Laku Pandita Seorang Raja Jawa
Demi menghapus dahaga akan ilmu pengetahuan, dia memilih meninggalkan istana dan mengembara. Bekal berharga untuknya di kemudian hari.
ROMBONGAN turis asing itu terpukau oleh koleksi benda-benda antik nan cantik milik Museum Puro Mangkunegaran. Selain jumlahnya masih banyak, mayoritas koleksi itu juga terawat. Komentar acap keluar dari mulut para turis itu. Sambil menenteng plastik kresek sebagai tempat alas kaki –karena aturan dalam museum mengharuskan alas kaki pengunjung dilepas saat di dalam Dalem Ageng, tempat yang kini jadi museum– mereka terlihat sering manggut-manggut setelah mendapat penjelasan dari tour guide.
Dari sekian banyak koleksi milik museum, benda-benda milik dan tentang Mangkunegara VII mungkin terbanyak. Penguasa Mangkunegara berpikiran maju itu punya kepedulian tinggi terhadap seni-budaya dan sejarah. “Beliau kan orangnya multitalenta,” ujar Supriyanto (petugas Dinas Urusan Istana Mangkunegaran) kepada Historia.
Pengembaraan
Mangkunegara VII atau RM Soerjo Soeparto merupakan putra laki-laki ketiga dari 12 putra laki-laki Mangkunegara V. Lahir pada 15 Agustus 1885, Soeparto menjalani kehidupan masa kecil jauh dari kemewahan selayaknya anak-anak raja pada umumnya. Penyebabnya, Mangkunegaran saat itu sedang mengalami defisit yang disebabkan oleh salah urus perekonomian oleh Mangkunegara V, krisis ekonomi dunia, dan hancurnya perkebunan kopi yang menjadi sumber keuangan Mangkunegaran oleh hama.
Selain itu, sejak kecil Soeparto hidup dalam pengasuhan pamannya, Pangeran Handajaningrat (kemudian Mangkunegara VI). “Mangkunegoro V kan meninggal dalam usia muda, kecelakaan,” ujar Supriyanto. Dalam Modernisasi di Jantung Budaya Jawa: Mangkunegaran 1896-1944 karya Wasino disebutkan, Soeparto sejak kecil diberikan oleh orangtuanya kepada Pengeran Handajaningrat lantaran sang pangeran belum dikaruniai putra kendati telah lama menikah.
Dalam kesehariannya, Soeparto memiliki banyak perbedaan dibandingkan anak-anak pada umumnya. Dia lebih senang melihat tanaman di kebun dan menanyakan nama tanaman-tanaman yang ada ketimbang bermain bersama anak-anak sebayanya. Soeparto juga lebih banyak menyendiri. Andai berkumpul, Soeparto lebih senang duduk-duduk dengan emban dan para abdi dalem.
“Tidak ikutnya Soeparto bermain seperti putra-putra Mangkunegara V yang lain menandakan sikap rendah diri, karena walaupun merupakan putra Mangkunegara V ketika itu, toh ia sudah diberikan kepada Mangkunegara VI. Dengan demikian, derajat sosialnya lebih rendah daripada putra Mangkunegara V yang langsung di bawah asuhannya sendiri,” tulis Wasino.
Namun, pendidikan Soeparto sampai jenjang Europeesche Lagere School (ELS) tetap ditanggung oleh Mangkunegara VI seperti anak Mangkunegara V yang lain. Pembatasan jenjang itu jelas membuat Soeparto tak puas. Hasratnya untuk mengenyam pendidikan ke jenjang lebih tinggi amat besar.
Baca juga: Secuil Kiprah Politik-Budaya Raja Jawa
Setelah berupaya meminta izin untuk melanjutkan pendidikan kepada Mangkunegara VI dan ditolak, Soeparto frustrasi. Dia kemudian menikah dengan Mas Rara Mardewi, putri bekel bernama Mas Wangsasutirta. Alih-alih bahagia setelah menikah dan dikaruniai putri bernama BRA Partini, Soeparto justru melampiaskan rasa frustrasinya dengan meninggalkan anak, istri, dan Mangkunegaran.
Dengan bekal alakadar, Soeparto mengembara. Sesekali menumpang kereta api kelas III, Soeparto lebih banyak berjalan kaki mengunjungi desa-desa. Dia makan sekadarnya, terkadang pemberian penduduk. Apabila tak beruntung mendapat tumpangan menginap di rumah kepala desa, Soeparto menginap di rumah penduduk atau bahkan seringkali di pinggir jalan.
Pengembaraan itu membuat Soeparto melihat langsung dan mengenali wilayah-wilayah yang disinggahinya berikut kondisi masyarakat di dalamnya. Dia merasakan perasaan sebagian besar masyarakat.
Di Demak, Soeparto menetap dan mendapat pekerjaan sebagai juru tulis, lalu mantri. Saat menjadi mantri itulah Soeparto mengetahui kondisi kesehatan masyarakat.
Sambil bekerja, Soeparto terus menambah pengetahuan bahasa Belanda dan sastra Jawanya dengan mengikuti kursus yang biayanya didapatnya dari menyisihkan gaji. Namun, itu tak berlangsung lama. Konfliknya dengan bupati Demak dan membuatnya berhenti bekerja. Soeparto kembali frustrasi lantaran tak kunjung mendapatkan pekerjaan. Frustrasi itu baru sirna setelah dia mendapat pekerjaan dari Residen Van Wijk, menerjemahkan naskah-naskah berbahasa Jawa ke bahasa Belanda atau sebaliknya.
Soeparto amat menikmati pekerjaan barunya. Sambil bekerja, Soeparto bergabung dengan Boedi Oetomo dan aktif berdiskusi serta menulis di Dharmo Kondo. Tak lupa, dia terus menabung untuk biaya sekolah di Eropa yang diimpikannya.
Kerja keras dan ketekunan Soeparto menjadi perhatian residen. Setelah melihat semangat Soeparto yang tak pernah kendur, residen akhirnya merekomendasikan agar Soeparto bisa belajar di Eropa dengan biaya sendiri. Mimpi Soeparto akhirnya menjadi kenyataan ketika pada 12 Juni 1913 dia berangkat ke Eropa untuk belajar di Leiden.
Baca juga: Jembatan Perlawanan Mangkunegaran
Soeparto memanfaatkan betul kesempatannya di Eropa untuk menambah pengetahuan dan pergaulan serta pengalaman. Selain senang berkeliling ke berbagai tempat, dia bersahabat dengan banyak orang. “Mangkunegara VII menikmati kehangatan hubungan dengan etnografer tari Claire Holt dan arkeolog Belanda, Willem Suttterheim,” tulis Laurie Margot Ross dalam The Encoded Cirebon Mask: Materiality, Flow, and Meaning along Java’s Islamic Nortwest Coast. Soeparto juga berkarib dengan etnomusikolog Jaap Kunst.
Pengetahuan, pergaulan, dan pengalaman di Eropa menambah kaya pengalaman Soeparto yang banyak didapat saat menderita di masa pengembaraan. “Dalam perjalanan pengembaraan itu ia dapat mengenal wilayah dan kehidupan masyarakat yang disinggahi. Dengan cara itu ia dapat mempelajari kehidupan masyarakat Jawa. Kesan ini tampak memengaruhi kepribadiannya, sehingga ketika menjadi Mangkunegara, ia sangat memikirkan nasib kemajuan dan kemakmuran rakyatnya,” tulis Wasino.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar