Molotov
Bom molotov diciptakan bukan untuk alasan agama, apalagi untuk menghabisi nyawa seorang anak mungil: Intan Olivia Marbun.
SEPERTI peluru, bom molotov tak punya mata, agama, ideologi atau bahkan tak pernah memilih kepada siapa dia harus bertuan dan kepada siapa pula dia harus membawa petaka. Seperti yang terjadi pada Minggu, 13 November 2015, ketika seorang pemuda dirasuki kebencian melemparkan bom molotov ke arah pekarangan gereja Oikumene di Samarinda.
Musibah datang menimpa anak-anak tiada berdosa yang sedang bermain di halaman, sementara orangtua mereka berdoa di dalam gereja. Mereka datang ke gereja atas nama agama, pemuda penebar duka itu pun melempar bom molotovnya atas nama agama. Lantas Intan Olivia Marbun, salah satu anak mungil yang terkena sambaran api kebencian itu, tewas akibat luka bakar di sekujur tubuhnya.
Bom molotov diciptakan bukan untuk alasan agama, apalagi untuk menghabisi nyawa seorang anak mungil. Orang-orang Finlandia menemukan bom molotov untuk kali pertama pada perang di musim dingin 1939 untuk mengejek Vyacheslav Molotov, menteri luar negeri Uni Soviet. Molotov membuat perjanjian untuk tak saling serang dengan Nazi Jerman pada 23 Agustus 1939 setelah sama-sama melakukan invasi ke Polandia.
Ejekan itu bisa jadi wujud kecemasan atas Nazi yang giat menyerbu ke berbagai penjuru daratan Eropa. Maka perang tak terhindarkan. Fasisme Jerman yang merasa paling unggul dari segala yang unggul mulai menindas. Yahudi, kaum gay, bahkan mereka yang mengalami keterbatasan fisik dilibas habis atas nama kemurnian ras Aria.
Intan adalah korban kebencian, seperti juga Teddy, seorang tahanan anak di kamp konsentrasi di Terezin, dekat Praha, Ceko. Dia terpaksa hidup di masa perang dan menjadi kejaran Nazi karena tak pernah bisa memilih untuk lahir sebagai Yahudi atau bukan. Maka dalam ketakutannya sebagai tawanan pada 1943, dia menulis:
Di sini terdengar suara tembakan, tangisan,
Dan oh.. begitu banyak lalat.
Semua tahu kalau lalat membawa penyakit.
Oh.. ada sesuatu yang menggigitku..apakah itu kutu busuk?
Di sini di Terezin, hidup bagai di neraka
Kapan aku pulang? Aku tak bisa mengatakannya sekarang.
Teddy mungkin tewas bersama 33 ribu orang tahanan Yahudi lainnya di kamp Terezin. Tak pernah ada laporan resmi tentang dia kecuali bait-bait puisi yang sempat ditulisnya semasa berada di kamp “neraka” itu. Dari puisinya terselip harapan untuk pulang kendati dia tak pernah mengerti kapan itu terjadi lantas kematian menggenapi penderitaannya.
Sementara Intan di Samarinda masih terlalu kecil bisa memahami kenapa orang beragama dan harus saling bertikai karena agama. Sampai dia meninggal, orang-orang tak jua berhenti bertikai karena agama. Di media sosial, orang-orang acuh tak acuh atas kematian Intan. Bahkan sebagian menganggap peristiwa itu adalah pengalihan isu.
Pertanyaanya, seberapa berharga sebuah isu hingga harus membunuh seorang anak tak berdosa? Jawaban atau analisis apapun tak akan pernah bisa mengembalikan Intan hidup kembali. Kisah kematian Intan akibat teror kebencian pun semakin tenggelam di antara riuh rendah orang-orang memperebutkan kekuasaan.
Duka untuk Intan adalah duka untuk peradaban yang tak pernah kunjung beringsut maju ke depan, karena alam pikiran sebagian orang yang masih tertinggal di abad kegelapan.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar