Sersan Mayor Bernama Sofia
Bagaimana seorang aktris kenamaan memulai karirnya dari situasi peperangan.
Di Garut, Otang (88) masih ingat peristiwa itu. Sekira tahun 1947, sebuah pertunjukan drama berjudul Nantikan Aku di Seberang Jembatan Emas (karya Mayor Mohamad Rivai, seorang perwira Divisi Siliwangi) telah digelar. Rakyat pun menyambut secara antusias drama yang dimainkan oleh para prajurit tersebut. Itu terbukti dengan adanya permintaan waktu pertunjukan: dari hanya dua hari menjadi empat hari.
“Orang berbondong-bondong datang ke lapangan Talun (yang menjadi tempat pertunjukan itu diadakan) hanya untuk cari hiburan di tengah perang,”ungkap eks anggota lasykar BPRI (Barisan Pemberontak Rakjat Indonesia) Bandung itu.
Salah satu pemain drama yang memukau dan menjadi buah bibir para penonton adalah seorang prajurit perempuan. Namanya Sersan Sofia, istri dari Kapten Edi Endang, seorang perwira di lingkungan Divisi Siliwangi wilayah Garut. Dalam pertunjukan tersebut, Sofia berperan sebagai ibu dari seorang pejuang.
“Dia memang sudah memiliki watak sebagai seorang pemain pentas,” ujar Mohammad Rivai dalam biografinya Tanpa Pamrih Kupertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Tak aneh, karena penampilannya yang mengesankan itu, Sofia kemudian banyak dilirik para produser pementasan sandiwara. Bahkan pada Desember 1948, aktor Ramli Rasjid mengajaknya bergabung dengan Tan Wong Bros Film untuk ikut bermain dalam film yang berjudul Air Mata Mengalir di Tjitarum. Menurut majalah Varia edisi 7 November 1974, Sofia didapuk sebagai pengganti Miss Rukiah (aktris terkenal saat itu), yang keburu meninggal dunia.
Seniman Pejuang
Sofia dilahirkan di Bandung pada 12 Oktober 1924 dari pasangan Apandi dan Sumirah. Dalam wawancaranya dengan Buana Minggu pada 1982 (kemudian dikutip dalam obituarinya pada Buana Minggu edisi 27 Juli 1986), dia sendiri tak menyebut secara detail bagaimana masa kecilnya di kota kembang tersebut. Yang jelas, pada usia 14 tahun Sofia sudah menikah dengan seorang pemuda Bandung bernama Edi Endang.
Walaupun sudah menikah di usia belia, itu tidak menjadikannya terhalang mewujudkan impiannya menjadi seorang seniman. Bakat seninya semakin terasah ketika era pendudukan militer Jepang, dia aktif di Irama Masa. Karirnya di kelompok seni Jakarta itu berawal dari hanya sebagai pembawa iklan hingga menjadi pemeran utama .
17 Agustus 1945, Indonesia menyatakan diri sebagai negara merdeka. Api revolusi pun menggelegak dalam setiap dada anak muda. Tak terkecuali di dalam dada Sofia dan Edi. Mereka coba mencari cara untuk bergabung dengan kelompok-kelompok pejuang. Sofia sendiri lantas memilih aktif bergerak dalam barisan propaganda di Bandung.
Sembilan bulan setelah proklamasi, tokoh intel Indonesia Kolonel Zulkifli Lubis mendirikan Field Preparation (Persiapan Lapangan). Tanpa banyak pertimbangan, Sofia dan Edi langsung mendaftarkan diri sebagai anggota. Mereka diterima: Sofia diberi pangkat sersan mayor sedang Edi diberikan pangkat kapten.
Field Preparation (FP) adalah salah satu unit khusus intelijen yang dibentuk oleh Zulkifli Lubis. Menurut Ken Conboy dalam Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia, FP memiliki fungsi melaksanakan pengamatan dan mempersiapkan situasi lapangan dengan menggalang dukungan bagi kepentingan Republik di seluruh Indonesia. Anggotanya terdiri dari berbagai macam latar belakang profesi: dari alumni PETA (Pembela Tanah Air) hingga seniman. Bahkan FP pun menampung para eks narapidana “alumni” Nusakambangan.
Kehilangan Suami
Sebagai anggota FP, Sofia dan Edi ditempatkan di Purwakarta. Belum lama mereka tinggal di sana, Belanda keburu melakukan agresinya yang pertama pada 21 Juli 1947. Kedua sejoli itu kemudian menyingkir ke Garut. Namun sesampainya di sana,mereka harus berpisah: Edi bergerilya di hutan sedangkan Sofia tetap bertahan di kota.
Kendati mereka berada di dua tempat yang berbeda, kontak tetap terjaga. Hingga suatu hari, Sofia mendapat kabar suaminya diculik lalu dibunuh secara kejam oleh Lasykar Sabilillah, sebuah unit yang menjadi bagian kelompok Darul Islam/Tentara Islam Indonesia. Peristiwa itu terjadi di Kampung Bungur, Desa Samida pada 23 Oktober 1947.
“Berdasarkan hasil penelusuran saya, almarhum suami Bu Sofi itu katanya dimasukan ke dalam keranjang bambu lalu ditusuk-tusuk bambu runcing. Dalam kondisi sekarat, ia kemudian dihanyutkan ke Sungai Cimanuk,”ungkap Yoyo Dasriyo, jurnalis cum seniman Garut yang pernah saya wawancarai pada 2013.
Merasa bertanggungjawab terhadap anak-anaknya, Sofia lantas mengundurkan diri dari dunia ketentaraan. Dia kemudian nekad balik ke kota Bandung yang sudah diduduki oleh Belanda dengan menyamar sebagai istri tukang minyak. Sesampai di sana, Sofia tinggal bersama mertuanya dan membuka usaha warung nasi.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar