Kisah Buronan Sekutu
Tiga tentara Jepang di wilayah Indonesia Timur menghindari status penjahat perang dengan bergabung ke TNI. Dikejar intel Australia hingga Pulau Jawa.
Pasca berakhirnya Perang Dunia II, banyak tentara Jepang yang melakukan desersi. Alih-alih menuruti seruan pimpinan tertingginya, mereka malah bergabung dengan para pejuang kemerdekaan Indonesia. Menurut peneliti sejarah dari Jepang Aiko Kurasawa, jumlah mereka hampir mendekati 1.500 orang.
“Motivasi mereka bermacam-macam, namun sebagian karena takut menghadapi pengadilan perang Sekutu,” ungkap penulis buku Sisi Gelap Perang Asia itu.
Baca juga:
Aiko tidak salah. Setidaknya itu yang menjadi salah satu motivasi Masharo Aoki untuk lari ke Jawa dan bergabung dengan gerilyawan TNI dari unit Pasukan Pangeran Papak (PPP) sejak Maret 1946. Sumber-sumber Belanda menyebut bahwa Aoki tadinya merupakan pimpinan kamp konsentrasi yang bertanggungjawab atas ratusan tawanan Eropa di Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT).
“Dia dikenal sangat kejam, namun beberapa saksi menyebut Aoki justru berlaku fair terhadap orang-orang Eropa yang menjadi tanggungjawabnya di sebuah kamp yang terletak di Flores,” tulis koran Nieuwe Courant, 24 Juni 1949.
Aoki kemudian merubah namanya menjadi Abu Bakar. Dia dikenal sebagai salah satu komandan paling populis di Markas Besar Gerilya Galunggung (MBGG), sebuah unit rahasia yang dibentuk oleh TNI di pegunungan Garut-Tasiklmalaya.
Dalam suatu penggerebekan, Aoki berhasil ditangkap militer Belanda di Gunung Dora pada 26 Oktober 1948. Alih-alih diserahkan kepada pihak Sekutu, militer Belanda malah mengadili lelaki Jepang kharismatik itu. Aoki akhirnya ditembak mati di Garut pada 21 Mei 1949.
Baca juga:
Nasib serupa juga dialami oleh Nishida dan Karta (belum jelas benar siapa nama Jepang-nya). Kedua eks tentara Jepang itu menurut sumber-sumber Sekutu yang berhasil digali oleh sejarawan Des Alwi, merupakan bekas algojo-algojo yang bertanggungjawab atas hilangnya nyawa puluhan orang Amerika Serikat, Inggris, Belanda dan Australia di Kamp Ambon, Maluku pada 1943-1945.
“Des menceritakan itu langsung kepada saya,” ungkap almarhum Priyatna Abdurrasyid, eks perwira Corps Polisi Tentara (CPT) di Bogor.
Menghindari kejaran pihak Sekutu, Nishida dan Karta lantas lari ke Surabaya sekira akhir 1945. Dari Surabaya mereka pergi ke Batavia dan selanjutnya menghindar ke pelosok hingga bergabung dengan Tentara Republik Indonesia (TRI) dari Batalyon II Resimen Bogor pimpinan Mayor A.E. Kawilarang.
Baca juga:
Rupanya keberadaan kedua buronan perang itu tercium oleh intelijen Sekutu. Awal April 1946, Detasemen Kejahatan Perang Australia (AWCD) mengirimkan petugasnya yang bernama Squadron Leader Frederick George Birchall untuk meringkus Nishida dan Karta. Demikian menurut pemberitaan koran The Canberra Times, 20 April 1946.
Sebelum mendapatkan keduanya, Birchall justru dibunuh duluan oleh Nishida dan Karta dengan bantuan satu kompi TRI pimpinan Letnan Bustomi dari Yon II. Mayat Birchall kemudian dikubur di sebuah kebun dekat Stasiun Maseng, Bogor Selatan.
“Dibantu oleh dua warga setempat, saya berhasil menemukan jasadnya dan memberikannya ke pihak Sekutu via pemerintah RI,” ujar Priyatna.
Atas permintaan Sekutu, Nishida dan Karta kemudian ditangkap. Dengan mudah mereka kemudian diringkus oleh Polisi Tentara (PT) di markas Yon II. Dalam otobiografi-nya (Untuk Sang Merah Putih), A.E. Kawilarang yang saat itu menjabat sebagai komandan batalyon mengaku awalnya keberatan anak buahnya ditangkap begitu saja. Namun karena ada surat perintah langsung dari Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin, Kawilarang tak bisa berbuat apa-apa.
Nishida dan Karta lantas diserahkan ke Markas Besar Komandemen Jawa Barat di Purwakarta. Di sana, mereka berdua diperlakukan secara baik, bahkan ditempatkan tidak di sel tahanan.
“Kami ditampung bersama kedua Jepang itu di sebuah mess Komandemen,” ujar Priyatna yang ikut mengantar Nishida dan Karta ke Purwakarta.
Baca juga:
Selanjutnya, Priyatna, yang saat itu berpangkat letnan satu, jadi terlibat lebih akrab dengan kedua Jepang itu. Kepada perwira PT tersebut, Nishida berkisah bagaimana mereka berdua mengikuti nasib terlempar dari satu medan perang ke medang perang lainnya di Asia: mulai Indocina hingga Indonesia.
Setelah beberapa hari tinggal bersama kedua tahanan itu, Priyatna akhirnya harus balik ke Bogor. Seiring dengan itu, keluar perintah dari Jakarta kepada Panglima Komandemen Jawa Barat Jenderal Mayor Didi Kartasasmita.
“Mereka memerintahkan saya untuk memberangkatkan kedua mantan tentara Jepang itu ke Jakarta,” ungkap Didi Kartsasmita dalam otobiografinya, Pengabdian bagi Kemerdekaan (disusun oleh Tatang Sumarsono).
Namun perintah itu tak pernah terlasanakan. Sebelum Kepala Intel Komandemen Jawa Barat Mayor Soeroto Koento menyampaikannya secara langsung kepada Nishida dan Karta, kedua eks tentara Jepang tersebut keburu mati dalam kondisi kepala pecah. Penyebabnya, ledakan granat yang konon mereka lemparkan sendiri ke dinding kamar.
Rupanya Nishida dan Karta lebih memilih harakiri daripada harus berdiri sebagai pesakitan di pengadilan militer Sekutu.
Baca juga:
Tambahkan komentar
Belum ada komentar