lapangan, merek lain macam Asics, Diadora, Lotto, atau Mizuno tetap masih mewarnai berbagai pertandingan yang ada. Realitasnya agak berbeda dari masa lalu, ketika bisnis sepakbola belum sekuat sekarang. Merek-merek kecil macam Admiral, Cheetah Sport, Kronos, Penalty, Pony, Topper, atau Quassar di masa lalu ikut meramaikan pasar bisnis sepatu bola. Meski Adidas dan Puma sudah besar kala itu, merek-merek kecil tetap mendapat tempat dan bahkan bintang pemakai.
Berikut ini 12 sepatu bola yang pernah jaya tapi kini sudah hilang dari lapangan.
Admiral
Sepatu bola Admiral memang kalah tenar dibanding jersey-nya. Jersey Admiral tak hanya jadi sponsor resmi tim nasional Inggris sejak 1974 hingga Piala Dunia 1982, tapi juga banyak klub liga Inggris hingga awal 1990-an. Admiral ikut mempelopori replika kaos pemain untuk dijual ke para fans.
Prestasi itu memang tak bisa dicapai sepatu bola Admiral. Di Inggris saja, sepatu bola Admiral kalah jauh dari Umbro atau Mitre. Pemain-pemain Liga Inggris yang menggunakan sepatu bola Admiral hanya pemain-pemain biasa, bukan bintang top. Di luar Inggris, hampir tak ada pemain bintang yang mengenakan sepatu buatan mantan jurnalis Bert Patrick itu.
Tapi, keberadaan sepatu ini di Liga Inggris membuktikan bahwa persaingan bisnis sepatu bola di masa lalu masih memungkinkan pemain kecil bersaing dengan raksasa-raksasa macam Adidas atau Puma. Begitu persaingan bisnis sepatu bola makin ketat sejak paruh kedua 1980-an, Admiral dan banyak merek lain harus tersingkir. Di Piala Dunia Mexico 1986, sepatu Admiral sudah tak lagi terlihat.
Bintang pengguna: John Fashanu (Inggris).
Cheetah Sport
Pecinta sepakbola saat ini mungkin sedikit yang tahu sepatu bola satu ini. Selain mungkin namanya terdengar lucu, sepatu bola Cheetah Sport sudah lama menghilang. Pada pertengahan 1990-an saja, hanya beberapa pemain liga Eropa yang masih terlihat mengenakannya.
Muncul pada tahun 1960-an, Cheetah Sport menjadi pilihan banyak pemain mulai kiper hingga penyerang. Bintang-bintang top 1970-an macam kiper legendaris Inggris Peter Shilton atau kiper legendaris Italia Dino Zoff merupakan para pengguna sepatu asal Inggris ini.
Pada 1980-an makin banyak bintang lapangan yang mengenakan sepatu Cheetah Sport, terutama di Liga Italia. Bek Italia asal Inter Milan Guiseppe Bergomi merupakan salah satu penggunanya. Popularitas sepatu ini terus menanjak. Di awal 1990-an striker andalan Uruguay yang bermain di Inter Milan Ruben Sosa juga menjadi pemain yang dikontrak Cheetah Sport. Namun, paruh pertama 1990-an seperti menjadi klimaks bagi sepatu ini. Setelah Ruben Sosa, Cheetah Sport hampir tak terlihat lagi di kaki para bintang lapangan hijau.
Bintang pengguna: Dino Zoff, Eraldo Pecci, Giancarlo Marocchi, Guiseppe Bergomi, Loris Boni, Mozzini, Paolini Pulici, Peter Shilton, Roberto Cravero, Ruben Sosa, dll.
[pages]
Dunlop
Nama Dunlop mungkin lebih akrab di telinga para pecinta otomotif. Atau kalau pun akrab di telinga pecinta olahraga, Dunlop lebih familiar bagi para penyuka tenis ketimbang sepakbola. Dunlop memang fokus terjun ke cabang olahraga raket (tenis, badminton, squash).
Tapi Dunlop juga tak ingin ketinggalan menggali laba dari bisnis sepakbola. Selain membuat bola sepak, Dunlop juga memproduksi sepatu bola. Para pecinta Liga Inggris hingga awal 1990-an mungkin tak asing dengan sepatu Dunlop. Banyak pemain liga tertua di dunia itu yang menggunakan atau bahkan mendapat kontrak eksklusif sepatu buatan Inggris ini.
Awal 1990-an masih banyak pemain bintang Liga Inggris yang menggunakan sepatu bola Dunlop. Kiper legendaris Liverpool Bruce Grobbelaar salah satunya. Namun, Dunlop sepertinya tak mampu bersaing dengan para pemain lain di bisnis sepatu bola yang makin kemari makin adu kuat finansial. Setelah kedatangan Nike, praktis Dunlop menjadi merek yang tersingkir.
Bintang pengguna: Bruce Grobbelaar, Graeme Souness, Terry McDermott, Trevor Brooking, Trevor Stevens, Zico,
Gola
Sebagai produsen tertua sepatu bola (1905), Gola menjadi merek yang dikagumi banyak pecinta bola. Pemain bintang banyak yang mengenakan sepatu buatan Inggris ini, beberapa di antara mereka kemudian mendapat kontrak eksklusif.
Perkembangan sepakbola dan bisnis yang mengikutinya, berjalan beriringan dengan kemajuan sepatu Gola. Pada 1970-an hingga awal 1980-an, sepatu Gola menjadi pesaing berat Adidas ataupun Puma, yang usianya lebih muda. Gola antara lain menjadi pilihan bintang-bintang Liverpool dan beberapa tim di Liga Inggris.
Hingga awal 1990-an, sepatu Gola masih ikut mewarnai lapangan-lapangan di berbagai liga Eropa. Mantan kapten Chelsea Dennis Wise, yang mulai melakukan debut pada awal 1990-an, juga lama menjadi pengguna sepatu ini. Namun, ketatnya persaingan dari para pendatang baru macam Nike dan Reebok membuat Gola akhirnya hilang dari lapangan.
Bintang pengguna: Alan Whistle, Alec Lindsay, Dennis Wise, Ian Callaghan, Terry McDermott.
[pages]
Hummel
Flemming Povlsen dan kawan-kawan berhasil menekuk Jerman di final Piala Eropa 1992. Kemenangan itu bukan hanya menggembirakan pemain plus ofisial dan rakyat Denmark saja tapi juga orang-orang di perusahaan Hummel. Kostum tim juara plus mayoritas sepatu yang dikenakan pemain Denmark saat itu bermerek Hummel.
Alhasil, momen tersebut dimanfaatkan betul oleh produsen alat olahraga asal Denmark itu untuk mempromosikan produknya dan menggenjot penjualan. “Itu adalah bisnis yang bagus. Direktur pengelola Hummel, yang tampil dalam peluncuran versi kardigan kaos Meksiko, menghitung penjualan domestik saja bisa menghasilkan sepuluh juta kroner (£1 juta). ‘Itu adalah kemenangan pemasaran,’ kata ahli fesyen Klaus Berggreen. ‘Sungguh mengerikan saat Anda melihatnya sekarang, tapi sebagai publisitas, itu sangat fantastis’,” lanjutnya sebagaimana dikutip Lars Eriksen, Mike Gibbons, dan Rob Smyth dalam Danish Dynamite: The Story of Football’s Greatest Cult Team.
Bagi para penggemar tim “dinamit” Denmark atau bintang asal Denmark seperti Soren Larby atau Morten Olsen, sepatu berlogo dua busur panah ini mungkin tak asing. Sebagai salah satu produsen sepatu bola tertua, muncul pada 1923, Hummel bertebaran di lapangan-lapangan berbagai liga Eropa. Selain liga lokal Denmark, pengguna Hummel terutama berasal dari Liga Inggris dan liga-liga negara-negara tetangganya.
Meski kuat, sepatu bola Hummel punya kelemahan di harga: mahal. Jurnalis penggila bola Tim Lovejoy ingat betul di antara sekian banyak sepatu bola koleksinya, sepatu Hummel yang termahal. “Saya punya Pantofola d’Oros, Valsport Greenstars, dan ada masanya saya bermain dengan menggunakan sepasang Hummel Professionals berwarna mutiara seharga £280 yang menjadikannya sepatu termahal di dunia,” kenangnya dalam Lovejoy on Football: One Man’s Passion for the Most Important Subject in the World.
Tetap saja, sepatu Hummel sepatu legendaris. Selain bintang-bintang asal Denmark sendiri, bintang top dunia macam Glenn Hoddle (Inggris) atau Osvaldo Ardiles (Argentina) merupakan para pengguna sepatu Hummel. Hanya saja, popularitas Hummel kemudian merosot setelah persaingan bisnis sepatu bola makin ketat. Pertengahan 1990-an hampir pemain-pemain Denmark saja yang masih mengenakan sepatu ini. Selepas timnas Denmark tak lagi memperpanjang kontrak kostum mereka dengan Hummel, jersey apalagi sepatu Hummel pun hilang dari pandangan.
Bintang pengguna: Soren Larby dan mayoritas pemain tim nasional Dermark hingga akhir 1990-an, Glenn Hoddle, Lee Dixon, Osvaldo Ardiles, Paul Gascoigne, Nico Claesen, dan Vinny Samways.
Kronos
Saat mengantar Barcelona menjuarai Piala Champions tahun 1992, “begundal” Hristo Stoichkov namanya langsung meroket. Banyak klub Eropa langsung menaruh minat pada striker asal Bulgaria itu. Para produsen produk olahraga juga menaruh minat yang sama. Dengan mengontrak seorang bintang, mereka berharap produknya makin laris.
Tapi Stoichkov tetap teguh memakai sepatu Kronos. Entah apa sebabnya, sepatu buatan Italia itu terus menjadi pilihan Stoichkov hingga akhir kariernya.
Meski bukan merek top, yang dipakai bintang di masa puncak karier, sepatu Kronos pernah mewarnai lapangan-lapangan di berbagai liga Eropa dan Amerika Latin. Liga Italia sebagai pemakai terbanyak.
Meski hanya Stoichkov dan Abel Balbo (Argentina) yang mengenakannya saat namanya sedang berkibar, sepatu berlogo sabit terbalik itu menjadi pilihan banyak pemain-pemain top saat awal merintis karier profesional di berbagai liga Eropa. Sayangnya, persaingan bisnis sepatu bola yang makin ketat membuat Kronos akhirnya tersingkir. Setelah Stoichkov, tak ada lagi bintang yang memakai sepatu berbasis di Vicenza itu. Pada paruh kedua 1990-an sepatu Kronos sudah mulai jarang terlihat di liga-liga Eropa.
Bintang pengguna: Abel Balbo (sebelum kontrak dengan Diadora), Gabriel Batistuta (sebelum kontrak dengan Reebok), Hristo Stoichkov, Kjektil Rekdall, Maurizio Ganz, Paolo Sousa (sebelum kontrak dengan Kappa), Roberto Mancini (sebelum Asics).
[pages]
Le Coq Sportif
Sampai Piala Dunia Mexico 1986 usai, logo ayam dengan bingkai segitiga masih bertebaran di kaos ataupun sepatu pemain sepakbola di berbagai liga Eropa maupun Amerika. Le Coq Sportif, pemilik logo itu, merupakan produsen peralatan olahraga asal Prancis.
Mulai populer pada 1970-an, sepatu bola Le Coq Sportif tak hanya menjadi pilihan pemain-pemain di Liga Prancis tapi juga liga-liga lain di dunia. Bintang-bintang pada masa itu juga banyak yang mengenakan sepatu ini. Namun, hal itu tak berlanjut terus. Awal 1990-an sepatu Le Coq Sportif –dan juga jersey-nya– mulai jarang terlihat di berbagai gelaran pertandingan sepakbola. Kini, meski masih diproduksi, sepatu bola Le Coq Sportif tak lagi terlihat di liga-liga Eropa apalagi dunia.
Bintang pengguna: Gary Stevens, Glenn Hoddle, Osvaldo Ardiles (sebelum Hummel), Pat Van Den Hauwe, Roger Mila, Zico.
Line 7
Sebagai pemain yang ikut mengantar Jerman Barat menjuarai Piala Dunia 1990, Stefan Reuter menjadi incaran banyak klub besar setelah ajang sepakbola terbesar sejagat itu selesai. Juventus beruntung mendapatkan dia bersama beberapa pemain Jerman lain.
Seakan tak ingin kalah dengan klub, produsen-produsen alat olahraga pun berburu bintang-bintang untuk dikontrak. Produsen sepatu bola Prancis Line 7 berhasil mengontrak pemain dengan posisi bek kanan itu. Wajah Reuter tampil dalam lembaran-lembaran media yang mengiklankan sepatu Line 7.
Di masa 1990-an awal itu, sepatu Line 7 telah mencapai popularitas meski baru berusia sekira 10 tahun. Banyak pemain di liga-liga besar Eropa mengenakannya. Zenedine Zidane bersama Bixente Lizarazu dan Cristoph Dugarry merupakan pemain-pemain profesional yang di awal karier mereka mengenakan sepatu berlogo angka 7 itu.
Sayangnya, sepatu Line 7 tak berhasil adu kuat dalam persaingan dalam bisnis peralatan olahraga. Pada akhir 1990-an, sepatu Line 7 sudah jarang terlihat di liga-liga Eropa. Jangankan bintang, pemain-pemain yang dulu mengenakannya pun sudah beralih ke sepatu-sepatu lain yang produsennya lebih berduit.
Bintang pengguna: Alberigo Evani, Andy Todd, Brian O’Neill, Paul Stewart, Stefan Reuter.
[pages]
Patrick
Sebagai dua bintang yang bersinar pada akhir 1970-an hingga awal 1980-an, Michel Platini dan Kevin Keegan bersaing ketat baik di level klub maupun negara. Tapi Platini lebih sukses dalam prestasi. Selain menjadi motor ketika Prancis sukses menjuarai Piala Eropa 1984, Platini juga menjadi tulang punggung Juventus ketika merebut Piala Champions untuk kali pertama. Sementara, Keegan dan Inggris tak mampu berbuat banyak.
Persaingan kedua bintang juga merambat ke produk-produk komersil di mana banyak perusahaan mulai minuman hingga mobil menggunakan jasa Platini maupun Keegan sebagai bintang iklan mereka. Namun, ada satu yang membuat keduanya akur: sepatu bola Patrick.
Sepatu berlogo dua garis vertikal sejajar di bagian tumit itu dibuat pertamakali oleh Patrice Beneteau pada 1892. Sejak akhir 1970-an, Patrick berada di jajaran atas merek sepatu bola. Keegan dan Platini hanya dua dari banyak bintang yang mendapat kontrak dari Patrick, dan hanya sedikit dari sekian banyak pesepakbola yang menggunakan sepatu buatan Prancis itu.
Namun, bintang terang sepatu Patrick tak berlangsung lama. Pertengahan 1990-an sepatu itu tak lagi banyak terlihat. Setelah bintang Denmark Michael Laudrup gantung sepatu, tak terlihat lagi sepatu Patrick di pertandingan-pertandingan sepakbola Eropa maupun dunia.
Bintang pengguna: Frank Vercauten, Georges Grun (Belgia); Jean Marie Pappin, Michel Platini (Prancis); Kevin Keegan, Steve Staunton, Ray Wilkins (Inggris); Michael Laudrup (Denmark); Mark Lawrensen (Rep. Ireland).
Pony
Meski skandal suap sempat hampir menamatkan karier Paolo Rossi, bintang Juventus itu akhirnya berhasil menjawabnya dengan prestasi pada Piala Dunia 1982 di Spanyol. Rossi tak hanya menjadi pencetak gol terbanyak, tapi juga ikut mengantar Italia menjadi juara.
Bintang Rossi kembali bersinar. Tak hanya publik Italia, produsen alat olahraga Pony pun ikut gembira. Banyak anggota tim Italia saat itu yang menggunakan sepatu Pony. Tapi, Rossi punya pesona tersendiri. Wajar saja jika wajahnya yang terpampang di berbagai media sebagai bintang iklan sepatu bola Pony.
Pada 1980-an itu, sepatu Pony mencapai puncak popularitasnya. Meski tak sebanyak dekade sebelumnya, banyak pemain top baik di Liga Italia maupun liga-liga lain di Eropa yang menggunakan sepatu bola Pony. Di kejuaraan antarnegara atau Piala Dunia pun sepatu bola Pony umum terlihat hingga Piala Dunia 1982. Namun, pada paruh kedua 1980-an sepatu itu mulai jarang terlihat. Para pemain yang mengenakannya pun hanya di liga-liga. Praktis pada 1990-an sepatu Pony jarang terlihat lagi, kecuali jersey-nya yang sempat digunakan beberapa klub Inggris seperti Tottenham Hotspur.
Bintang pengguna: Antonio Carbrini, Billy Hamilton, Lee Sharpe, Martin O’Neill, Paolo Rossi, Radomir Antic, Roberto Bettega.
[pages]
Stylo-Matchmakers
Bagi para pecinta sepakbola saat ini, sepatu bola buatan Inggris ini mungkin hanya bisa dibayangkan. Hingga paruh pertama 1960-an, pengguna sepatu ini masih terbatas di Inggris dan beberapa negara Eropa saja. Popularitas Stylo-Matchmakers baru meroket pada 1960-an setelah bintang Manchester United asal Irlandia Utara George Best menggunakannya.
Selain mengontrak ekslusif Best, produsen Stylo-Matchmaker menggenjot penjualan dengan promosi dan mengeluarkan produk baru. “Georgie Best erat bekerjasama dengan produsen, Stylo Matchmakers International Ltd. untuk mengembangkan sebuah sepatu (Stylo-Matchmakers baru –red.),” tulis Rubber Journal Vol. 152.
Namun, pada awal 1980-an sepatu ini sudah jarang terlihat. Seperti terkena gempa dahsyat, sepatu-sepatu Stylo-Matchmakers akhirnya tak lagi terlihat di lapangan. Jangankan bintang, pemain-pemain biasa pun tak ada lagi yang memakainya. Gemerlap sepakbola Inggris –dan dunia– yang makin terang pada akhir 1980-an tak lagi diikuti Stylo Matchmakers.
Bintang pengguna: George Best, Zico (sebelum Le Coq Sportif)
Valsport
Valsport juga merupakan satu dari sedikit sepatu bola awal, berdiri pada 1920, yang bertahan hingga beberapa dekade. Dari semula terbatas digunakan pesepakbola Italia saja, seperti Fabio Capello (kemudian menjadi pelatih top), Valsport terus bertahan dan berkembang mengikuti perkembangan zaman.
Pada akhir 1980-an hingga awal 1990-an, Valsport menangguk untung dari kedigdayaan Liga Italia. Saat “Dream Team” AC Milan merajai sepakbola Eropa, setidaknya empat pemain inti klub itu merupakan pengguna –dengan kontrak ekslusif– sepatu Valsport. Meraka adalah Mauro Tasotti, Alessandro Costacurta, Daniel Massaro, dan Gianluigi Lentini.
Namun, paruh kedua 1990-an mulai membawa pergeseran pada sepatu Valsport. Ia mulai jarang terlihat kecuali di Liga Italia. Meski Stefano Fiore masih mengenakannya pada awal 2000, pemain-pemain lain hampir tak ada lagi yang mengenakan sepatu Valsport. Dan kini? Silahkan Anda cari tahu sendiri.
Bintang pengguna: Alberigo Evani, Alessandro Costacurta, Daniel Massaro, Fabio Capello, Gianluigi Lentini, Julio Cesar, Mauro Tasotti, Michel Padovano, Stefano Fiore.
[pages]
Tambahkan komentar
Belum ada komentar