"Anak Tiri" di Pertempuran Kranji
Demi menggagalkan pendudukan Jepang di Singapura, sukarelawan Tionghoa rela mempertaruhkan nyawa. Perjuangannya tak diakui.
SEEKOR ikan arapaima raksasa menjadi pemberintaan Singapura pada 6 Juli 2019. Dengan panjang dua meter dan bobot 150 kilogram, ikan itu hampir membunuh Shannon Lim, seorang peternak, saat akan dipindahkan.
“Arapaima mendorong pria berbobot 92 kilogram itu –‘seperti ketika seorang ibu menyeret anaknya di sebuah mal’– sebelum menyundul dadanya, mengakibatkan cipratan hebat dan menjatuhkan Lim ke air,” demikian diberitakan channelnews asia.com.
Raksasa air tawar itu berada di sebuah peternakan di Lim Chu Kang, dekat Kranji Reservoir. Di dekat reservoir itu pula seekor buaya sepanjang 3,4 meter ditemukan sebulan sebelumnya.
“Waduk Kranji sebenarnya ditetapkan sebagai cagar, dan dulunya merupakan rawa bakau luas yang mendukung kekayaan satwa liar. Kebutuhan akan pasokan air yang meningkat membawa perubahan dramatis pada area tersebut,” tulis buku terbitan Centre for Advanced Studies, National University of Singappore, Public Space: Design, Use and Management.
Di wilayah berawa di barat daya Singapura inilah pada awal 1942 penduduk Singapura bahu-membahu dengan pasukan Inggris-Australia menghadang pendaratan pasukan Jepang di bawah pimpinan Mayjen Takuma Nishimura.
Baca juga: Para Pelancong Mencatat Sejarah Singapura
Setelah sukses menduduki Pantai Sarimbun, pasukan AD ke-25 Jepang di bawah pimpinan Letjen Tomoyuki Yamashita langsung mengambilalih Istana Sultan Johor untuk dijadikan markasnya. Yamashita kemudian menjadikan garis Kranji-Causeway Johor yang –dijaga Brigade ke-22 (bertugas di barat Sungai Kranji) dan ke-27 (timur sungai) AD Australia di bawah pimpinan Brigjen Duncan Maxwell– membentang sepanjang empat kilometer sebagai titik pendaratan kedua untuk masuk ke jantung Singapura. Untuk melaksanakan tugas itu, Yamashita menugaskan Nishimura dengan pasukan Imperial Guard-nya.
Langkah Yamashita telah diantisipasi pihak Sekutu-Inggris sejak jauh hari. Pada akhir 1941, Gubernur Singapura Sir Shenton Thomas mendapat telegram rahasia dari sekretaris urusan koloni yang berisi permintaan agar menghilangkan kepentingan sepihak dengan cara merangkul kaum Tionghoa untuk ikut berjuang menahan kemungkinan pendudukan Jepang. Menindaklanjuti perintah itu, gubernur mengadakan pertemuan dengan komunitas Tionghoa di Kuala Lumpur. Hasilnya, pemilihan Tan Kah Kee, tokoh Tionghoa terkemuka di Singapura, sebagai ketua organisasi sukarelawan Tionghoa untuk menghadapi Jepang.
Ribuan orang Tionghoa lalu mendaftarkan diri ke dalam barisan sukarelawan pimpinan Tan itu. Mereka lalu dilatih teknik dasar militer oleh Letkol John Dalley, perwira intelijen di Kepolisian Khusus Malaya, dan disatukan ke dalam pasukan bernama Dalforce.
“Sebagai hasil dari bantuan yang diberikan Tan Kah Kee, pasukan besar gerilyawan Tiongkok, berjumlah sekitar dua ribu, dibentuk oleh Dalley di Kuala Lumpur dari beragam kelompok Tionghoa –beberapa dari mereka telah ditahan oleh Inggris sebelum perang akibat kegiatan Komunis dan dibebaskan dari penjara untuk mengabdi bersama Dalforce– yang ditambah oleh siswa, guru sekolah, penarik becak, dan buruh Tiongkok. Mereka dibagi menjadi beberapa kompi, masing-masing di bawah komando seorang perwira Inggris,” kata Leon Comber dalam bukunya Dalley and the Malayan Security Service, 1945-48.
Baca juga: Serdadu Jepang Dimangsa Buaya di Burma
Namun, Inggris setengah hati membentuk Dalforce lantaran banyak anggotanya merupakan komunis. Selain hanya memberi 10 hari latihan dasar militer, Inggris mempersenjatai beberapa personil Dalforce dengan senapan usang Lee Enfield .303 berikut jatah peluru 24 butir, beberapa granat tangan, dan bayonet. Banyak personil hanya bersenjatakan senapan berburu. Para personil Dalforce juga hanya dibekali seragam biru berikut ban lengan segitiga, tak ada topi apalagi helm.
Meski dianaktirikan, semangat juang para personil Dalforce tetap tinggi. “Dari semua pasukan yang mempertahankan Singapura, Dalforce dikatakan yang paling termotivasi untuk melawan Jepang,” sambung Comber. Simpati terhadap saudara mereka di China yang diduduki Jepang sejak 1930-an menjadi alasan di balik keinginan mereka bertempur melawan Jepang.
Kegigihan mereka dibuktikan ketika menahan gerak-maju Jepang di Pantai Sarimbun. “Pada 8 Februari 1942,” kata lektor senior Singapore University of Social Sains (SUSS) Tan Wei Lim dalam buku Cultural Heritage and Peripheral Spaces in Singapore, “Kompi Dalforce No. 2 (berjumlah 150 orang) mundur dari Jalan Lim Chu Kang dan kemudian berenang melalui Sungai Kranji untuk mencapai Jalan Choa Chu Kang, hanya sekitar 60 yang hidup untuk menceritakan kisah mereka.”
Ketika Nishimura resmi melancarkan serangannya dengan dibuka oleh bombardir kanon ke Desa Kranji, para personil Dalforce dan prajurit Brigade ke-27 Australia bertahan di hutan bakau sekitar Kranji sambil menunggu kedatangan para prajurit Jepang. Mereka telah menumpahkan di depo Sungai Mandai Kecil ke sungai. Begitu para prajurit Jepang mulai menyeberangi selat dengan menggunakan perahu motor dan sebagian berenang, pasukan Sekutu langsung membakar sungai berminyak tadi dan menghujani lawan dengan tembakan. Korban Jepang berjatuhan, banyak yang mati terbakar. Pasukan Nishimura mundur kembali ke Johor.
Baru di jam-jam awal 10 Februari pasukan Jepang kembali ke Kranji. Pertempuran sengit pun terjadi. Namun, kali ini perlawanan dari Sekutu hanya dilakukan pasukan Dalforce yang sudah hampir kehabisan amunisi. Kekuatan tak imbang itu membuat Jepang kemudian berhasil merebut wilayah Kranji-Causeway.
“Mereka hancur berkeping-keping. Mereka menggunakan semua amunisi mereka. Tidak ada yang terluka untuk dibawa kembali. Mereka berdiri di tanah mereka. Mereka mendapat perintah untuk tinggal dan mereka tinggal. Dan mereka semua mati. Batalion senapan mesin Australia tidak tinggal di sana. Mereka mundur. Mereka ketakutan,” kata Kenneth Attiwill, personil Australia yang menyertai Dalley menginspeksi kompi Sungai Kranji pagi harinya, sebagaimana dikutip Cheah Boon Kheng dalam “Japanese Army Policy Toward Chinese and Malay-Chinese Relations in Wartime Malaya”, termuat di Southeast Asian Minorities in the Wartime Japanese Empire.
Baca juga: Singapura Tak Terima KRI Usman Harun
Sehari sebelum Inggris menyerah pada Jepang pada 15 Februari, Dalley membubarkan Dalforce. Para mantan anggotanya melarikan diri, sebagian ke Sumatra tapi mayoritas ke Semenanjung untuk bergabung dengan Malayan Peoples Anti-Japanese Army. Mantan kombatan yang belum sempat melarikan diri dan tertangkap Jepang, dieksekusi dalam Pembantaian Sook Ching.
Usai perang, Inggris menutup rapat-rapat sejarah Dalforce. Penyebabnya apa lagi kalau bukan banyak anggota Dalforce merupakan komunis.
“Meskipun diadakan upacara publik 6 Januari dan 8 Juni 1946 di Singapura dan London, pihak berwenang menolak mengakui bahwa anggota Dalforce secara resmi menjadi bagian dari pasukan Kerajaan Inggris tahun 1942. Para veteran bersikeras Inggris harus mengakui mereka bukan laskar, tetapi berada di bawah Komando Malaya. Veteran mengklaim bahwa Kolonel Dalley telah memberi tahu mereka saat pembubaran pada 1942, bahwa ‘Anda tentu akan menerima perlakuan sama dengan Tentara Inggris’, kata Karl Hack dan Kevin Blackburn dalam buku War Memory and the Making of Modern Malaysia and Singapore.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar