Kiprah Soedigdo yang "Tak Diakui" Lantaran Kiri
Dia pejuang RI yang pernah bertempur melawan Belanda. Tapi hanya diingat karena keterkaitannya dengan PKI dan Untung
Kamis, 23 September 1948, Kolonel Gatot Subroto memerintahkan Mayor Slamet Rijadi, komandan Brigade V, untuk mencegat Mayor Soedigdo dan pasukannya di Tirtomoyo, Wonogiri, Jawa Tengah. Pasukan Soedigdo dianggap telah berganti haluan politik sehingga bisa membahayakan.
“Ketika bulan September 1948 meletus Peristiwa Madiun, Gubernur Militer Kolonel Gatot Soebroto memperoleh informasi batalyon Soedigdo telah dipengaruhi komunis,” tulis Julius Pour dalam Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualang.
Batalyon yang dipimpin Soedigdo dicurigai hendak menyeberang ke Madiun. Kebetulan batalyon Seodigdo beroperasi di Wonogiri yang merupakan daerah paling timur Jawa Tengah, jadi tak terlalu jauh ke Madiun.
“Slamet Rijadi berusaha secepatnya untuk bisa sampai di Tirtomoyo, kota kecil antara Wonogiri dan Madiun, guna mencegat perjalanan Soedigdo,” tulis Pour dalam buku yang lain, Ignatius Slamet Rijadi Dari Mengusir Kempeitai Sampai Menumpas RMS.
Operasi Slamet Rijadi berhasil –kecuali ada seorang komandan peleton batalyon itu yang tidak ikut berhasil lolos dari cegatan pasukan Slamet Rijadi, yakni Koesman. Pasukan Soedigdo lalu diarahkan ke Paras, Boyolali, di lereng Gunung Merbabu.
Soedigdo adalah komandan batalyon 13 yang beroperasi di sekitar Solo, Jawa Tengah. Sebelum 1948, dirinya sudah menjadi mayor di Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Soedigdo sempat ditahan di Penjara Wirogunan. Namun setelah tentara Belanda menyerbu ibukota Yogyakarta pada 19 Desember 1948, Soedigdo kabur dari penjara bersama Mayor Pramudji dan beberapa orang lainya. Sembari kabur, mereka merampas senjata api petugas penjara.
Dari Yogyakarta, rombongan Soedigdo kabur menuju Imogiri. Dalam perjalanan ke Imogiri itu, rombongan Soedigdo bertambah kuat.
“Mereka juga mendapat pengikut-pengikut baru, pemuda-pemuda sepemikiran dengan mereka bahwa kini tiba saatnya menghadapi tentara Belanda lagi. Maka ketika mereka tiba pada sore hari di Imogiri, mereka masing-masing mempunyai satu regu pasukan yang bersenjata lengkap. Tak ada satu orang pun mengira bahwa pagi harinya mereka masih berada tahanan pemerintah,” catat Suparna Sastradiraja dalam pengantarnya di Novel MMC di Lereng Merapi-Merbabu.
Soedigdo bertemu lagi dengan pasukannya di sekitar Wonogiri. Termasuk Koesman yang ganti nama menjadi Untung. Pasukan Soedigdo kemudian terlibat pertempuran dengan pasukan Batalyon 5-6 Resimen Infanteri dari Koninklijk Landmacht (Angkatan Darat Belanda) di Baturetno. Pasukan Soedigdo melakukan penyerangan ke pos Belanda di sekitar Jembatan Pakem dan Jembatan Janglot.
Menurut catatan G Setiawan dalam “Gugurnja Kopral Slamet, Kopral Walidi Pradj. Iskandar (Putera Jepang)” di Madjalah Angkatan Darat 8-9 Agustus-September 1957, pertempuran itu terjadi beberapa bulan setelah kota Wonogiri diduduki tentara Belanda. Kota Wonogiri sendiri diduduki Belanda sekitar 29 Desember 1948.
Peleton Untung pun juga terlibat pertempuran. Sebelum penyerangan, peleton Untung berada di Kecamatan Batuwarna. Dari Batuwarna mereka mengambil posisi di perbukitan menunggu tentara Belanda yang hendak mereka cegat. Pasukan Untung dan pasukan KL saling baku tembak di sana.
Menang-tidaknya pasukan Digdo di Pertempuran Baturetno membuktikan bahwa ada pertempuran melawan Belanda di Baturetno meski dilakukan oleh Untung dan Digdo yang kemudian dicap kiri.
Soedigdo, disebut-sebut oleh Raden Ace Wiriadinata dari Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) —yang belakangan menjadi marsekal dan pernah memimpin pasukan payung– pernah berada di sekitar Surakarta sekitar 1949. Wiriadinata hanya memandang Soedigdo sebagai orang yang berbahaya saja di sektiar Solo. Tidak ada kerjasama signifikan di antara mereka dalam melawan tentara Belanda.
Setelah perang antara Indonesia-Belanda berakhir pada akhir 1949, Soedigdo dan Untung melanjutkan kariernya di TNI. Mereka berdua satu batalyon di Kleco. Mayor Soedigdo sebagai komandannya. Soedigdo pernah pula ditempatkan di Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (SSKAD) yang mendidik calon kolonel dan jenderal Angkatan Darat.
“Batalyon Digdo yang bermarkas di Kleco memperoleh pendidikan politik dari tokoh PKI Alimin, di antaranya Untung dan Suradi, yang kemudian pada tahun 1965 mempimpin G.30.S/PKI. Karena itu, tidak sulit bagi saya untuk menerka siapa yang berada di belakang G.30.S/ PKI, setelah saya mendengar siaran lewat radio bahwa yang memimpin gerakan itu adalah Untung,” kata Soeharto, yang kenal dekat Untung, dalam Soeharto: Pikiran Ucapan dan Tindakan Saya.
Pada 1965, Letnan Kolonel Untung tertangkap dan dihukum mati akibat memimpin Gerakan 30 September. Sementara, Kolonel Soedigdo yang tidak terlibat dalam gerakan Letnan Kolonel Untung, ikut kena getahnya. Ia ditangkap dan ditahan. Di masa penahanannya, Kolonel Soedigdo pernah bersama Jenderal Mayor Soemarsono –Gubernur Militer Madiun semasa Madiun Affair 1948.
“Saya dimasukan ke Blok E di RTC (Rumah Tahanan Chusus) Salemba, Jakarta. Pada waktu itu, dimasukkan juga ke blok yang saa dengan Kolonel Soedigdo,” aku Soemarsono dalam Negara Madiun.
Setelahnya, tak ada lagi kabar tentang Kolonel Soedigdo. Dia hanya dikenang sebagai perwira yang terlibat Peristiwa Madiun 1948.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar