Jenderal yang Disalahkan
Himawan Soetanto dituduh bersikap lembek terhadap gerakan anti Soeharto yang dipelopori mahasiswa Bandung.
Bandung, 9 Februari 1978. Pagi baru saja menyeruak ketika Maria mendengar suara letusan senjata memecah keheningan. Beberapa saat kemudian dari arah kampus ITB, puluhan mahasiswa terlihat berlarian dalam wajah panik. Sementara di belakang, para serdadu berbaret hijau dengan senjata lengkap mengejar mereka bak binatang buruan.
“Di Jalan Trunojoyo pas dekat rumah saya, dua mahasiswa berhasil ditangkap dan langsung dipukuli dengan popor senjata,” tutur perempuan asli Bandung berusia 71 tahun itu.
Tak ada yang menolong mereka. Masyarakat yang saat itu ada di jalanan pun tak bisa berbuat apa-apa. Alih-alih menolong, mereka hanya bisa menonton saja pemandangan brutal di depan mata tersebut. Dari halaman rumahnya, Maria masih sempat melihat seorang serdadu berteriak garang.
“Ngapain kalian menonton kami! ABRI bukan ketoprak!”
Pada waktu yang sama serentetan tembakan menghantam bagian depan rumah Profesor Iskandar Alisyahbana di kawasan Tamansari. Hamburan pelurunya tidak saja berhasil memecah kaca jendela namun juga membuat seluruh penghuninya ketakutan.
Keesokan harinya, Iskandar mendatangi rumah Pangdam Siliwangi Mayor Jenderal Himawan Soetanto. Dalam wajah masam, dia meminta penjelasan dan tanggungjawab terkait peristiwa tersebut.
“Hoe kunnen jullie zo laf zijn?” tanya Iskandar, kurang lebih artinya mengapa pihak tentara bisa bersikap begitu pengecut kepada dirinya.
Awalnya Himawan hanya bisa bengong saja. Namun dengan tegas dia menolak tuduhan Iskandar bahwa prajuritnya yang melakukan tindakan tersebut. Kepada Rektor ITB itu, Himawan menjamin bahwa para prajurit Siliwangi sudah dia perintahkan untuk bertindak persuasif terhadap para mahasiswa.
“Saya pastinya menolak jika pelaku penyerbuan dan penembakan itu adalah prajurit Siliwangi, tapi saya tak bisa membantah jika pelakunya adalah tentara. Serakan selongsong peluru kaliber 45 di sekitar rumah Pak Iskandar membuktikan itu,”ujar Himawan dalam suatu wawancara di tahun 2009.
Dianggap Lamban
Pasca Pemilu 1977, kampus-kampus di Bandung mulai memanas. Aksi menolak pencalonan kembali Jenderal Soeharto sebagai presiden nyaris setiap hari dilakukan oleh para mahasiswa. Seruan untuk mogok kuliah pun mulai menggema.
Secara resmi, Rektor ITB pun menganggap aksi-aksi mahasiswanya masih dalam batas kewajaran. Iskandar menyebut demonstrasi mahasiswa sebagai gerakan moral yang sebenarnya bagus untuk mengingatkan pemerintah untuk terus berpihak kepada rakyat.
“Yang mencolok di kampus ITB ya cuma banner sepanjang lima meter itu yang isinya menolak pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden,” ujar Iskandar seperti dikutip Daud Sinjal dan Atmadji Sumarkidjo dalam Himawan Soetanto Menjadi TNI.
Pihak Kodam VI Siliwangi sendiri seperti sependapat dengan Iskandar. Itu dibuktikan dengan seruan Pangdam VI Siliwangi Mayjen Himawan Soetanto yang memerintahkan anak buahnya untuk menangani aksi mahasiswa lewat cara yang persuasif.
“Saya ketika itu memang menyikapi gerakan mahasiswa dengan wajar-wajar saja...Sikap mereka merupakan bagian dari dinamika dan kontrol sosial,” ungkap Himawan.
Sikap Himawan tersebut dalam kenyataannya ditentang keras oleh para petinggi ABRI di Jakarta. Kepada jurnalis senior Jopie Lasut, Himawan sempat curhat bahwa saat dipanggil ke Jakarta pada awal Januari 1978, dirinya sempat dimarahi oleh Kaskopkamtib Laksamana Sudomo.
“Dia dianggap lamban dalam soal menyelesaikan masalah demonstrasi mahasiswa di Bandung,” ungkap Jopie Lasut dalam Kesaksian Jurnalis Anti ORBA; MALARI Melawan Soeharto dan Barisan Jenderal ORBA.
Bahkan kepada Pangkowilhan II Jawa-Madura Letnan Jenderal Widjojo Sujono, Sudomo secara khusus memerintahkan untuk mengawasi Himawan.
Digunting dalam Lipatan
Kendati sudah dipanggil dan diingatkan beberapa kali, Himawan seolah “enggan” menjalankan perintah Jakarta untuk bersikap tegas terhadap mahasiswa. Dia beranggapan selama aksi-aksi mahasiswa terjadi di dalam kampus dan tidak mengganggu kehidupan sehari-hari masyarakat Bandung maka tak ada alasan baginya untuk bertindak represif.
Tentu saja sikap “mbalelo” Himawan ini menjadikan Sudomo murka. Tanpa melibatkan Himawan, dia kemudian membuat sebuah gerakan yang diberi sandi: Operasi Kilat. Untuk Bandung, hari H-nya adalah 25 Januari 1978.
Operasi Kilat berhasil membungkam untuk sementara gerakan mahasiswa Bandung. Disebutkan Himawan 164 aktivis mahasiswa berhasil diciduk dan kampus-kampus diduduki oleh tentara. Namun beberapa hari kemudian, aksi-aksi mahasiswa seolah bangkit kembali. Beberapa dari mereka bahkan berani menyebarkan selebaran gelap dan memasang spanduk “gantung Soeharto” di beberapa sudut kampus.
Limabelas hari kemudian, tentara kembali menyerbu kampus-kampus di Bandung. Lagi-lagi Himawan sebagai panglima daerah digunting peranannya melalui Asintel-nya yakni Kolonel Samalo, yang sesuai perintah Sudomo langsung memimpin penyerbuan.
“Jadi ini out of control karena saat bergerak ke kampus-kampus yang diberlakukan adalah komando intelijen...Jadi gerakan pasukan itu memang tidak dalam kontrol Pangdam,” kata Himawan saat diwawancarai oleh Jopie Lasut.
Himawan juga menyangkal jika pasukan yang terlibat dalam operasi-operasi penyerbuan kampus merupakan anak-anak Siliwangi. Dia menyebut bahwa ada pasukan tak jelas yang secara sengaja berpura-pura sebagai pasukan Siliwangi dari unit Kudjang lengkap dengan baret hijaunya.
Ketika dikonfirmasi oleh Jopie kepada seorang yang dekat dengan As Intel Hankam Mayor Jenderal L.B.Moerdhani, soal ini dibenarkan. Menurutnya pasukan yang terlibat dalam penyerbuan kampus ITB adalah dari Kopasandha (sekarang Kopassus). Bahkan beberapa di antaranya ada yang baru saja pulang dari palagan Timor-Timur (kini Timor Leste).
Tidak Menyesal
Pada saat tengah gencar-gencarnya para serdadu menyerbu kampus-kampus di Bandung, terbetik berita dari Radio Australia bahwa Himawan Soetanto sudah dinon-aktifkan sebagai Pangdam VI Siliwangi. Kendati berita tersebut ternyata tidak benar, namun diakui oleh Himawan sendiri bahwa penolakannya terhadap perintah Laksamana Sudomo itu memang telah menjadikan citranya sangat buruk di hadapan Jakarta.
“Dalam suatu kesempatan, saya pernah menjelaskan semuanya langsung kepada Pak Harto, beliau cuma mantuk-mantuk tapi tidak berkomentar,” kenang Himawan. Lantas menyesalkah dia?
Tentu saja tidak. Dalam biografinya, Himawan menyebut bahwa tidak ada niat sedikit pun dalam dirinya untuk tidak mematuhi perintah Jakarta kala itu. Namun sebagai pemimpin teritorial dia merasa akan terjadi kerusakan yang berkepanjangan jika dirinya menjalankan tindakan militer terhadap para mahasiswa tersebut. Himawan tak mau rakyat memendam kebencian terhadap tentara sesudahnya.
“Jika itu dilakukan, Siliwangi akan sulit dimaafkan oleh rakyat Jawa Barat. Sebagai Panglima Siliwangi, kepada saya dipertaruhkan keselamatan rakyat Jawa Barat sekaligus keselamatan citra TNI,” ungkapnya.
Secara karir, Himawan pun akhirnya harus puas hanya sebatas menyandang pangkat Letnan Jenderal dan jabatan Kepala Staf Umum ABRI. Laiknya jenderal-jenderal lurus yang pernah “berdosa” kepada pemerintah Orde Baru, dia kemudian harus menerima ganjaran sebagai tentara yang diasingkan. Pada 1984, Presiden Soeharto menjadikannya duta besar di Malaysia.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar