Pasukan Perdamaian Indonesia di Gaza
Krisis Suez menadai kiprah pasukan perdamian Indonesia untuk kali pertama. Mereka bertugas untuk misi kemanusiaan, mengalami suka-duka di negara berkonflik, termasuk berhadapan dengan pasukan Israel.
Akhir pekan lalu, slogan bertuliskan “All Eyes on Rafah” memenuhi jagat media sosial seluruh dunia. Seruan yang artinya “Semua Mata tertuju pada Rafah” itu muncul menyusul serangan kejam tentara Israel atas warga Palestina di Rafah, perbatasan Jalur Gaza, dan Mesir. Aksi itu memakan korban jiwa di pihak rakyat sipil pengungsi Palestina, termasuk perempuan, anak-anak dan bayi. Dalam perang, kelompok rentan seperti itulah yang sepatutnya dilindungi.
Dunia internasional mengecam tindakan Israel. Namun, sampai hari ini perang masih berkecamuk antara pasukan militer Israel dan milisi Hamas di Palestina. Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto mewacanakan pengiriman pasukan perdamaian Indonesia ke Palestina. Gagasan itu disampaikan Prabowo dalam dialog keamanan “Shangri-La Dialogue” ke-21 di Singapura, Sabtu, 1 Juni 2024. Selain itu, Menhan Prabowo juga menyatakan pemerintah Indonesia siap mengevakuasi warga Palestina yang terluka dan merawatnya di rumahsakit Indonesia.
“Kami berupaya sebisa mungkin melakukan bantuan kemanusiaan. Jika diperlukan dan jika diminta oleh PBB, kami siap untuk menyumbangkan pasukan penjaga perdamaian yang signifikan untuk menjaga dan memantau gencatan senjata yang prospektif ini,” kata Prabowo, dikutip dari tayangan resmi Shangri-La Dialogue.
Berkaca dari sejarah, Indonesia sudah beberapa kali mengirimkan pasukan perdamaian ke negara-negara yang dilanda perang atau konflik bersenjata. Pertama kali Indonesia mengirimkan pasukan perdamaian ketika Krisis Suez pada paruh kedua 1950. Inilah cikal-bakal pasukan perdamaian Indonesia yang lebih dikenal dengan nama Kontingen Garuda.
Krisis Suez terjadi karena Mesir menasionalisasi Terusan Suez yang berada di wilayahnya. Nasionalisasi itu menyebabkan kepentingan ekonomi Inggris dan Prancis selaku pemegang saham Terusan Suez terganggu. Pada Oktober 1956, Inggris, Prancis, dan sekutu mereka Israel menggempur Mesir. Israel lebih dulu melancarkan aksi bersenjata dengan menyerang Mitla Pass di wilayah Sinai.
Agresi yang dilancarkan Israel ke Mesir memprihatinkan dunia internasional. Resolusi Majelis Umum PBB pada 7 November 1956 kemudian memutuskan pembentukan pasukan darurat internasional untuk dikerahkan ke Mesir. Sejumlah negara seperti Selandia Baru, Norwegia, Colombia, India, Kanada, Indonesia, Pakistan, Denmark, Rumania, Birma, dan lainnya bersedia menyediakan tentara untuk diperbantukan menjadi pasukan perdamaian.
Baca juga: Nasionalisasi Terusan Suez
Menurut Dinas Sejarah TNI AD dalam Sejarah TNI-AD 1945—1973, pasukan Indonesia yang bertugas sebagai polisi PBB itu terdiri dari 3 kompi pasukan infanteri berkekuatan 559 personel. Mereka dipilih dari pasukan-pasukan Tentara Teritorium (TT) IV Diponegoro (Jawa Tengah) dan TT V/Brawijaya (Jawa Timur). Untuk mempimpin pasukan ini ditunjuklah Letnan Kolonel Hartoyo.
Bukan sembarang prajurit yang bisa terpilih masuk ke dalam pasukan khusus perdamaian Indonesia. Pada tingkatan komandan dan wakil komandan, harus lulusan Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (SSKAD). Tingkatan perwira setidaknya lulusan Pendidikan Perwira Lanjutan I. Sementara itu, bintara-prajurit merupakan lulusan depot batalion. Sebelum diberangkatkan, KSAD Letnan Jenderal Abdul Haris Nasution membekali mereka dengan wejangan.
“Tugas saudara-saudara adalah tugas negara, tugas terhadap PBB, tugas terhadap negara sahabat kita (Mesir) yang kita hormati. Tugas ini adalah tugas yang pertama bagi kita di luar negeri yang penuh ujian dan pelajaran. Karena itu laksanakan tugasmu sebaik-baiknya, dan ingatlah tiap prajurit adalah duta negara dalam arti yang sesungguhnya,’ kata Pak Nas seperti dikutip Dinas Sejarah TNI AD.
Baca juga: Nasib Tragis Anak Emas Jenderal Nasution
Pada 8 Januari 1957, pasukan perdamaian Indonesia diberangkatkan dengan pesawat C-124 Globe Master dari Angkatan Udara Amerika Serikat menuju Beirut, ibu kota Libanon. Dari Beirut pasukan dibagi dua, sebagian menuju ke Abu Suweir dan sebagian ke Al Sandhira. Selanjutnya pasukan di El Sandhira dipindahkan ke Gaza, daerah perbatasan Mesir dan Israel, sedangkan kelompok komando berada di Rafah. Di tengah menjalani misi, komandan Batalion Garuda I berganti dari Letnan Kolonel Hartoyo ke Letnan Kolonel Suadi Suromihardjo.
Di daerah penugasan, pasukan perdamaian Indonesia dikenal dengan nama Batalion Garuda I. Tugas mereka terbilang menantang dan berbahaya. Mulai dari menjaga kamp UNEF, menjaga lalu-lintas masuk padang gurun Sinai, hingga berhadapan langsung dengan pasukan-pasukan Israel unutk menjaga sumber air. Berbagai suka dan duka dialami masing-masing personel Batalion Garuda.
Sersan Mayor Muksin, salah satu anggota Batalion Garuda I yang bertugas di Teluk Akaba, mengisahkan suka dan duka pengalamannya bertugas jadi pasukan perdamaian. Sewaktu di El Rafah, tidak jauh dari Gaza, panas teriknya bukan main. Dia mesti berjuang menahan dahaga di bawah suhu gurun yang amat panas, kemudian berhadapan dengan orang Arab yang nakal, sampai harus jalan melewati ladang ranjau.
Baca juga: Gaza dalam Lintasan Sejarah
“Kami harus berhati-hati terhadap ranjau, karena di daerah ini masih terdapat banyak ranjau-ranjau yang tersembunyi,” tutur Muksin dalam Star Weekly, 1 Juni 1957. Namun, Muksin juga beruntung karena dia jadi berkesempatan berziarah ke tempat suci seperti Yerusalem.
Menurut Yudi Latief, Indonesia mengirimkan pasukannya di tengah keadaan dalam negeri masih centang perenang. Pada saat yang sama, kondisi di Indonesia sendiri sedang bergolak karena munculnya gerakan menentang pemerintah pusat di daerah Sumatra dan Sulawesi. Pasukan Perdamaian Indonesia ini merupakan bagian dari United Nations Emergency Forces (UNEF) I, yang dibentuk berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB.
“Pasukan Perdamaian Indonesia bertugas di Gaza (perbatasan Mesir-Israel) dan mengakhiri tugasnya dengan baik pada 29 September 1957,” catat Yudi Latief dalam Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan.
Baca juga: Sikap KAA pada Konflik Israel-Palestina
Kinerja pasukan perdamaian Indonesia terbilang memuaskan. Batalion Garuda I terkenal dengan kesigapan, kemahiran, dan kedisiplinannya. Kredit itu datang langsung dari pernyataan Jenderal Burns, panglima Kontingen PBB di Mesir. Selain itu, pasukan Indonesia adalah sahabat bagi warga setempat, karena keramahan, simpati pada perjuangan, dan rasa persaudaraan sebagai sesama umat Muslim. Krisis Suez berakhir pada 1957. Tapi, tidak dengan Kontingen Garuda. Pada masa berikutnya, pasukan perdamaian Indonesia dikirimkan lagi seperti ke Afrika dan Timur Tengah. Mereka bertugas mengawal perdamaian di negara-negara berkonflik.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar