Dari tanggal 21 Agustus sampai 24 Agustus Presiden Joko Widodo melakukan lawatan ke empat negara Afrika: Kenya, Tanzania, Mozambik, dan Afrika Selatan. Momen ini historis karena merupakan kunjungan luar negeri pertama Jokowi ke kawasan Afrika selama menjabat sebagai presiden.
Jokowi berpendapat bahwa hubungan antara Indonesia dan Afrika telah terjalin panjang. Indonesia merupakan inisiator dari Konferensi Asia-Afrika (KAA) yang diadakan di Bandung tahun 1955. Hubungan antara Indonesia dan Afrika berlanjut dalam Gerakan Non-Blok yang dianggap sebagai pewaris dari aspirasi perdamaian dan non-blok dari KAA. Jokowi menekankan bahwa ‘Spirit Bandung inilah yang akan saya bawa dalam kunjungan ke Afrika dengan memperkokoh solidaritas dan kerja sama di antara negara-negara Global South.’
Kunjungan Jokowi ke Afrika yang berlandaskan dasar historis dan visi dari Spirit Bandung ini tepat. Meskipun ini patut dipertanyakan mengapa baru sekarang Jokowi berkunjung ke Afrika. Sebagai presiden yang berasal dari partai yang mewarisi api Sukarno, yang merupakan pemimpin yang mendorong inisiatif KAA dan solidaritas Afro-Asia sebagai kekuatan kolektif baru untuk mendorong pembebasan nasional dan pembuatan dunia baru yang merdeka dan damai, kunjungan Jokowi ke Afrika bisa dikatakan cukup terlambat. Apalagi tahun depan akan diselenggarakan pemilu presiden, dan pergantian kepemimpinan dapat berpotensi membawa mundur kembali hubungan antara Indonesia dan Afrika.
Mungkin akan ada argumen bahwa memang lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Tapi argumen ini akan menjadi sia-sia jika pada akhirnya tidak ada langkah berkelanjutan untuk memperkuat hubungan antara Indonesia dan negara-negara Afrika. Indonesia memiliki dasar historis yang kuat sekaligus potensi strategis ke depan dengan Afrika, kekuatan regional yang sedang bangkit.
Koneksi Indonesia dengan Kenya, Tanzania, Mozambik, dan Afrika Selatan
Tahun lalu Kenya dan Tanzania telah membuka kedutaan besarnya di Jakarta, menandakan komitmen kuatnya untuk memperkuat relasi dengan Indonesia. Sementara itu, Mozambik adalah negara Afrika pertama yang menjalin preferential trade agreement dengan Indonesia. Afrika Selatan sendiri didatangi oleh Jokowi karena negara ini merupakan lokasi perhelatan dari Konferensi BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) tahun ini di mana Indonesia diundang sebagai salah satu partisipan.
Secara historis, seperti yang dikatakan oleh Jokowi, hubungan Indonesia (atau Asia) dan Afrika menjadi semakin erat berkat KAA. KAA menandai rekonfigurasi dunia yang ditunjukkan dengan kemunculan era baru dari Asia-Afrika sebagai ‘identitas baru solidaritas antarbenua’ dan ‘kekuatan kolektif baru dalam politik internasional’ (Shimazu, 2014: 227-8; Lee, 2023: 2). Konferensi ini merupakan momen penting dalam sejarah pascakolonial karena 29 negara-negara baru dan hampir merdeka di Asia dan Afrika berhimpun di Bandung meneriakkan aspirasinya terhadap kemerdekaan nasional, kedaulatan, dan pentingnya perdamaian. KAA melahirkan semangat pembebasan melintasi Asia dan Afrika, menginspirasi orang-orang Asia dan Afrika untuk membangun kerjasama kolektif antar benua dalam gerakan-gerakan transnasional Afro-Asia.
Di tengah pertemuan diplomatik tingkat tinggi yang memiliki dampak besar, seperti KAA atau Konferensi Non-Blok, gerakan solidaritas transnasional akar rumput, seperti gerakan-gerakan Afro-Asia inilah yang memperluas dan memperdalam koneksi antara Indonesia dan negara-negara Afrika. Bila di Bandung, perhatian KAA, dan juga Indonesia, sepenuhnya kepada gerakan kemerdekaan di Afrika Utara. Maka gerakan-gerakan Afro-Asia yang melebarkan solidaritas gerakan anti-kolonial Indonesia kepada sub-Sahara Afrika.
Ada banyak gerakan-gerakan Afro-Asia, mulai dari gerakan mahasiswa Afro-Asia, wanita Afro-Asia, pengarang Afro-Asia sampai jurnalis Afro-Asia. Tapi di sini secara khusus saya akan menggarisbawahi peran gerakan solidaritas rakyat Afro-Asia (Afro-Asian Peoples’ Solidarity Movement) yang menghubungkan lebih jauh aktivis anti-kolonial Indonesia dengan Kenya, Mozambik, Tanzania, dan Afrika Selatan dan perhatian terhadap isu kolonialisme, diskriminasi rasial, dan pembebasan di sana.
Pertemuan pertama antara aktivis anti-kolonial Indonesia, antara lain Sirajuddin Abbas dari Perti dan Sunito dari PNI, dengan aktivis anti-kolonial Kenya terjadi di Konferensi Solidaritas Rakyat Afro-Asia (KSRAA) pertama di Kairo tahun 1957. Kemudian, Indonesia dan Kenya rutin menghadiri pertemuan KSRAA kedua, ketiga, dan keempat di Konakri (1960), Moshi (1963), dan Winneba (1965).
Di KSRAA kedua, Sirajuddin Abbas dan Sunito bertemu dengan tokoh-tokoh anti-kolonial dari Kenya (Wera Ambitho dan Oginga Odinga dari Kenya African National Union), Tanzania (Oscar Kambona dari Tanganyikan African National Union), dan Afrika Selatan (Tennyson Makiwane dan Duma Nokwe dari African National Congress). Di pertemuan ketiga KSRAA di Moshi, Tanzania, yang diorganisasi oleh Oscar Kambona, Menteri Dalam Negeri dan Sekretaris-Jenderal TANU, delegasi Indonesia yang diketuai Sunito bertemu dengan delegasi Mozambik yang diketuai oleh pendeta Presbiterian Uria Simango, pemimpin anti-kolonial ternama dari Liberation Front of Mozambique (FRELIMO). Di Moshi ini hadir pula Odinga, Ambitho dan tokoh-tokoh nasionalis lain dari Kenya Tom Mboya dan Jomo Kenyatta; Nokwe dan Makiwane beserta pejuang kebebasan lain dari Afrika Selatan Oliver Tambo dan Moses Kotane.
KSRAA memiliki perhatian riil yang mendalam terhadap isu kolonialisme dan intervensi neo-kolonialisme di benua Afrika. Gerakan ini menyerukan kemerdekaan total Afrika dari penjajahan kolonialis dan imperialis. KSRAA mendukung kemerdekaan Kenya dari Inggris, hak rakyat Kenya untuk penentuan nasib sendiri, dan pembebasan Jomo Kenyatta dan tahanan politik lainnya di awal tahun 1960an. Mereka juga mengecam kolonialisme Portugis di Mozambik dan Angola di mana rakyat di sana hidup terepresif di bawah tirani.
Sementara itu, di pertemuan keduanya KSRAA mengecam sistem pemungutan suara kualifikasi yang dipakai Inggris di Afrika Tengah untuk menunda kemerdekaan Tanzania. KSRAA menuntut agar Inggris menerapkan sistem hak pilih universal untuk orang dewasa, satu orang satu suara. KSRAA pun konsisten mengecam diskriminasi rasial di Afrika Selatan yang merupakan hasil dari dominasi asing dan imperialisme.
Belajar dari kesalahan KAA yang tidak mendirikan organisasi permanen, KSRAA pertama memformulasikan pendirian Afro-Asian Peoples’ Solidarity Organisation (AAPSO) di mana ia terdiri dari sekretariat permanen, dewan, komite eksekutif, dan komite pendanaan. Ibrahim Isa, sekretaris dari Organisasi Indonesia untuk Setiakawan Rakyat Asia-Afrika (OISRAA) dan anggota Komite Perdamaian Indonesia, dikirim ke Kairo untuk menjadi salah satu dari 11 sekretaris di Sekretariat Permanen AAPSO di bawah penulis Mesir Yusuf El-Sibai. Sementara itu, Sunito terpilih menjadi ketua dari Indonesia untuk Komite Eksekutif AAPSO. Melalui KSRAA dan AAPSO inilah aktivis anti-kolonial Indonesia dari berbagai latar belakang partai dan organisasi politik dapat bertemu dan bekenalan – tidak hanya orang tapi juga pemikirannya – dengan para pejuang kebebasan Afrika, seperti Frantz Fanon, Patrice Lumumba, Mehdi Ben Barka, Joshua Nkomo, Ernest Ouandié, Felix Moumie, Mario de Andrade, Djibo Bakary, dan Julius Nyerere.
Hubungan Berkelanjutan
Komitmen Jokowi untuk mempererat hubungan antara Indonesia dan empat negara Afrika dapat dilihat sebagai langkah Indonesia yang memperhitungkan secara strategis Afrika ke depan. Sebelum pandemi, sub-Sahara Afrika mengalami ledakan ekonomi dalam dua dekade terakhir di mana hal ini, menurut Ewout Frankema dan Marlous van Waijenburg (2018: 543-4), telah menggeser ‘perasaan Afro-pesimisme’ yang mendominasi pada periode 1980an-2000an, meskipun dampak ledakan ekonomi ini belum berpengaruh besar kepada pengentasan kemiskinan secara menyeluruh.
Afrika akan menghadapi tantangan ledakan demografis dalam 25 tahun ke depan yang bisa menjadi peluang pertumbuhan ekonomi yang besar atau menjadi masalah utama mendatang. Di samping itu, ada kemungkinan Afrika akan mengikuti ‘model Asia’, transisi kepada industrialisasi padat karya berorientasi ekspor, untuk melanjutkan peluang pertumbuhan ekonomi jangka panjang (Frankema dan Waijenburg, 2018).
Menolehnya Indonesia ke Afrika dapat diasumsikan juga berangkat dari visi internasional Jokowi yang disebut oleh Ahmad Rizky M. Umar, dalam artikelnya di The Interpreter, menganut ‘pandangan pragmatis dan berorientasi ekonomi mengenai tatanan internasional.’ Jokowi mengkritik gagalnya tatanan internasional yang didominasi oleh kekuatan Barat dalam mendorong pembangunan ekonomi yang adil bagi negara-negara miskin dan berkembang dan belum memberikan kesempatan kepada kekuatan ekonomi baru yang menuntut lebih banyak peran dalam politik internasional (Umar, 2023).
Jokowi melihat Afrika sebagai mitra strategis dan potensial ke depan dalam membangun kerjasama internasional untuk memperkuat ekonomi nasional masing-masing negara. Di samping itu, ikatan yang lebih kuat antara negara-negara kecil dan menengah dapat menekan lebih keras tuntutan reformasi tatanan internasional agar lebih membawa pembangunan berkeadilan secara global. Indonesia dan Afrika memiliki harapan untuk lebih baik ke depan karena posisi mereka yang kurang lebih sama bahwa secara historis mereka sama-sama pernah dijajah secara ekonomi oleh kolonialisme Eropa dalam waktu yang panjang dan tunduk pada aturan ekonomi neo-kolonial yang dirumuskan Barat di masa Perang Dingin.
Namun, kemitraan dengan Afrika janganlah sebatas pada pragmatisme ekonomi saja, tapi bisa juga dalam hubungannya dalam kerjasama untuk mendorong demokrasi, tata kelola negara, dan perdamaian yang lebih baik di kawasan. Mereka bisa membagi pengalaman dan berkomitmen ke depan untuk membangun pemerintahan yang lebih demokratis dan transparan mengingat ini masalah yang masih dihadapi baik oleh Indonesia dan negara-negara Afrika. Selain itu, konflik dalam negeri merupakan problem yang masih dialami beberapa negara Afrika, sementara Indonesia juga berkali-kali menghadapi ancaman konflik sipil hasil dari pertikaian politik (elit) dan pernah mengalami konflik sipil. Perdamaian adalah hal yang krusial bagi stabilitas kawasan di Afrika dan Asia dan memberikan pondasi untuk hubungan yang lebih kuat dalam ekonomi, politik, dan di dalam konstelasi politik internasional.
Kunjungan Jokowi diharapkan tidak berakhir sebagai seremoni belaka dan menjadi penanda babak baru komitmen kuat Indonesia untuk membangun hubungan yang erat dengan Afrika ke depan. Sudah saatnya Indonesia tidak memunggungi Afrika. Ini aspirasi kepada siapapun pemimpin nanti di masa depan.
Wildan Sena Utama, Dosen di Departemen Sejarah, Universitas Gadjah Mada dan Kandidat Doktor di University of Bristol. Ia menulis disertasi mengenai keterlibatan aktivis anti-imperialis Indonesia dalam gerakan-gerakan Afro-Asia 1950an-1960an dan menulis buku tentang Konferensi Asia-Afrika 1955.