Batalyon Jawa yang Merepotkan Tuan Tanah di Toraja
Tentara dari Jawa membantu petani melawan tuan tanah di Toraja. Mereka juga membantu perlawanan orang Toraja.
Batalyon Andjing Laut melawan tentara Belanda pada masa revolusi kemerdekaan di Jawa Timur. Komandannya Mayor Ernest Julius Magenda (1919–1972), mantan perwira tentara sukarela Pembela Tanah Air (Peta). Anak buahnya di antaranya Bungkus, Djaharup, dan Dul Arif.
Bungkus menyebut Magenda berasal dari Sangihe-Talaud (Sangir, Sulawesi Utara). “Ia terlihat seperti peranakan Portugis atau Belanda. [Posturnya] Cukup tinggi,” kata Bungkus kepada Ben Anderson dalam “The World of Sergeant-Major Bungkus”, di jurnal Indonesia, No. 78, Oktober 2004.
Bungkus menyebut 85 persen personel Batalyon Andjing Laut adalah orang Madura. Andjing Laut pernah dianggap bagian dari bekas Angkatan Laut yang masuk Brigade 18 dari Tentara dan Teritorium Brawijaya, Jawa Timur. Batalyon ini terlibat dalam penumpasan pemberontakan di Indonesia Timur.
Bungkus mengaku Andjing Laut, yang kemudian dinomori sebagai Batalyon Infanteri 701 lalu berubah lagi menjadi 448, dikirim ke Makassar untuk menghadapi pemberontakan Kahar Muzakkar dan koleganya yang ditolak masuk TNI.
Batalyon Andjing Laut mendarat di Palopo sekitar April 1950. Satu kompi ditempatkan di Tana Toraja. Meski hanya satu kompi, pasukan ini membawa perubahan politik di Toraja.
Baca juga: Yang Mati yang Bercerita di Tana Toraja
Terance W. Bigalke dalam Sejarah Sosial Tana Toraja mencatat, Batalyon Andjing Laut mengisyaratkan berakhirnya Dewan Pemerintahan Swapraja yang agak berbau Belanda. Komite Nasional Indonesia lalu dibentuk partai pro-Republik Indonesia. Selain itu, kesatuan bagian dari Batalyon Andjing Laut, juga menggoyang sistem feodalisme di Toraja.
“Bahkan Komandan Andjing Laut, yang dikirim ke Toraja untuk menjaga ketertiban atas nama Republik, di depan umum membenamkan seorang penguasa terkemuka Makale di kolam alun-alun kota (Makale) karena diduga menipu seseorang sehingga harus pergi dari tanahnya,” tulis Bigalke.
Setelah keluar dari Toraja dan Palopo, Batalyon Andjing Laut menuju daerah Maluku sebelum akhirnya ditempatkan di Jawa Tengah. Sebagian di antaranya masuk ke dalam Resimen Tjakrabirawa, pasukan pengawal Presiden Sukarno. Seperti Bungkus, Dul Arif, dan Djaharup, yang kemudian menjadi bagian dari pasukan penculik para jenderal TNI AD dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Batalyon 422
Kesatuan lain yang dikirim ke Toraja adalah Batalyon Infanteri 422 Divisi Diponegoro dari Jawa Tengah. Batalyon ini cukup menarik karena komandannya, Mayor Maladi Jusuf terkait Peristiwa Madiun 1948. Bigalke menyebut batalyon ini dikirim akhir tahun 1951 dan bertugas sekitar dua tahun di Toraja.
“Aksi-aksi tanah massal yang dilancarkan BTI (Barisan Tani Indonesia) mampu menarik pasukan Diponegoro untuk membantu pertikaian dengan para pemilik tanah yang mengerahkan kelompok pertahanan lokal (semacam centeng), mengadu senapan dengan golok dan cangkul,” tulis Bigalke. Ada personel-personel Batalyon 422 yang mengintimidasi tuan tanah agar membagikan tanahnya. Menurut Bigalke, revolusi itu tidak mungkin terjadi tanpa dukungan Batalyon 422.
Baca juga: Tanah untuk Rakyat
Revolusi yang melibatkan Batalyon 422 mirip revolusi agraria terselubung. Tuan tanah feodal tentu tak menyukai perubahan yang terjadi. Karena serdadu Batalyon 422 mendukung BTI, orang-orang Jawa di Toraja yang menjadi pedagang tak disukai di kalangan elite lokal.
Kehadiran Batalyon 422 di Toraja, yang sebagian besar anggotanya kekiri-kirian, karena permainan petinggi tentara macam Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Kolonel Abdul Haris Nasution.
Baca juga: Sejarah Reforma Agraria
Menurut Barbara Sillars Harvey dalam Pemberontakan Kahar Muzakkar dari Tradisi ke DI/TII, kesatuan macam Batalyon 422 sering kali dipilih bukan karena kecocokannya untuk tugas memadamkan pemberontakan di Sulawesi, tetapi untuk menyingkirkannya dari Pulau Jawa yang secara politik lebih penting. Di antara pasukannya kadang kurang disiplin dan terlatih sebagai tentara.
Batalyon yang disingkirkan dari Jawa itu biasanya abangan atau jika pun Islam biasanya “Islam KTP”. Tidak heran jika mereka bisa dekat dengan pemeluk agama asli Toraja atau pengikut Kristen.
Batalyon 720
Ketika Batalyon 422 yang berbasis di Rantepao masih berada di Toraja, satuan dari Batalyon 720 yang dipimpin Kapten Andi Sose juga berada di Toraja. Andi Sose yang berbisnis dan politis tidak disukai banyak orang Toraja. Pasukannya juga tidak disiplin. Meski sudah bergabung dengan TNI, Andi Sose dianggap dekat dengan Kahar Muzakkar yang berafiliasi dengan DI/TII. Kelompok Kahar ini di antaranya kerap memaksakan agama Islam kepada orang Toraja.
Dalam Batalyon 720 sebenarnya terdapat orang Toraja. Salah satu yang sohor adalah Frans Karangan, komandan kompi 2. Ia dan orang-orang Toraja di dalamnya pernah ikut lari ke hutan. Mereka baru keluar hutan setelah ada kepastian masuk TNI. Namun, setelah mereka masuk TNI, sikap Andi Sose di Toraja mengkhawatirkan.
“Kompi Frans Karangan menjauh dari Andi Sose sesudah pasukannya dimasukan ke dalam TNI,” tulis Bigalke. Sebuah bentrokan terjadi pada 4 April 1953. Andi Sose yang bermain mata dengan sebagian kaum feodal Toraja kemudian diusir dari Toraja, meski katanya benci feodalisme. Andi Sose sendiri berasal dari golongan itu.
Baca juga: Kesaksian Tentang Kahar Muzakkar
Ada hal yang membuat Andi Sose makin dibenci. Diks Pasande dalam “Politik Nasional dan Penguasa Lokal di Tana Toraja”, termuat dalam Antara Daerah dan Negara: Indonesia Tahun 1950-an, mencatat adanya isu tentang rencana Andi Sose membangun masjid di tengah kolam Makale. Kawasan kolam Makale itu dianggap penting bagi Toraja yang kala itu makin Kristen. Kejengkelan kepada Andi Sose yang begitu dominan serta kelakuan sebagian anggota Batalyon 720 membuat orang Toraja berontak.
Ketika terjadi bentrokan antara Andi Sose dengan orang-orang Toraja yang melibatkan kompi Frans Karangan, Batalyon 422 diajak pemuka Toraja untuk membiarkan pemberontakan melawan Andi Sose. Bahkan, Batalyon 422 dianggap memberi pertolongan kepada orang Toraja. Pemberontakan itu berhasil mengusir Andi Sose. Untuk sementara, Andi Sose tak berkutik di Toraja dan terus berkarier serta berbisnis di sekitar daerah Parepare.
Batalyon 422 diganti oleh Batalyon 511 Divisi Brawijaya, Jawa Timur. Frans Karangan dan pasukannya dipindahkan ke Palu dan membentuk batalyon sendiri yang menjadi bagian dari sejarah Batalyon 758.
Andi Sose akhirnya menjadi Komandan Resimen Infanteri 23 (RI-23). Setelah pasukannya bertambah, Andi Sose hendak kembali ke Toraja. Ia tampaknya dendam ketika Permesta sedang merajalela di Sulawesi bagian utara. Ia berusaha menempatkan Batalyon 717 di Toraja.
“Andi Sose menyerang Toraja dengan alasan Toraja berpihak pada gerakan pemberontak Permesta, karena Toraja beragama Kristen, yang menyimpulkan pasti mendukung Sulawesi Utara sesama Kristen,” tulis Esther Velthoen dalam “Memetakan Sulawesi 1950-an”, termuat dalam Antara Daerah dan Negara: Indonesia Tahun 1950-an.
Batalyon 511 rupanya diam-diam bermusuhan dengan Andi Sose. Ketika Andi Sose dilawan dan diusir lagi oleh orang-orang Toraja (yang dibantu sekompi pasukan dari Batalyon 758 yang dipimpin Letnan Papang) pada Mei–Juni 1958, ada serdadu Jawa yang membantu mereka. Barbara Sillars Harvey menyebut ada pasukan dari Brawijaya yang membantu orang-orang Toraja melawan Batalyon 717.
Tampak tentara dari Jawa sulit akur dengan perwira macam Andi Sose atau bangsawan feodal lokal yang memaksakan kekuatan politik mereka. Serdadu dari Jawa kiriman Nasution itu menambah masalah bagi penguasa lokal.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar