Misi Peluncuran Roket Ahmad Yani
Meski dalam eksperimen, proyek uji coba roket Angkatan Darat menebar sinyal pertahanan Indonesia siap tempur dalam konfrontasi. Bubar setelah geger politik 1965.
Menjelang akhir 1964, konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia kian memanas. Masing-masing angkatan bersenjata mengerahkan kekuatan tempurnya untuk berperang. Militer Inggris yang menyokong pembentukan Federasi Malaysia bahkan telah memindahkan armada kapal perangnya dari Laut Tengah ke perairan Malaysia. Inggris menyiapkan kapal induk andalannya HMS Eagle dan pesawat pengebom V (V Bombers). Sementara itu, pangkalan militer Inggris di Singapura diperlengkapi roket-roket anti pesawat udara.
Menurut Jenderal Abdul Haris Nasution, Inggris dan Australia mulai meningkatkan persiapan-persiapan militernya seiring dengan patroli pesawat AURI yang mendekati Australia. Pesawat pengebom TU-16 milik AURI pernah mencapai Darwin, Australia Utara, pada ketinggian yang tidak mampu dicapai pesawat pemburu Australia. Nasution yang menjabat sebagai Menteri Pertahanan merangkap Kepala Staf Angkatan Bersenjata memperhitungkan Inggris dan Malaysia bersiap melakukan serangan balasan terhadap instalasi-instalasi militer Indonesia.
Di tengah situasi genting itu, Indonesia terjepit baik di utara maupun selatan. Panglima Korps Komando (KKo, kini Marinir) Mayjen Hartono justru mengumumkan bahwa Indonesia mengembangkan pembuatan roket antar-kontinen. Maklumat Hartono yang bernada perang urat syaraf itu lantaran dia telah menyaksikan sendiri peluncuran roket “Ahmad Yani” buatan Angkatan Darat. Roket “Ahmad Yani” diluncurkan di Batujajar, Jawa Barat, pada 27 Juli 1964. Peluncurannya disaksikan oleh para deputi dari tiap matra dalam angkatan bersenjata, termasuk Hartono salah satunya.
Baca juga: Yani yang Flamboyan, Nasution yang Puritan
“Roket-roket Permulaan, Yani I, Yani II dan lain-lain sedang dieksperimentasi. Maka ABRI pun menyatakan rencana peroketan angkasa dan diharapkan kita kelak punya angkasawan,” ungkap Jenderal Abdul Haris Nasution dalam memoarnya, Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 6: Masa Kebangkitan Orde Baru.
Penamaan roket “Ahmad Yani” diambil dari nama Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad) Letjen Ahmad Yani. Proyeknya bermula dari surat perintah Menpangad 7 November 1963 yang meresmikan kegiatan Lembaga Percobaan Alat-alat Peralatan (Peral). Lembaga inilah yang berperan dalam penelitian dan pengembangan roket buatan Angkatan Darat.
Dengan bantuan Perindustrian TNI Angkatan Darat (Pindad), Peral berhasil membuat eksperimen yang dinamai berdasarkan istilah Laboratorium Peral: Roket P-1. Kode “P” kemudian diganti dengan “AY”, yang berarti Ahmad Yani. Dalam Sejarah TNI Angkatan Darat 1945-1965, pergantian kode itu disebut atas usulan Asisten IV/Logistik Menpangad Brigjen Donald Isaac Pandjaitan. Usulan tersebut dinyatakan Pandjaitan dalam sebuah rapat logistik akhir tahun 1963 di Jakarta.
Baca juga: Jenderal Yani dan Para Asistennya
Peral untuk kali pertama meluncurkan roket pada 12 September 1963. Roket berkaliber 63 yang diberi kode AY-1.C.63 itu mampu melesat sampai sejauh 9 km. Peluncuran lanjutan terus dilakukan hingga yang terjauh mencapai jarak tembak 30 km (AY-II.C.115-130).
Pada 30 Desember 1964, Letjen Ahmad Yani turut menyaksikan peluncuran Roket Ahmad Yani-2 didampingi Direktur Peral Brigjen N.A. Kusumo di Medan, Sumatra Utara. Jarak tembak Roket Ahmad Yani memang belum menyamai Roket Kartika buatan AURI yang mampu mencapai 60 km. Kendati demikian, peluncuran Roket Ahmad Yani memperlihatkan hasil yang memuaskan, terutama dari sudut material, konstruksi, dan kinerja peluncurannya.
Dalam biografinya yang ditulis Abrar Yusra, Azwar Anas: Teladan dari Ranah Minang, Azwar Anas menuturkan pengalamannya sebagai peserta kursus peroketan Pindad yang ikut menangani proyek Roket Ahmad Yani. Menurutnya, Roket Ahmad Yani I memiliki spesifikasi satu tingkat, sedangkan roket Ahmad Yani terdiri dari dua tingkat. Saat itu Azwar bertanggung jawab terhadap tugas-tugas yang berkaitan dengan pengisian bahan bakar atau komponen pendorong roket. Pekerjaan tersebut tergolong agenda vital dalam peluncuran roket-roket itu.
Baca juga: Ketika Demam Roket Mewabah
Selain Pindad, proyek Roket Ahmad Yani turut bekerjasama dengan AURI, Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan). Eksperimen pembuatan roket itu melibatkan sejumlah insinyur, salah satunya Dr. Ir. Iskandar Alisjahbana, rektor ITB merangkap Wakil Ketua. Dari pihak AURI ada Komandan Lanud Husein Sastranegara Ashadi Tjahjadi -kelak menjadi Kepala Staf TNI AU pada 1977-1982. Azwar Anas sendiri kelak menjadi gubernur Sumatra Barat (1977-1987), menteri perhubungan (1988-1993), dan Menko Kesra (1993-1998).
Proyek Roket Ahmad Yani sayangnya harus terhenti setelah 1965. Gerakan 30 September (G30S) 1965 menyebabkan sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat, termasuk Letjen Ahmad Yani, diculik dan tewas secara tragis. Geger politik itu mengakibatkan pengembangan teknologi roket maupun nuklir yang sedang dirintis berhenti total.
Proyek roket itu, menurut Rahadian Rundjan, peneliti sejarah Universitas Melbourne, kental dengan elemen-elemen Sukarno dan AURI. Reputasi dan kekuatan politik keduanya setelah Peristiwa G30S direduksi rezim Orde Baru. Selain itu, pengembangan teknologi roket saat itu karakternya masih militeristik dan membutuhkan dana besar. Di era Orde Baru yang mengutamakan stabilitas ekonomi, kedua hal itu tidak lagi menjadi prioritas.
Baca juga: Merekam Sejarah Penerbangan
“(Presiden) Soeharto lebih memilih untuk mengembangkan teknologi pesawat terbang IPTN untuk tujuan komersial dan sipil,” kata Rahadian kepada Historia.id.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar