Mayor Alex dan Harta Karun Jepang
Dikenal sebagai seorang militer yang lurus, Alex Evert Kawilarang pernah menyelamatkan aset negara berupa emas, berlian, dan permata.
SERSAN Mayor (Purn) Sanip masih ingat perintah atasannya ketika mulai terjun di palagan Sulawesi Utara pada Agustus 1959. Kepada para prajurit Batalyon 330 Kudjang I Siliwangi, komandan tersebut menekankan jika nanti harus berhadapan dengan Panglima Angkatan Perang Revolusiener (APREV) Alex Evert Kawilarang maka diupayakan untuk ditangkap hidup-hidup.
"Jangan sakiti beliau! Pak Alex adalah orang tua kita yang sedang khilaf dan harus disadarkan,” ujar sang komandan.
Tak cukup hanya dengan perintah. Para prajurit Siliwangi juga menempelkan berbagai selebaran dan pengumuman tertulis di hutan-hutan Sulawesi Utara. Menurut A.H. Nasution, itu dilakukan semata-mata karena bentuk rasa hormat para prajurit asal Jawa Barat itu kepada tokoh senior Siliwangi tersebut.
“Anak-anak Siliwangi ada yang memasang tulisan-tulisan di papan, yang isinya memanggil: ‘Pak Kawilarang supaya kembali!’” kenang Nasution dalam biografinya, Memenuhi Panggilan Tugas Jilid IV: Masa Pancaroba Kedua.
Baca juga: Alex Kawilarang, Kisah Patriot yang Dicopot
Bisa dikatakan Alex Kawilarang adalah legenda di Siliwangi. Sejak meniti karir sebagai tentara, Alex sudah membuktikan pengabdiannya yang tak terbatas untuk Divisi Siliwangi. Ketika awal Perang Kemerdekaan (1945-1949) meletus, nama Alex sudah dikenal oleh masyarakat Sunda di wilayah Bogor, Cianjur dan Sukabumi. Kendati dirinya seorang Minahasa yang beragama Kristen.
“Pak Kawilarang itu orangnya jujur dan baik tapi tegas. Jadi wajar kalau setiap prajuritnya tak pernah bisa melupakannya seumur hidup,” ujar almarhum Kopral Dua (Purn.) Satibi, eks anak buah Kawilarang di Sukabumi dan Cianjur.
Satibi ingat saat bergerilya di wilayah hutan Kalapa Nunggal, Cianjur Selatan pada sekitar 1947, Kawilarang sempat jatuh terkilir hingga menyebabkan kaki kirinya mengalami masalah otot. Akibatnya dia tak bisa berjalan cepat.
“Sayalah yang menggendongnya saat beliau akan menyebrangi sebuah sungai besar,” kenang Satibi.
Baca juga: Selalu Dikira Tentara Belanda
Peretengahan 1946, kejujuran Alex Kawilarang pernah teruji saat dirinya menjabat posisi Kepala Staf Resimen Bogor dengan pangkat mayor. Ketika pasukannya mengobrak-abrik bekas markas tentara Jepang di Pondok Gede (masuk wilayah Lido, Bogor Selatan), tetiba seorang anak buahnya melaporkan adanya onggokan bekas galian tak jauh dari markas yang sebenarnya bekas pabrik karet itu.
Mayor Alex kemudian memerintahkan Sersan Mayor Sidik, beberapa anggota Polisi Tentara, seorang pegawai perkebunan dan dua penduduk setempat untuk menggali tumpukan tanah itu. Belum satu meter tanah itu digali, tetiba mereka melihat suatu benda yang mirip bom. Kontan mereka berloncatan takut “bom” itu meledak.
Namun ketika diamati, benda itu ternyata sebuah guci besar. Singkat cerita, dibukalah guci itu. Alangkah kagetnya mereka ketika di dalam guci itu mereka menemukan beberapa kaos kaki yang isinya emas, permata dan berlian.
Untuk mencegah keributan, Alex langsung membawa guci harta karun tentara Jepang itu ke markas lalu menyimpannya di atas tempat tidurnya. Dia lantas memerintahkan anak buahnya untuk menjaga temuan berharga itu selama 24 jam.
Keesokan harinya, beberapa tokoh agama dan tokoh masyarakat Cigombong datang menemui Alex. Mereka menyatakan lebih baik harta karun itu diserahkan saja kepada mereka untuk kepentingan perjuangan.
“Bapak-bapak ini benar mau berjuang?” tanya Alex. Tamu-tamu itu mengangguk dan meyakinkan lagi sang perwira bahwa mereka benar-benar mau berjuang.
Mendengar pernyataan itu, Alex langsung pergi ke belakang. Dia membawa dua peti granat made in Panumbangan (pabrik senjata Republik di wilayah Bogor).
“Ini buat berjuang,” ujar Alex singkat. Alih-alih menjadi gembira, para tamu malah bengong dan terpaksa menerima dua peti granat tersebut.
Baca juga: Lagu Buat Alex Kawilarang
Atas saran Residen Bogor Moerdjani, Alek kemudian menyerahkan harta karun itu kepada Kementerian Dalam Negeri. Dengan dikawal 4 anak buahnya yang terpercaya, guci berisi emas, permata dan berlian tersebut diberangkatkan ke Purwokerto (saat itu Kementerian Dalam Negeri RI berposisi di sana).
“Yang menandatangani surat penerimaan guci itu adalah Mr. Sumarman, Sekretaris Kementerian Dalam Negeri,” ungkap Alex Kawilarang dalam biografinya, Untuk Sang Merah Putih (disusun oleh Ramadhan KH).
Sayang, surat tanda terima itu menurut Alex sudah musnah terbakar sewaktu militer Belanda melakukan pemboman (dalam rangka Operasi Produk atau Agresi Militer I) ke markasnya di Panumbangan. Namun peristiwa itu cukup membuktikan bahwa Alex bukanlah tipe perwira yang ingin memanfaatkan kedudukannya untuk kepentingan pribadi. Lantas bagaimana nasib harta karun itu?
Tak pernah jelas. Namun menurut Alex, pada 1972, Majalah Ekspres pernah berupaya membuat investigasi mengenai keberadaan harta itu. Kendati penggunaan tidak disebutkan, dokumen-dokumen di Kementerian Dalam Negeri menkonfirmasi penerimaan sebuah guci berisi 7 kg emas, permata dan berlian yang ditemukan di Kompleks Perkebunan Pondok Gede, Bogor pada 1946.
“Majalah Ekspres edisi 29 September 1972 menyebut nilainya sampai sebanyak hampir 6 milyar rupiah,” ungkap Alex Kawilarang.
Baca juga: Tewasnya Perwira Australia di Bogor
Tambahkan komentar
Belum ada komentar