Slamet Rijadi Frustrasi
TNI sempat kesulitan melawan tentara Republik Maluku Selatan. Bahkan Slamet Rijadi pernah frustrasi.
Tentara Nasional Indonesia (TNI), yang pada 1950 disebut Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS), tidak mudah menghadapi Angkatan Perang Republik Maluku Selatan (RMS). Panglima tentara RMS pernah dipimpin oleh Daniel Jacob Samson, mantan Sersan Mayor KNIL. RMS yang eksis sejak proklamasi pada 25 April 1950 terbilang kuat, meski jumlahnya kalah banyak.
RMS diperkuat para mantan tentara kolonial Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL) yang menolak bergabung dengan TNI/APRIS. Sumber militer Indonesia menyebut ada keengganan para bekas KNIL menjadi satu kesatuan dengan bekas musuh mereka. Sumber-sumber Indonesia nyaris tidak mau tahu tentang adanya pembunuhan orang Ambon di awal revolusi kemerdekaan. Sebagian orang Ambon pun memendam dendam atas peristiwa di masa bersiap itu. Sehingga tidaklah mengherankan jika ada anggota KNIL Ambon yang terlibat Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) Westerling di Bandung, peristiwa keributan di Bioskop Rex di Malang, dan peristiwa Andi Azis di Makassar.
Pasukan TNI di bawah pimpinan Letnan Kolonel Slamet Rijadi mendarat di Hitu dan Tulehu, Ambon pada 28 September 1950. TNI berharap dalam tiga sampai empat hari Ambon bisa direbut dari tangan RMS.
“Harapan ini hampir terwujud tapi hanya karena RMS kehabisan amunisi. Namun kemudian pasukan RMS berhasil merampas amunisi dalam jumlah yang amat besar dalam satu serangan balik ke Hitu,” catat Dieter Bartels dalam Di Bawah Naungan Gunung Nunusaku: Muslim Kristen Hidup Berdampingan di Maluku Tengah.
Baca juga: Mantan KNIL yang Menolak Masuk TNI
TNI mengerahkan 17 batalyon infanteri atau sekitar 11 ribu personel. TNI tak hanya mengerahkan pasukan infanteri tapi juga Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Sementara itu, Angkatan Perang RMS hanya berkekuatan 1.500 orang. Selain bekas KNIL, yang di antaranya bekas baret merah atau baret hijau, ada juga sukarelawan dari pemuda dan pelajar.
“Seorang perwira Australia yang ditempatkan di makam pahlawan (war cemetary) di Ambon memperkirakan 4.000–5.000 serdadu TNI tewas, sementara di pihak RMS hanya 100 personel dan 400 sukarelawan yang tewas. Korban terbesar adalah dari penduduk sipil di mana sekitar 5.000–8.000 orang kehilangan nyawa,” tulis Bartels.
Kondisi itu memperlihatkan betapa terlatihnya bekas KNIL yang jadi tulang punggung pertempuran RMS. Sementara itu, standar tempur batalyon-batalyon infanteri TNI masih di bawah bekas KNIL.
Kesulitan yang dialami TNI membuat Slamet Rijadi yang berusia 23 tahun menjadi frustrasi. Jago tempur asal Solo itu, dalam kemarahannya yang tak terkendali, berteriak akan membinasakan semua orang Ambon.
“Bagaimana dengan saya?” tanya Kapten Joost Muskita yang orang Ambon tapi kelahiran Magelang.
Baca juga: Slamet Rijadi Masa Pendudukan Jepang
Seperti kisahkan oleh Bartels, Slamet Rijadi kemudian minta maaf karena sedang sulit mengendalikan amarahnya. Setelah kemarahan yang tak terkendali itu mereda, Slamet Rijadi tak hanya mendengar masukan Joost Muskita, tapi juga menjadi insyaf akan kualitas militer dan keberanian orang Ambon.
Menurut Benjamin Bouman dalam Van Driekleur tot Rood Wit: De Indonesische Officieren uit het KNIL: 1900–1950, Joost Muskita yang pernah jadi komandan kompi Barisan Tjakra Madura adalah perwira operasi TNI dalam operasi penumpasan RMS. Joost Muskita bekerja di bawah Slamet Rijadi.
Joost Muskita berada pada posisi tidak mudah ketika menjadi perwira operasi TNI dalam menghadapi RMS. Dia harus melawan saudara sesukunya. Tidak banyak yang tahu bahwa kiprah Joost Muskita melawan RMS ditentang ayahnya yang mantan Sersan KNIL. Koran Niewsbladvan het Noorden, 6 Januari 1978, menyebut ayahnya menolak untuk berbicara dengannya selama sepuluh tahun. Untungnya, menurut istri Joost Muskita, Henriette Mans Muskita-Latuharhary, ibunya masih mau berpihak pada anaknya itu.
Slamet Rijadi dan pasukannya memang berhasil mencapai kota Ambon, yang sempat jadi pusat RMS. Dengan sebuah panser yang dikendarai seorang keturunan bule Depok, Kapten Hermanus Lodewicus Gerardus Klees, Slamet Rijadi tiba di muka Benteng Nieuw Victoria, kota Ambon, pada 4 November 1950.
Baca juga: Kegagalan Slamet Rijadi di Bulan Ramadan
Slamet Rijadi mengira daerah itu sudah bebas hingga dia berani keluar dari kubah kendaraan lapis baja itu. Setelah keluar dari panser, Slamet Rijadi kena hantam peluru sniper RMS. Klees pun menjadi ambulans bagi Slamet Rijadi yang tidak selamat.
TNI memang beruntung karena memiliki perwira berdarah Ambon. Tidak hanya Kapten Joost Muskita, tapi juga Kapten Leo Lopulisa. Berdasarkan catatan Ben van Kaam dalam The South Moluccans: Background to the Hijackings yang dikutip Bartels, pada akhir 1950 sebuah acara Natal bersama diatur Leo Lopulisa.
Natal bersama itu melibatkan anggota RMS yang ditawan TNI dan anggota-anggota TNI dari berbagai golongan termasuk Islam dari Aceh. Orang Aceh, yang dulu diperangi KNIL asal Ambon, pada Desember 1950 itu menjadi golongan pertama yang memberi hadiah kepada tawanan RMS itu.
Setelah akhir 1950, RMS terusir dari Ambon dan memilih bergerilya di Seram hingga awal 1960-an di mana Dr. Soumokil memimpin perang gerilyanya. Di masa Presiden Sukarno, selalu ada pengampunan untuk para pemberontak. Bekas RMS yang menyerah tidak hanya diperlakukan dengan baik, tapi juga diaktifkan sebagai anggota TNI.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar