Tamatnya Armada Jepang di Filipina (Bagian II – Habis)
Habis-habisan armada Jepang di Teluk Leyte. Gagal memanfaatkan momentum gegara faktor sepele.
KAMIKAZE yang artinya “Dewa Angin” jadi taktik “putus asa” spontan yang dilakoni para pilot Jepang sejak pembokongan Pearl Harbor (7 Desember 1941). Namun serangan dengan taktik pesawat bunuh diri yang terorganisir secara massal baru terjadi di Palagan Laut Sibuyan (24 Oktober 1944), bagian dari Pertempuran Teluk Leyte (23-26 Oktober 1944) di Filipina.
“Taktik-taktik kamikaze mengintegrasikan teknik-teknik inovatif yang didesain untuk mengeksploitasi kelemahan sistem pertahanana angkatan laut (AL). Menyerang secara bergerombol tapi seketika menyebar ketika sudah berada dalam jangkauan sistem pertahanan, membuat pesawat-pesawat itu sulit ditembak jatuh,” tulis Trent Hone di kolom majalah Naval History edisi Oktober 2020, “Countering the Kamikaze”.
Adalah Panglima Armada Udara ke-1 Laksamana Takijirō Ōnishi yang mengorganisirnya sebagai bagian dari “Operasi Shō-Gō”. Taktik buah pikiran Panglima Armada Gabungan Kaigun (Angkatan Laut/AL) Jepang Laksamana Soemu Toyoda itu untuk memukul balik armada-armada Amerika Serikat pasca-pendaratan di Pulau Leyte, 20 Oktober 1944. Meski berbasis di Manila, Armada Udara ke-1 bertugas menyokong Northern Force pimpinan Laksamana Jisaburō Ozawa yang bertugas jadi umpan untuk memancing Armada ke-3 Amerika di bawah Laksamana William Halsey.
Baca juga: Membidik Nyawa Panglima Armada Jepang
Taktik kamikaze dan tugas “memilukan” sekadar jadi umpan itu vital bagi rencana Toyoda di Pertempuran Teluk Leyte. Pertempuran laut terbesar ini tak kalah penting dan menentukan bagi Sekutu dan Jepang meski tak sekondang Pertempuran Midway (4-7 Juni 1942) atau Invasi Normandia (6 Juni 1944) di front Eropa.
“Pertempuran Teluk Leyte begitu penting artinya. Pertempuran yang merepresentasikan harapan terakhir Jepang sekaligus manuver signifikan terakhir angkatan lautnya. Tak kalah penting pula bagi Sekutu dan jutaan penduduk Filipina serta ribuan tawanan perang Sekutu karena berujung pada Pembebasan Filipina dari pendudukan Jepang,” ungkap Mayor Laut (Purn.) Thomas J. Cutler di kolom majalah Naval History edisi Oktober 1944, “Greatest of All Sea Battles”.
Operasi Shō-Gō menjadi upaya terakhir Armada Gabungan Jepang untuk mempertahankan Filipina. Terlepas dari pendaratan Panglima Sekutu Area Pasifik Barat Daya Jenderal Douglas MacArthur di Leyte Utara pada 20 Oktober 1944, Toyoda berharap bisa memukul balik armada Amerika untuk mengucilkan pasukan MacArthur di darat.
Namun Sekutu punya armada lebih besar. Terdiri dari Armada AL Amerika ke-3 (Laksamana William Halsey), Armada AL Amerika ke-7 (Laksamana Thomas Kinkaid), dan Gugus Tugas AL Australia ke-74 (Laksamana John Collins). Ketiga armada di bawah komando Panglima Armada Pasifik Laksamana Chester Nimitz ini berkekuatan lebih dari 300 kapal, termasuk delapan kapal induk, sembilan kapal induk ringan, 12 kapal tempur, 24 kapal penjelajah, dan 116 kapal perusak.
“Kalau Filipina jatuh, maka gentinglah kedudukan armada Jepang. Menurut Toyoda, jatuhnya Filipina akan memutus lalu lintas laut antara Jepang dan daerah selatan (Indonesia) yang kaya minyak. Andaikata Filipina jatuh, maka armada Jepang tidak bisa mendapat pasokan minyak dari Indonesia (Tarakan). Armada Jepang di Singapura juga tak bisa mendapat amunisi karena hanya bisa dibikin di Jepang sendiri. Maka, Filipina harus dipertahankan,” tulis P.K. Ojong dalam Perang Pasifik.
Dengan sisa Armada Gabungan yang ada, Toyoda dalam “Operasi Shō-Gō” menyebar empat gugus pasukan tempurnya. Total, dia mengerahkan 67 kapal perangnya dibantu Armada Udara ke-1 yang mayoritas pilot kamikaze, sebab pilot-pilot berpengalaman Jepang sudah banyak gugur di Pertempuran Midway (4-7 Juni 1942), Pertempuran Laut Filipina (19-20 Juni 1944), dan Pertempuran Udara Formosa (12-16 Oktober 1944).
Sialnya, Central Force atau gugus pasukan utama armada pimpinan Laksamana Takeo Kurita sudah harus balik kanan setelah diserang dua kapal selam Amerika di Palagan Selat Palawan, 23 Oktober 1944 pagi. Menyisakan tiga pasukan lainnya untuk berjibaku.
Drama di Tanjung Engaño
Di palagan laut Sibuyan pada 24 Oktober pagi, sekira 50 pesawat kamikaze Armada Udara ke-1 Jepang meneror Gugus Tugas 38.3 (Laksda Frederick Sherman) dan Gugus Tugas 38.2 (Laksda Gerald Bogan). Walau mendapat perlawanan sengit pesawat-pesawat Amerika, serangannya mengenai kapal induk ringan USS Princeton.
Di hari yang sama di Selat San Bernardino, Gugus Tugas 34 (Laksdya Willis A. Lee) dan Gugus Tugas 38.4 memburu armada Central Force (Laksamana Kurita) dan Southern Force (Laksamana Shōji Nishimura) dengan keunggulan radarnya.
Meski harus kabur dari Selat Palawan dengan kehilangan dua kapal penjelajah, Kurita setidaknya masih punya delapan kapal penjelajah berat, dua penjelajah ringan, 15 kapal perusak, dan lima kapal tempur termasuk kapal tempur super Yamato yang jadi pusat komando Kurita. Kelemahannya, mereka tak punya perlindungan udara. Mereka hanya bisa mengharapkan bantuan pesawat dari sejumlah kapal induk di Northern Force di bawah Laksdya Jisaburō Ozawa.
“Sialnya pemancar radio Ozawa rusak. Maka ketika Kurita diserang pada 24 Oktober, Kurita bertanya-tanya kenapa pesawat dari Ozawa tidak datang menolong,” sambung Ojong.
Baca juga: Yamato Berjibaku
Serangan itu mengakibatkan kapal tempur Musashi lumpuh hingga karam menewaskan 1.100 kru. Yamato mengalami kerusakan tapi masih bisa bermanuver menghindar dari serangan-serangan udara lanjutan armada Halsey.
“Centra Force (Jepang) mengalami kehancuran hebat menurut laporan-laporan serangan. Saya akan terus mengarah ke utara dengan tiga grup untuk menyerang kapal induk-kapal induk (Ozawa) saat pagi,” bunyi pesan radio Halsey kepada Nimitz dan Kinkaid, sebagaimana yang dikenang Halsey di majalah Proceedings edisi Mei 1952.
Namun sebelum itu pada 25 Oktober 1944 dini hari di Selat Surigao, armada Second Striking Force pimpinan Laksdya Kiyohide Shima dan armada Southern Force pimpinan Laksamana Nishimura lebih dulu digempur Armada ke-7 Amerika.
“Nishimura betul-betul masuk perangkap. Dari semua kapal perangnya, hanya satu yang tak karam: kapal perusak Shigure. Armada Shima lebih selamat. Cuma penjelajah ringan Abukuma rusak. Sisanya masih bisa melarikan diri dari perangkap (Komandan Gugus Tugas 77.2, Laksamana Jesse) Oldendorf,” tambah Ojong.
Sebetulnya ada satu momen genting yang bisa dimanfaatkan Jepang ketika Halsey dengan Armada ke-3 sudah terpancing armada Ozawa hingga ke Tanjung Engaño di ujung utara Pulau Luzon pada 25 Oktober pagi. Jika bisa dimanfaatkan, maka semestinya Kurita yang mengarahkan kapal-kapalnya kembali ke Teluk Leyte bisa memangsa ratusan kapal angkut MacArthur di pesisir Leyte yang lepas dari perlindungan Halsey.
Namun momentum emas itu tak bisa dimaksimalkan gegara rusaknya pemancar radio Ozawa yang berkedudukan di kapal (flagship) induk Zuikaku. Padahal, Nimitz dan Kinkaid sempat panik setelah tahu kapal-kapal pendaratan Sekutu itu tak terlindungi Armada ke-7.
“Di mana Lee? Kirim Lee!”seru Kinkaid dalam pesan radionya pada Halsey.
“Di mana Task Force (Gugus Tugas) 34 Laksamana Lee?” Nimitz menimpali.
Insyaf terpancing Ozawa, Laksamana Halsey segera memerintahkan sebagian besar armadanya balik kanan. Tinggal Gugus Tugas 38 (Laksdya Marc Mitscher) dengan dua kapal induk, USS Lexington dan USS Essex, yang terus memburu Ozawa.
“Saya mengakui kesalahan fatal ini yang saya lakukan selama Pertempuran Teluk Leyte,” sesal Halsey.
Sekira pukul 1.30 siang, Zuikaku terdeteksi. Sejam berselang, ia digempur 21 pesawat pembom tukik SB2C Helldiver dari Lexington dan Essex. Kapal induk veteran Pembokongan Pearl Harbor terakhir itu tenggelam. Ozawa terpaksa memindahkan pusat komandonya ke penjelajah ringan Ōyodo.
“Ozawa sempat ingin melakukan bunuh diri karena kekalahan itu tapi kemudian dibujuk untuk mengurungkan niatnya oleh beberapa perwiranya karena Ozawa adalah satu-satunya laksamana yang terbilang berhasil menjalankan misinya (memancing Halsey),” ungkap Vann. C. Woodward dalam The Battle for Leyte Gulf.
Armada Jepang kehilangan total 26 kapal perangnya dan 12 ribu nyawa pelautnya, termasuk Laksamana Nishimura. Sedangkan Amerika rugi 11 kapal perang dan sekira 3.000 pelautnya. Harga yang mahal bagi Sekutu untuk merebut Filipina dari upaya terakhir armada Jepang.
“Sesudah pertempuran laut di Teluk Leyte ini, armada Jepang sebagai fighting team sudah tidak ada lagi. Pertempuran laut ini sungguh-sungguh menentukan. Sesudah itu, tamatlah cerita armada Jepang, kebanggaan (Laksamana Isoroku) Yamamoto, penciptanya,” tandas Ojong.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar