Kisah Letnan Nicolaas Silanoe
Serdadu peniup terompet yang pernah ikut melawan pengikut Pattimura ini menumbangkan saudara Sentot Prawirodirdjo dalam Perang Jawa.
MENJADI tentara merupakan satu dari sedikit jalan cepat untuk meningkatkan status sosial sekaligus ekonomi. Untuk itulah banyak pemuda memilih mendaftarkan diri ke tentara kolonial Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL) begitu lepas dari masa remaja.
Itu pula yang dilakukan Nicolaas Silanoe, pemuda kelahiran Pelabuhan Ambon tahun 1798. Dia bergabung dalam tentara kolonial sejak April 1817 ketika usianya masih 19 tahun.
Silanoe masuk sebagai serdadu rendahan dengan kontrak selama lima tahun. Pertengahan tahun 1817 itu, Belanda sedang meladeni perlawanan orang-orang Saparua di bawah Kapitan Pattimura. Silanoe pun dilibatkan dalam meredaman perlawanan Pattimura, yang dianggap Belanda sebagai pemberontakan itu. Setelah Pattimura dihukum mati, menurut stamboek-nya yang tersimpan di Arsip Nasional Belanda, Silanoe kembali ke Depot Ambon pada 21 Agustus 1818.
Sejak 7 Januari 1822, dia menjadi hoornblazer (peniup terompet) dan pada 18 Septmber 1822 pangkatnya naik menjadi kopral. Itu dijalaninya hingga tiga tahun.
Pada 21 November 1825, pangkat Silanoe naik lagi menjadi sersan. Tak lama kemudian, dia ditempatkan di Pulau Sulawesi hingga 1826. Tahun berikutnya, Silanoe ditempatkan ke Jawa. Sersan Silanoe tugaskan dalam Perang Jawa (1825-1830), melawan para pengikut Pangeran Diponegoro.
Sebagai sersan, Silanoe bisa memimpin pasukan antara 10 hingga 20 personel. Register Ridders Militaire Willemsorde 4 nomor 3897 menyebut dirinya pada 1827 berada di sebuah kampung bernama Tangkilan di daerah Bambanglipuro, Bantul bagian selatan.
“(Dia menghadapi pasukan, red.) Diponegoro dan menghujani Desa Tangkilan dengan tembakan meriam,” catat Saleh As’ad Djamhari dalam Strategi Menjinakkan Diponegoro: Stelsel Benteng, 1827-1830.
Pertempuran Tangkilan berlangsung seru. Masing-masing pihak adu cakap taktik. Silanoe memainkan peran pentingnya di sana.
“Sebagai Sersan Ambon pada saat penyerangan ke kompleks Tangkidan pada tanggal 6 Desember 1828, untuk seorang diri menjatuhkan saudara laki-laki Sentot (salah satu pemimpin pemberontak),” catat pihak Belanda dalam Register 3897.
Pihak Belanda menyebut Silanoe telah menunjukan kemampuannya sebagai tentara. Dia pun mendapat bintang medali perak dari kerajaan Belanda.
Sentot yang dimaksud adalah Sentot Ali Basah Prawirodirdjo, salah satu panglima andalan Pangeran Diponegoro. Pada tahun berikutnya Sentot dan pengikutnya menyerah kepada Belanda, pihak Pangeran Diponegoro pun melemah. Perang Jawa itu akhirnya berhenti setelah Pangeran Diponegoro ditangkap di Magelang.
Setelah Perang Jawa, Silanoe, juga Sentot dan pengikutnya dikirim pula ke Sumatra Barat. Ada perang Belanda yang belum selesai di sana, yakni Perang Padri yang dipimpin Tuanku Imam Bonjol. Sersan Silenoe di sana ditugaskan pada batalon Infanteri tentara kolonial.
Lagi-lagi, Silanoe menunjukan keberanian dan kebijaksanaannya sebagai pimpinan pasukan kecilnya. Dia dan pasukannya terlibat upaya penyerangan kedua pada Juli 1837.
Atas dedikasinya, dia mendapatkan lagi bintang perak dari kerajaan. Selain itu, di masa ini (20 April 1834) dia kembali mendapat kenaikan pangkat, menjadi letnan dua.
Pangkat letnan satu yang didapatnya beberapa tahun kemudian, dia sandang hingga pensiun. Namun hampir 30 tahun setelah pertempurannya di Tangkilan, Kerajaan Belanda mengeluarkan keputusan Koninklijk Besluit anggal 26 Agustus 1867 No 21. Lewat keputusan tersebut, Letnan Nicolaas Silanoe dianugerahi Ridder Militaire Willemsorde 4e atau Ksatria Kelas 4 Ordo Militer William.
Belakangan, Letnan Silanoe tinggal di Surakarta. Di kota ini pula pada 30 Oktober 1877 Silanoe tutup usia.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar