Ujeng Suwargana, Jejak Spion Melayu
Dia bergerak bebas di luar negeri. Orang sipil yang mengetahui banyak rahasia tentara Indonesia.
Selama tinggal di wilayah Menteng, Jakarta Pusat, rumah Rosihan Anwar bertetangga dengan rumah Jenderal A.H. Nasution. Disitulah Rosihan - saat itu wartawan senior pendiri suratkabar Pedoman - berkenalan dengan Ujeng Suwargana. Bahkan usai bertemu Nasution, Ujeng kerap mampir di kediaman Rosihan.
“Dia bercerita mengenai kunjungannya ke pelbagai negara di Eropa, diantaranya negeri Belanda dan Amerika Serikat. Ceritanya menimbulkan kesan pada saya bagaikan hasil pekerjaan dan imajinasi seorang ‘spion Melayu’,” kenang Rosihan dalam Sejarah Kecil: Petite Historia Indonesia Jilid 1.
Rosihan sendiri sudah lama tahu sang pengusaha. Nama Ujeng Suwargana pada awal dekade 1960 dikenal sebagai juragan penerbit buku-buku pendidikan di Bandung. Sebagai mantan anggota Divisi Siliwangi dan sama-sama mendirikan Partai IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia), Ujeng juga dekat dengan Jenderal Nasution. Saat yang sama, Nasution telah menjabat sebagai orang nomor satu di Angkatan Darat.
Rosihan tak terlalu serius menanggapi kisah “spionase” Ujeng. Namun, menurut Rosihan tidak semua cerita Ujeng omong kosong belaka. Bahkan Willem Oltmans, wartawan kawakan Belanda yang akrab dengan Presiden Sukarno, meyakini dia sebagai seorang yang memiliki peran penting dalam sejumlah kegiatan politik melawan Sukarno.
“Saya telah banyak mendengar desas-desus tentang dirinya (Ujeng) bahwa ia bepergian ke Eropa Barat dan ke Amerika Serikat untuk menggulingkan kekuasaan di Jakarta,” tutur Oltmans dalam memoarnya Mijn Vriend Sukarnoyang yang dialihbahasakan dalam bahasa Indonesia berjudul Bung Karno Sahabatku.
Agen Intelijen?
Pada 14 Juni 1961 di Amsterdam, Oltmans untuk kali pertama bertemu dengan Ujeng Suwargana. Meski tampil sebagai orang sipil namun Ujeng tampak fasih memahami kondisi internal TNI AD. Tak heran memang, karena Ujeng merupakan teman akrab Jenderal Nasution. Namun Oltmans kadung menaruh kesan mencurigakan terhadap Ujeng.
Di Belanda Oltmans dikenal sebagai wartawan investigasi. Menurut Oltmans, beberapa laporan rekan-rekannya di Belanda menyebutkan Ujeng kerap wara-wiri mendatangi parlemen Belanda dan lingkungan wartawan. Dia mengumumkan sesuatu yang mencengangkan bahwa tak lama lagi akan ada pengalihan kekuasan militer oleh Jenderal Nasution dan kawan-kawannya di Jakarta. Tak diketahui persis apa motif Ujeng menyampaikan hal tersebut.
Setahun berselang, keduanya bersua lagi di Amerika Serikat. Oltmans saat itu dicekal negaranya sendiri karna vokal mengkritik kebijakan pemerintah Belanda atas Irian Barat. Mereka bertemu di restoran Greenwich Village, kota Manhattan. Ujeng tetap konsisten dengan ucapannya. Pertemuan itu, menurut Oltmans, menyiratkan telah dibentuknya Dewan Jenderal dengan tujuan khusus: menjatuhkan Bung Karno. Sementara itu, Jenderal Nasution direncanakan akan melenggang naik kursi kepresidenan menggantikan Sukarno.
“Atas pertanyaan saya, kapan coup-tentara itu akan dilaksanakan di Jakarta, jawabnya hanyalah: wait and see!” tutur Oltmans.
Asumsi Oltmans agak terpatahkan ketika gejolak politik yang terjadi adalah Gerakan 30 September 1965. Peristiwa itu menjadi tonggak runtuhnya kekuasaan Presiden Sukarno. Namun aksi yang dilancarkan komandan pasukan pengawal presiden, Letkol Untung itu juga menyasar Nasution – sosok yang digadang-gadang Ujeng mendongkel posisi Sukarno – sebagai korban. Beruntung, Nasution luput dari operasi penangkapan dan hanya mengalami luka ringan. Berbeda halnya dengan Jenderal Ahmad Yani dan rekan-rekan perwiranya yang gugur secara tragis.
Beberapa penelitian memperkuat dugaan Oltmans bila Ujeng punya jaringan kuat di Amerika Serikat. Pada 1967 Elliot Haynes, ketua Business International Corporation (BIC) yang hendak menjumpai Nasution mendiskusikan kemungkinan investasi modal asing di Indonesia harus melalui perantaraan Ujeng terlebih dahulu. Saat itu Ujeng telah menjadi dosen di keempat lembaga pendidikan angkatan bersenjata TNI: Seskoad, Seskowal, Seskoau, dan Seskopol. Dia juga pengajar di Pusdiklat Kejaksaan Agung
“Mempelajari komunisme adalah hobinya. (Ujeng) seorang muslim yang saleh, dia berpuasa sekarang karena kita berada di (bulan) Ramadhan,” ujar Haynes dalam laporannya bertajuk “Elliott Haynes ‘Indonesian Diary’” termuat di dokumen State Department 1964—1968.
Sejarawan Amerika Anthony C.A Dake dalam disertasinya yang dibukukan The Sukarno Files, 1965--1967: Chronology of a Defeat melampirkan laporan Ujeng kepada Sudjatmoko, Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat. Catatan yang tidak dipublikasikan berjudul “Persoalan ‘Dewan Jenderal’ dan perentjana ‘Gerakan 30 September’” tertanggal 27 Juni 1971.
Sebagai orang dekat Nasution, Ujeng mengetahui banyak seluk dalam Angkatan Darat. Pakar politik militer Universitas National Australia, Harold Crouch pernah mewawancarai Ujeng pada 15 Agustus 1973 untuk studi disertasinya. Kepada Crouch, Ujeng menuturkan tentang konflik di tingkat elite Angkatan Darat seperti, perseteruan antara Nasution dengan suksesornya, Jenderal Yani; adanya segelintir perwira senior yang tak menyenangi gaya hidup mewah Yani; beberapa tipikal para jenderal TNI AD.
“Ujeng adalah seorang warga sipil yang bekerja di dinas intelijen angkatan bersenjata,” tulis Harold Crouch dalam disertasinya yang dibukukan berjudul The Army and Politics in Indonesia (Militer dan Politik di Indonesia).
Sejauh apa kebenaran aktivitas intelijen Ujeng?
“Anggap sajalah cerita mengenai Ujeng Suwargana ini sebagai sejarah kecil, petite histori. Habis cerita,” demikian kata Rosihan Anwar.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar