Komandan Belanda Tewas di Korea
Pernah melatih pasukan payung yang merebut Yogyakarta, perwira Belanda ini akhirnya ditugaskan ke Korea hingga menutup karier di sana.
LETNAN Kolonel Marinus Petrus Antonius den Ouden kaget. Dia tak menyangka Perang Korea yang terjadi ribuan mil jauhnya dari negerinya, Belanda, ikut mengubah nasibnya. Den Ouden ditunjuk memimpin pasukan kecil Belanda yang tergabung dalam kontingen PBB –yang nyatanya lebih banyak berisi anggota Blok Barat pimpinan Amerika Serikat– di perang tersebut.
“Tentu saja penunjukan saya ini sebuah kejutan. Hari ini saya seharusnya pergi ke garnisun baru saya di Arnhem, di mana saya ditugaskan ke para Grenadier dan Pemburu. Tentu saja saya tidak mencari kesenangan, tapi harus melakukannya,” kata Letnan Kolonel Petrus Den Ouden, seperti dikutip koran Nieuwe Courant tanggal 29 Agustus 1950) dan Telegraaf edisi 23 Agustus 1950.
Perang Korea muncul seiring perebutan pengaruh antara kaum komunis dan liberalis di negeri itu. Konflik meluas jadi perang terbuka lantaran masing-masing kubu membawa backing. Pihak komunis Korea menyeret Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Uni Soviet (Blok Timur) terlibat di dalamnya, sementara Blok Barat yang liberalis pimpinan Amerika Serikat mengikutsertakan sekutu-sekutunya, termasuk Belanda. Dengan latar belakang itulah Letkol Petrus den Ouden mesti memimpin pasukan Belanda bertempuur di Negeri Ginseng.
Petrus Antonius den Ouden merupakan putra pasangan Antonius den Ouden dan Hendrika van As. Pria kelahiran Oud-en Nieuw-Gastel, 21 Agustus 1909 itu merupakan lulusan Akademi Militer Breda. Setelah lulus, Letnan Dua Petrus Ouden berdinas di tentara kolonial Koninklijk Nederlandsch Indish Leger (KNIL) di Hindia Belanda. Ia pernah bertugas di Indrapura, Timor, dan Batavia.
Jelang kedatangan tentara Jepang, Petrus Ouden menjadi instruktur pelatihan calon perwira pribumi alias Corps Opleiding Reserve Officier (CORO) di Bandung. Namun itu tidak lama. Setelah Jepang menduduki Indonesia, dia menjadi tawanan perang sebagaimana umumnya tentara KNIL.
Setelah bebas pada 1945, Letnan Petrus Ouden berdinas kembali ke KNIL. Pada 1946, pangkatnya naik dua kali, dari letnan menjadi kapten (Februari) dan kapten menjadi mayor (Mei). Dia diberi jabatan penting: komandan sekolah penerjun payung School Opleiding Parachutisten di Pangkalan Udara Andir (kini Lanud Husein Sastranegara), Bandung.
Sebagai komandan sekolah, dirinya ikut mempersiapkan pasukan penerjun yang belakangan diterjunkan merebut ibukota Republik Indonesia (RI) Yogyakarta dan juga daerah minyak di Jambi. Pasukan didikannya sukses menjalankan tugas. Tak hanya Yogyakarta berhasil direbut, mereka juga berhasil menawan sejumlah pejabat teras RI.
Posisi itu dipegang Petrus Ouden hanya sampai Oktober 1948, karena dia lalu dipindahkan menjadi komandan depot batalyon di Bogor. Namun pada Maret 1949, dia kembali ditempatkan di pusat pasukan payung. Tapi inipun tidak lama karena kemudian Belanda angkat kaki dari Indonesia.
Pada 1950, di Belanda Petrus Ouden mengurus resimen pasukan khusus di sana. Pangkatnya kemudian naik jadi letnan kolonel (letkol). Dia lalu ditugaskan ke Arnhem guna melatih pasukan para Grenadier dan Pemburu. Namun belum lagi tugas baru itu dijalaninya, Letkol Petrus Ouden keburu dikirim ke Kora.
Selama di Perang Korea, Letkol Petrus Ouden berada di bawah komando Jenderal Douglas McArthur, sang pencetus taktik “Lompat Katak” dalam Perang Pasifik. Persenjataan dan logistik pihak Sekutu, termasuk Belanda, cukup baik. Begitu juga moril pasukannya. Namun ini tak membuat keadaan menjadi lebih baik dan bagi Letkol Petrik Ouden, terasa sulit.
Lawan mereka bukanlah Korea Utara semata. Di belakang mereka ada pasukan RRT dan Uni Soviet. Perang Korea jelas bukan perang mudah bagi kedua belah pihak.
“Lawan kita bukan hanya Korea Utara, yang berperang lebih baik dari Indonesia,” kata Letnan Kolonel Den Ouden dalam Twentsche Courant tanggal 18 Januari 1951.
Selain melawan kombatan hebat, prajurit Belanda di sana juga harus melawan hawa dingin. Hal itu tak meraka rasakan sama sekali ketika berperang di Indonesia. Namun bukan kedua faktor tersebut yang dikeluhkan Letkol Petrus Ouden. Keluhan utamanya datang dari data intelijen. Tanpa itu, Ouden menganggap pasukan dari Belanda di sana tak bisa berperang dengan baik dan hanya bisa bertempur dengan membabi-buta saja.
“Pasukan PBB mencoba melancarkan perang di sini sesuai dengan metode Eropa dan itu tidak tepat di sini,” kata Petrik Ouden.
Metode Eropa hanya cocok di Eropa, tapi Asia punya medan sendiri dan harus dihadapi dengan cara lain. Barangkalai seperti pengalaman Ouden di Indonesia dulu. Suka tak suka, Letkol Petrik Ouden mesti terus menghadapi cara bertempur pasukan Sekutu yang tidak cocok baginya. Kematian pun terus mengintainya.
Pada Februari 1951, Resimen Van Heutz alias pasukan Belanda yang dipimpin Letkol Petrik Ouden berada di Hoengsong. Di tempat itu militer Belanda bersama pasukan Korea Selatan dan Marinir AS menghadapi Tentara ke-13 RRT dan Korps ke-5 Sukarelawan Korea Utara.
“Pemicu pergerakan Divisi Marinir ke-1 ke Korea bagian tengah adalah pertempuran ketiga untuk Wonju, jalur komunikasi dan jalan raya penting yang jika hilang, dapat memaksa pasukan PBB untuk mengevakuasi Korea. Wonju berada dalam risiko besar ketika Hoengsong, yang terletak sekitar 10 mil di utara Rute 29, jatuh. Bencana yang hampir terjadi ini terjadi ketika Komunis melancarkan Serangan Tahap Keempat mereka di mana Tentara ke-40 dan ke-66 CCF dan Korps V NKPA memulai serangkaian serangan yang menghancurkan dari salju yang berputar-putar yang dimulai pada malam tanggal 11-12 Februari. Korps X AS mengalami kemunduran serius ketika tiga divisi Tentara Republik Korea hancur dan elemen pendukung tempur Divisi ke-2 AS terputus dan kemudian dimusnahkan di ‘Lembah Pembantaian’ di sebelah utara Hoengsong,” tulis Ronald J Brown dalam Counteroffensive: US Marines from Pohang to No Name Line.
Pasukan Letkol Petrik den Ouden memainkan peran yang baik bagi Sekutu dalam mempertahankan Hoengsong.
“Salah satu serangan musuh pertama terhadap Belanda yakni menembus garis pertahanan mereka dan mencapai pos komando batalion. Letnan Kolonel MPA den Ouden, komandan batalion, memimpin pasukan markasnya dalam serangan yang berhasil untuk menghentikan penetrasi itu,” tulis Billy C Mossman dalam Ebb and Flow: November 1950-July 1951.
Kendati berhasil memimpin pasukannya mempertahankan markas, Letkol Petrik Ouden dan beberapa staf di markasnya tak selamat pada malam 12 Februari 1951. Ledakan granat membunuh Letkol Petrik Ouden dan beberapa stafnya serta melukai yang lain.
“Meskipun mengalami kerugian besar di markas batalion, kompi garis pertahanan Belanda bertahan di tepi kota sementara Support 7 bergegas menuju kota dari timur laut dan pasukan Coughlin lainnya berjuang untuk masuk melalui Rute 29,” sambung Billy C Mossman.
“Kematian Komandan Den Ouden merupakan kerugian besar bagi pasukan PBB di Korea. Batalyon Belanda diberi tugas yang sangat penting untuk melindungi mundurnya unit-unit lain dari Hoengsong ke posisi baru,” kata Panglima Angkatan Darat AS Kedelapan, Jenderal Matthew B. Ridgway di koran Telegraaf tanggal 14 Februari 1951.
Setelah kematian Ouden, Mayor Willem David Henri Eekhout (1917-1965), yang pada 19 Desember 1948 memimpin pasukan payung Belanda dalam merebut ibukota Yogyakarta, diangkat menjadi komandan militer Belanda di Korea.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar