Bukan Raja Jawa Biasa
Buku ini menghadirkan sosok Mangkunegoro VI, penyelamat Mangkunegaran dari kebangkrutan. Potret raja Jawa yang dikenal karena kebijakannya mendobrak pakem kerajaan.
Dalam sejarah Praja Mangkunegaran, tersebutlah raja-raja pembawa kejayaan. Mangkunegoro IV dikenal karena keberhasilannya mendirikan pabrik gula di Colomadu dan Tasik Madu yang menjadikan Mangkunegaran salah satu kerajaan terkaya di Nusantara. Sementara cucunya, Mangkunegoro VII, adalah raja yang gemar ilmu pengetahuan sehingga Mangkunegaran bersolek bak kerajaan modern. Di antara kedua raja tersebut, terselip periode kepemimpinan yang tidak banyak dibeberkan dalam penulisan sejarah Mangkunegaran.
Kekosongan historiografi itulah yang coba diisi oleh buku Mangkunegoro VI: Sang Reformis yang ditulis Mega Janis, Fachmi Ardi, Insan Praditya, dan Tika Ramadhini. Para penulis muda ini tergabung dalam komunitas sejarah History Inc. Buku karya mereka ini diklaim sebagai biografi pertama yang meneliti sosok Mangkunegoro VI.
Mangkunegoro VI bernama asli Raden Mas Suyitno. Dia memerintah Mangkunegaran pada 1896-1916. Dalam buku ini, dibentangkan peran besar Suyitno yang mampu menata kembali Mangkunegaran setelah kerajaan mengalami krisis finansial hingga nyaris kolaps. Para penulis membubuhkan predikat “Sang Reformis” untuk menggambarkan sosok Mangkunegoro VI. Semasa kepemimpinannya, sang raja berhasil mengubah banyak hal di Praja Mangkunegaran, seperti merestorasi perekonomian dan merombak tradisi kerajaan.
Penghematan ala Mangkunegoro VI
Suyitno adalah putra Mangkunegoro IV dari permaisuri Raden Ayu Dunuk. Suyitno lahir pada 13 Maret 1857 di tengah keluarga keraton yang besar dan berjaya. Suyitno memiliki 21 kakak dan 10 adik. Dia memulai kariernya sebagai prajurit Legiun Mangkunegaran.
Pada 1881, Mangkunegoro IV mangkat. Penerusnya ialah Raden Mas Sunito yang dinobatkan sebagai Mangkunegoro V. Setelah memerintah selama 15 tahun, Mangkunegoro V mangkat dalam usia terbilang muda, 40 tahun, akibat usus buntu. Pada saat yang sama, Suyitno telah menjadi komandan tertinggi Legiun Mangkunegaran dengan pangkat kolonel. Suyitno kemudian dilantik sebagai pengganti kakaknya, dengan gelar Mangkunegoro VI pada 21 November 1896.
Baca juga: Kerajaan Bisnis Mangkunegara IV
Menjelang penobatannya sebagai raja, Suyitno menghadapi sejumlah masalah yang diwariskan dari kepemimpinan Mangkunegoro V. Pendapatan kerajaan menurun secara drastis. Bisnis gula Mangkunegaran merugi karena pasar Eropa memberlakukan kebijakan proteksi. Wabah hama sereh yang merusak perkebunan tebu Mangkunegaran membuat keadaan kian parah.
Keadaan semakin diperburuk dengan gaya hidup boros nan gemerlapan Mangkunegoro V maupun para bangsawan. Seperti ayahnya, Mangkunegoro V mencintai seni dan budaya, serta gandrung memelihara hewan dari segala penjuru dunia. Penurunan penghasilan dari pabrik gula tidak diikuti oleh perubahan gaya hidup Mangkunegoro V.
“Sehingga Praja Mangkunegaran mengalami kebangkrutan dan terlilit hutang dengan pemerintah kolonial,” kata Mega Janis dan kawan-kawan.
Baca juga: Bangkit dari Kondisi Keuangan yang Sakit
Di tengah masa krisis itulah Mangkunegoro VI hadir dengan sejumlah kebijakannya yang kontroversial menurut adat kebiasaan keraton. Mangkunegoro VI membenahi anggaran keuangan kerajaan lewat pemangkasan besar-besaran biaya hidup bangsawan. Selain itu, dia menggagas anggaran terpisah antara keuangan kerajaan dan keuangan keluarga bangsawan. Turunan dari kebijakan ini pada praktiknya meliputi berbagai segi kehidupan di Praja Mangkunegaran. Mulai dari priayi hingga kawula.
Di masa Mangkunegoro VI, pesta-pesta, perayaan, dan pertunjukan istana disederhanakan. Sang raja juga mengatur agar acara pernikahan ataupun khitanan keluarga kerajaan digelar secara massal. Prakarsa Mangkunegoro VI tersebut tentu bertolak belakang dari tradisi yang berlaku saat itu. Kendati demikian, langkah itu tetap diambil untuk menyelamatkan kas praja yang sekarat. Hasilnya, seluruh utang Mangkunegaran lunas pada 1899, tiga tahun setelah Mangkunegoro VI memimpin kerajaan.
Selama 20 tahun memerintah, Mangkunegoro VI meninggalkan sejumlah warisan yang dapat dinikmati rakyatnya. Antara lain berupa program beasiswa pendidikan bagi kawula dan pendirian sekolah perempuan Siswa Rini. Kaum minoritas Tionghoa pun diperhatikan dengan berdirinya rumah duka Thiong Ting.
Baca juga: Pendidikan, Fondasi Kemajuan Mangkunegaran
Segala kebiasaan di Pura Mangkunegaran yang tidak efisien dihapuskan, seperti aturan jalan jongkok laku dodok. Mangkunegoro VI juga memelopori toleransi beragama dengan mengizinkan misi zending beraktivitas di wilayah Mangkunegaran. Dia juga tidak melarang keluarga istana yang ingin memeluk agama Kristen atau agama apapun di luar Islam.
“Pada masa pemerintahan Mangkunegoro VI jugalah, perayaan natal dilakukan di dalam Keraton Mangkunegoro untuk pertama kali,” sambung Mega Janis dkk.
Konflik suksesi antar-keluarga kerajaan dan campur tangan pemerintah kolonial menyebabkan Mangkunegoro VI mundur dari takhta. Keputusan itupun di luar kelaziman, yang mencatatkan dirinya sebagai satu-satunya raja Mangkunegaran yang mengundurkan diri. Pada 1916, Mangkunegoro VI hijrah ke Surabaya dan menghabiskan masa tuanya di sana. Dia meninggalkan Mangkunegaran dalam keadaan keuangan yang sudah stabil, termasuk tabungan kerajaan yang jumlahnya hampir 10 juta gulden. Rakyat mengenang Mangkunegoro VI sebagai raja yang hemat sekaligus sederhana.
Biografi Pertama
Buku ini merupakan karya awal yang menampilkan Mangkunegoro VI dalam sebuah biografi. Para penulis menggunakan bahan arsip Mangkunegoro VI yang tersimpan di perpustakaan Mangkunegaran, termasuk mewawancarai pinisepuh keturunan Mangkunegaran. Tidak hanya sumber lokal, keterangan arsip Belanda yang terhimpun dalam Memorie van Overgave pada buku ini memperlihatkan bagaimana figur Mangkunegoro VI disorot dari sudut pandang kolonialis.
Catatan para pejabat Belanda yang bertugas sebagai residen Surakarta pada umumnya memandang Mangkunegoro VI dengan kesan negatif. Dalam berbagai laporan, predikat pelit kerapkali disematkan atas nama Mangkunegoro VI. Bahkan, ada tudingan yang menyebutnya serakah serta “sakit mental”.
Baca juga: Laku Pandita Seorang Raja Jawa
“Residen Schneider, yang menjabat setelah Spaan, misalnya, menyatakan bahwa Mangkunegoro adalah raja yang hemat namun sebenarnya tamak karena hanya ingin menimbun harta sendiri, tidak untuk membangun wilayah kerajaan,” kata arsip Belanda sebagaimana dikutip para penulis.
Demikianlah buku ini hendak menempatkan Mangkunegoro VI sebagai tokoh yang dipuja namun tidak luput dari cela dan kritik. Sebagaimana diakui Fachmi Ardi, salah satu penulis, kepada Historia, mengupas sosok Mangkunegoro VI dari sumber-sumber lokal cendreung mengglorifikasi sisi gemilangnya. “Tapi, sumber-sumber Belanda mayoritas jelek-jelekin Mangkunegoro VI semua,” kata Fachmi yang akrab disapa Kibo itu.
Bagi para pendukungnya, Mangkunegoro VI disebut raja yang hemat. Tapi, bagi pihak yang tidak menyukai tindak-tanduknya, dia seringkali disebut kikir. Ketidakpuasan terhadap Mangkunegoro VI menimbulkan “bisik-bisik” keraton yang kelak bermuara pada konflik lebih besar. Salah satunya, rumor yang mengatakan putra Mangkunegoro VI, Raden Mas Suyono, bukanlah anak kandung sang raja sehingga tidak layak menjadi penerus takhta. Suyono sendiri kemudian tercatat sebagai aktivis pergerakan nasional di Surabaya.
“Suyono tercatat aktif terlibat di pergerakan sejak usia muda, setidaknya sejak berumur 20 tahun. Pada usia 22 tahun, ia telah menjadi komisaris organisasi Boedi Oetomo,” ungkap Mega Janis dkk. Sementara itu, Mangkunegoro VI digantikan oleh keponakannya (anak Mangkungero V), Raden Mas Suryo Suparto yang menjadi Mangkunegoro VII.
Masa senjakala Mangkunegoro VI tidak begitu banyak diulas dalam buku ini. Setelah menetap di Surabaya, dia menjadi pedagang dengan mendirikan badan usaha Suyono-Suwasti, diambil dari nama putra-putrinya. Apalagi ada indikasi kepindahan ini dikaitkan dengan dukungannya terhadap kaum pergerakan nasional. Ketiadaan sumber tertulis yang menguatkan membuat para penulis tidak menjawab premis tersebut secara gamblang.
“Kebanyakan data diambil dari arsip Belanda dan Rekso Pustoko (Perpustakaan Mangunegaran). Ini berdampak ke proses penulisan dimana pertanyaan-pertanyaan yang bisa kita jawab jadi lebih terbatas,” ujar Fachmi.
Baca juga: Reformis Itu Bernama Mangkunegara VI
Di luar isi, terasa ada yang kurang di bagian sampul depan buku ini. Perpaduan ilustrasi komik dengan pewarnaan yang menyolok pada sampul menjadikan buku ini terkesan ringan, bukan bacaan berat untuk ukuran biografi. Warna hijau yang dominan pada sampul bermaksud melambangkan warna ciri khas Praja Mangkunegaran seperti tersua pada bendera kerajaan. Sayangnya, itu semua tidak cukup merepresentasikan sosok Mangkunegoro VI sebagai sajian utama. Namun, seperti kata pepatah, jangan nilai buku dari sampulnya.
Ditulis dengan gaya populer dan mengalir ala anak muda, pembaca akan dimudahkan “memamah” halaman demi halaman buku ini sampai tuntas. Ilustrasi apik karya Aji Prasetyo dalam buku ini juga membantu pembaca memahami konteks zaman di Mangkunegaran awal abad 20. Buku setebal 196 halaman ini cocok bagi pembaca pemula, terutama generasi milenial yang tertarik sejarah kolosal tentang tokoh raja Jawa.
Data Buku
Judul: Mangkunegoro VI: Sang Reformis | Penulis: History Inc | Penerbit: Kompas, Jakarta | Terbit: November, 2021 | Tebal: xxvii + 196 halaman.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar