Bidan Berjuang di Medan Perang
Pengabdian para siswa sekolah bidan yang berani bertaruh nyawa terjun ke Pertempuran Surabaya.
SAMIARTI Martosewojo, Sulastri, Mardiana Firdaus, Rusdiati Koesmini, Supiah, Sufitah, Kus Adalina, Djoharnin, Maryati, Sumartinah, Clara Lantang, Corrie Probonegoro, Daatje Idris, Murni Kadarsih, dan Soejati tak sedikitpun takut pada suasana perang. Perang mempertahankan kemerdekaan justru membulatkan tekad 15 siswi sekolah bidan itu untuk maju ke medan perang sebagai tenaga medis bagi para pejuang.
Kala itu, jumlah tenaga medis di Indonesia amat minim. Di Jakarta misalnya, jumlah dokter yang semula 26 menyusut menjadi 14 orang lantaran ada rumah sakit yang tutup. Dokter-dokter itu kembali ke negaranya atau berpihak pada Sekutu.
Jumlah bidan pun amat minim. Di Rumah Sakit Budi Kemulyaan yang sebelumnya terdapat enam biro konsultasi kehamilan, jumlahnya justru berkurang. Sudar Siandes mencatat dalam Profesi Bidan Sebuah Perjalanan Karier, pada pertengahan 1946 beberapa biro harus ditutup lantaran kekurangan bidan dan tenaga medis. Rumahsakit ini pun agak keteteran memberikan bantuan persalinan di awal kemerdekaan. Meski demikian, selama enam bulan dari 1945 hingga pertengahan 1946, Budi Kemulyaan berhasil menangani 1157 persalinan dalam sebulan. Paling sedikit, rumahsakit ini menangani 451 persalinan dalam sebulan.
Baca juga:
Minimnya jumlah bidan membuat Budi Kemulyaan membuka pelatihan bidan untuk gadis, minimal tamatan SMP atau yang sudah mendapatkan pendidikan keperawatan, antara 1945 hingga 1947. Sebanyak 163 gadis mendaftar sebagai murid sekolah bidan tersebut, 15 di di antaranya dikirim ke palagan Surabaya.
Mereka dikirim ke palagan di bawah bendera Palang Merah. Dokter Walter Tambunan bersama O.E. Engelen, asistennya yang seorang mahasiswa kedokteran di Ika Daigaku, memimpin rombongan tersebut.
Kala itu, kondisi medis di Surabaya amat memprihatinkan. Hampir seluruh rumahsakit di Surabaya mengalami masalah serupa, yakni pasien membludak, alat medis terbatas, dan kekurangan petugas medis.
Untuk menjaring bantuan dari luar daerah, selama pertempuran Surabaya berlangsung, Radio Pemberontak terus menyiarkan berita perang terbaru. Berkat pidato dan popularitas Bung Tomo, obat-obatan, bantuan medis, bahan pangan, tentara, dan beragam dukungan berhasil dikumpulkan dari luar daerah. Dalam siarannya, Bung Tomo acap memaki pasukan musuh dalam bahasa Jawa Surabaya.
Baca juga:
Frank Palmos dalam Surabaya 1945: Sakral Tanahku lebih jauh mencatat, di medan laga kala itu jumlah korban berjatuhan tak sebanding dengan jumlah tenaga medis yang harus merawat mereka. Beruntung, perawat, dokter, dan bidan baru terus berdatangan dari daerah lain untuk membantu rumah sakit yang masih kebanjiran pasien. Bahkan gedung-gedung sekitar rumah sakit pun dijadikan ruang perawatan. Para relawan ini, kemudian hari dikenal sebagai gadis-gadis P3K.
“Relawan baik pejuang maupun tenaga medis datang dari berbagai penjuru Nusantara,” kata Rosihan Anwar, seperti dikutip Frank Palmos.
Begitu tiba di Surabaya, para bidan dan dr. Walter Tambunan langsung bergabung dengan relawan medis dari daerah lain. Orang-orang yang terluka langsung dibawa ke RSU Pusat namun semakin hari pasien makin banyak. RS Karangmenjangan yang tadinya RS Angkatan Laut Jepang pun sudah tak mampu menampung pasien.
Ketika situasi perang makin memburuk dan pengeboman Inggris dimulai, kaum perempuan Surabaya berbondong-bondong turun tangan sebagai tenaga medis. Semua tim medis yang terkumpul dibagi menjadi beberapa kelompok dan dikirim ke Ngemplak, Plampitan, Kampemen, Kedungdoro, dan Embong Sawo. Merekalah yang membantu para korban untuk dibawa ke rumah sakit.
Salah satu perempuan yang bergabung dengan tim medis ialah Truus Iswarni Sardjono. Ia bergabung dengan Palang Merah 45 pimpinan Loekitaningsih. Pada Historia Truus bercerita bahwa ia pernah menyaksikan anak-anak kecil yang tewas terkena bom Inggris.
Baca juga:
Banyaknya korban membuat tim medis keteteran dan kurang tidur. Mereka harus berjaga secara bergiliran untuk menolong korban-korban perang. “Kita itu 24 jam…. Kalau kita bisa merem, itu sudah hebat,” kata Truus.
Lantaran rumah sakit dianggap sebagai wilayah netral untuk keperluan kemanusiaan, para relawan medis bisa keluar masuk daerah perang dengan relatif aman. Biasanya mereka naik mobil ambulans atau kendaraan dengan atap bertuliskan Palang Merah. Selain membawa pasien, truk-truk medis juga membawa obat, bahan farmasi, alat medis, dan bedah.
Setelah perang usai, dari seluruh bidan yang berangkat, hanya delapan di antaranya meneruskan sebagai bidan dan bergabung dengan Ikatan Bidan Indonesia yang dibentuk pada 1950.
Baca juga:
Tambahkan komentar
Belum ada komentar