Kisah Polisi Kombatan di Balik Panggung Sejarah
Buku ini berkisah tentang komandan Polisi Istimewa dan pasukannya dalam Pertempuran Lima hari di Semarang. Peristiwa yang kerap terlupakan termasuk peran orang-orang didalamnya.
Dalam sejarah Perang Kemerdekaan Indonesia, peran polisi kalah mentereng dari tentara. Tengok saja perbandingannya dari representasi yang masuk album pahlawan nasional. Sampai saat ini, jumlah pahlawan nasional dari kalangan kepolisian hanya tiga tokoh. Sementara dari kalangan militer jauh lebih banyak.
Para tokoh polisi yang menjadi pahlawan nasional itu yakni Moehammad Jasin, Soekanto Tjokrodiatmodjo, dan Hoegeng Imam Santoso. Dua nama pertama telah dikenal sejak masa revolusi. Soekanto sebagai Kapolri pertama peletak dasar institusi kepolisian sedangkan Jasin adalah komandan Brimob pertama. Ia dijuluki "Bapak Brimob".
Jasin memulai kiprahnya sebagai komandan Polisi Istimewa –cikal bakal Korps Brimob– di Surabaya. Seperti Jasin, Bambang Soeprapto Dipokoesoemo juga berkedudukan sama di Semarang. Namun, namanya tidak banyak tercatat di buku-buku sejarah. Dia mungkin tidak setenar Soeprapto yang militer, perwira tinggi TNI AD yang menjadi pahlawan revolusi.
Meski demikian, sepak terjang Soeprapto yang samar-samar itu setidaknya meninggalkan jejak. Soeprapto tercatat sebagai pemimpin pasukan Polisi Istimewa dalam Pertempuran Lima Hari di Semarang menghadapi militer Jepang pada 15-19 Oktober 1945. Jurnalis sejarah Hendi Jo menjejaki peristiwa itu dalam bukunya yang terbit belum lama ini, Polisi Istimewa di Tengah Revolusi: Kiprah Kompol II R.M. Bambang Soeprapto Dipokoesoemo dalam Pertempuran Lima Hari di Semarang.
Memprakarsai Pengibaran Merah Putih
Raden Mas Bambang Soeprapto Dipokoesoemo lahir dalam keluarga ningrat. Ayahnya R.M. A.A. Dipokoesoemo merupakan mantan bupati Batang. Begitu lulus dari sekolah pangreh praja (MOSVIA) Magelang, Soeprapto bekerja sebagai mantri polisi.
Tidak banyak diketahui bahwa Soeprapto dikader kelompok pemuda Menteng 31 di Jakarta, pada masa awal pendudukan Jepang. Soeprapto disebut-sebut sebagai orang kepercayaan Soekarni, salah satu pentolan Menteng 31. Kelompok Menteng 31 dibentuk oleh Jepang, namun Soekarni cs. yang nantinya menjadi pendukung kemerdekaan Republik Indonesia menggunakannya untuk perjuangan kemerdekaan.
Kembali ke Semarang, Soeprapto ditugaskan ke Sendenbu (Departemen Propaganda) atas rekomendasi Soekarni. Selain pengurus Sendenbu, Soeprapto mengemban misi rahasia dari kelompok Menteng 31. Dia menghimpun para pemuda dan pejuang Semarang untuk dikerahkan sebagai kekuatan massa mencapai Indonesia merdeka.
Baca juga: Sukarni dan Proklamasi
Pada medio 1944, pemerintah militer Jepang membentuk satuan polisi khusus bernama Tokubetsu Keisatsu Tai (Pasukan Polisi Istimewa). Unit kepolisian ini berfungsi sebagai tenaga cadangan yang dapat digerakkan secara cepat, mobilitas tinggi, dan daya tempur mumpuni. Kekuatan pasukan ini setingkat kompi dan tersebar di tiap-tiap residen. Otoritas Jepang menunjuk Bambang Soeprapto sebagai wakil komandan Polisi Istimewa Semarang. Komandannya dijabat oleh perwira berkebangsaan Jepang bernama Kawahara.
“Selain memiliki akses ke kalangan pemuda, Bambang Soeprapto juga dinilai memiliki latar belakang sebagai anggota polisi di era Hindia Belanda,” terang Hendi kepada Historia.id.
Tokubetsu Keisatsu Tai tidak lantas bubar memasuki masa Indonesia merdeka. Pasukan ini juga tidak mengalami pelucutan senjata karena bertugas menjaga ketertiban masyarakat. Situasi tersebut dimanfaatkan betul oleh Bambang Soeprapto untuk kepentingan republik yang baru saja berdiri.
Baca juga: Moehammad Jasin, Komandan Polisi Istimewa
Dua hari setelah berita proklamasi kemerdekaan, Bambang Soeprapto meminta kepada Kawahara untuk menyerahkan kepemimpinannya kepada orang Indonesia. Kawahara sendiri bukan tipikal orang Jepang yang keras kepala. Kedudukannya sebagai komandan pasukan Polisi Istimewa secara sukarela diserahkannya kepada Bambang Soeprapto.
Pada 20 Agustus 1945, secara resmi Tokubetsu Keisatsu Tai bersalin nama menjadi Pasukan Polisi Istimewa yang menginduk kepada pemerintah Republik Indonesia. Penyerahan wewenang itu berlangsung dalam upacara kehormatan di halaman markas Polisi Istimewa. Bambang Soeprapto menyerahkan bendera Jepang Hinomaru kepada Kawahara dan seterusnya memerintahkan pengibaran Sang Saka Merah Putih.
Pertempuran Brutal di Semarang
Ditilik secara historis, menurut Hendi, Pasukan Polisi Istimewa pimpinan Bambang Soeprapto adalah pionir polisi bentukan Jepang yang kali pertama menyatakan jadi bagian dari Republik Indonesia. “Yang kedua barulah Jasin di Surabaya. Perbedaannya, Bambang Soeprapto mendeklarasikan secara lisan sedangkan Jasin menyatakannya dengan maklumat tertulis,” ungkapnya.
Setelah memegang pucuk pimpinan Polisi Istimewa, Bambang Soeprapto mengerahkan pasukannya untuk menguasai tempat-tempat strategis di Semarang. Antara lain menempatkan anggota Polisi Istimewa di pusat penampungan air bersih Siranda dan satu seksi penjaga gedung RRI Semarang. Polisi Istimewa juga terlibat dalam penangkapan orang-orang Jepang, Belanda, maupun pribumi yang menentang berdirinya Republik Indonesia.
Baca juga: Orang Semarang Melawan Jepang
Dalam operasi perampasan senjata Jepang, Polisi Istimewa kerap bergerak bersama organ pemuda nasionalis Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI) pimpinan S. Karna. Gesekan dengan pihak Jepang memuncak pada pertempuran yang berlangsung selama lima hari. Bermula dari penolakan Mayor Shinichiro Kido, komandan Kido Butai –pasukan cadangan militer setingkat batalion– merangkap komandan garnisun Semarang, untuk menyerahkan senjata mereka kepada pejuang Indonesia. Jepang melancarkan perlawanan setelah Mayor Kido mendengar semua orang Jepang di Semarang, baik sipil dan militer, akan ditangkap.
Pertempuran pecah pada 15 Oktober 1945. Pasukan Jepang di bawah komando Mayor Kido dengan kekuatan penuh menyerang orang-orang Indonesia bersenjata di berbagai tempat. Menjelang Jepang menyerbu, Bambang Soeprapto menyiagakan pasukannya di beberapa titik. Polisi Istimewa menggabungkan diri dengan kekuatan AMRI, Tentara Keamanan Rakyat (TKR), dan badan-badan perjuangan lainnya.
Markas Pusat Pasukan Polisi Istimewa di Simpang Lima jadi saksi pertarungan penuh darah. Pasukan Polisi Istimewa yang terdesak akibat kehabisan amunisi menyabung nyawa bersenjatakan bayonet. Tapi, mereka pada akhirnya tak kuasa membendung keganasan pasukan Kido Butai. Tebasan gunto dan katana orang Jepang itu menyerakkan beberapa kepala anggota Polisi Istimewa.
Baca juga: Alkisah Kompi Parang Berdarah
Sementara itu, sang komandan Bambang Soeprapto berjibaku mempertahankan kantor gubenuran. Kendati berjuang habis-habisan, Soeprapto bersama pasukan yang tersisa dipukul mundur. Gubernur Wongsonegoro ditangkap dan menjadi tawanan Jepang. Pada hari ketiga, Bambang Soeprapto juga ditangkap. Seperti Wongsonegoro, dia juga ditawan.
Pertempuran Lima Hari di Semarang terbilang brutal. Di gedung Lawang Sewu, pasukan Jepang menyapu habis pejuang Indonesia lewat gempuran mortar. Sementara itu, Penjara Bulu yang dijaga laskar AMRI jadi tempat penjagalan bagi tawanan Jepang. Dua ratusan mayat orang Jepang tergeletak di kamar-kamar dan gang penjara, termasuk dua orang yang digantung. Pihak Jepang balik membalas secara kalap. Para pejuang dikejar sampai ke kampung-kampung maupun rumahsakit. Penduduk yang dicurigai, rumahnya dibakar.
Baca juga: Pertempuran Lima Hari di Semarang
Diperkirakan lebih dari 2000 orang Indonesia menjadi korban keganasan tentara Jepang. Di pihak Jepang, sekira 500 orang mati terbunuh. Kebanyakan dari mereka adalah tawanan yang dibantai di Penjara Bulu. Laporan resmi menyebutkan sebanyak 31 personel Polisi Istimewa gugur dalam pertempuran.
Ketokohan yang Hilang
Ingatan tentang Pertempuran Lima Hari di Semarang agaknya masih kalah masif dibanding palagan lain, seperti Pertempuran 10 November di Surabaya atau Bandung Lautan Api. Penulis Hendi Jo melihat celah itu. Ia berangkat dari penelusuran riwayat Bambang Soeprapto, tokoh penting yang terlibat dalam peristiwa tersebut.
“Buku ini menokohkan seseorang yang hilang ketokohannya. Padahal, (Bambang Soeprapto) terkenal di zamannya,” kata Hendi.
Sebagai jurnalis yang berpengalaman dalam tema-tema sejarah Perang Kemerdekan, penulis bertutur dengan gayanya yang khas; tidak menjemukan. Data primer diperoleh melalui surat kabar sezaman, arsip-arsip Jepang, maupun kesaksian para pelaku sejarah yang dikutip dari catatan harian yang ditinggalkan, juga wawancara veteran perang yang masih hidup. Tentu saja usianya sudah uzur.
Baca juga: Bukan Raja Jawa Biasa
Banyak informasi yang diungkap mengenai jalannya pertempuran maupun Polisi Istimewa. Namun, keterbatasan narasi justru terasa pada sosok Bambang Soeprapto. Seperti apa awal kehidupan hingga akhir riwayatnya yang gugur pada 1949, ketika menumpas pemberontakan Darul Islam di Brebes, tidak dibentangkan dengan gamblang. Sehingga, buku ini rasanya tidak tuntas alias tanggung sebagai sebuah biografi.
“Buku ini memang khusus membahas peran penting Bambang Soeprapto dalam Pertempuran Lima Hari di Semarang yang tak banyak diketahui khalayak,” tandas Hendi.
Data Buku
Judul: Polisi Istimewa di Tengah Revolusi: Kiprah Kompol II R.M. Bambang Soeprapto Dipokoesoemo dalam Pertempuran Lima Hari di Semarang | Penulis: Hendi Jo | Penerbit: Merah Putih, Depok | Terbit: November, 2023 | Tebal: xxvi + 242 halaman.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar