Surat Pahlawan Nasional I Gusti Ngurah Rai tak seharusnya berada di Arsip Nasional Den Haag. Ini hanya satu contoh yang mencerminkan langgengnya perspektif kolonial dalam masyarakat Belanda.
Surat yang dibuat Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai itu berasal dari tahun 1946. Dokumen tersebut kini disimpan di Arsip Nasional Belanda di Den Haag. Kala itu, Indonesia baru merdeka pada 17 Agustus 1945, Ngurah Rai yang berasal dari Puri Carangsari, Kabupaten Badung, Pulau Bali itu, telah berusia 28 tahun. Ia menyikapi seruan Presiden Sukarno untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia di Bali. Surat itu adalah bagian dari perjuangannya.
Ditujukan kepada raja-raja di Pulau Bali, dokumen ini ditulis pasca 2 Maret 1946, setelah sekitar dua ribu tentara kerajaan Hindia Belanda (KNIL) mendarat di Bali. Ngurah Rai mengajak para raja mendukung revolusi kemerdekaan Indonesia. Dalam suasana revolusi itu, Letnan Kolonel Ngurah Rai membuka tulisannya dengan kata “Merdeka!”
Surat Ngurah Rai hanya satu dari sekian dokumen yang disita aparat pemerintah pendudukan Belanda di Bali dari tangan pejuang kemerdekaan Bali yang mereka tangkap. Ngurah Rai dan pasukannya, Resimen Ciung Wanara, kemudian terlibat pertempuran dengan tentara Belanda pada 20 November 1946 dalam Puputan Margarana. Dalam perang habis-habisan itu, Ngurah Rai dan pasukannya terbunuh.
Surat itu kemudian tak pernah lepas dari pihak Belanda. Bahkan setelah 27 Desember 1949—yang disusul dengan angkat kakinya tentara dan otoritas sipil Belanda dari Indonesia—surat itu termasuk dalam dokumen-dokumen yang diangkut ke Negeri Belanda.
Kini keberadaan surat tersebut di Den Haag patut dipertanyakan, terlebih dalam kaitannya dengan sikap pemerintah Belanda beberapa tahun terakhir ini. Tahun lalu, Pemerintah Belanda meminta maaf secara resmi kepada Indonesia atas kekerasan ekstrem dan struktural selama perang kemerdekaan Indonesia. Namun, banyak langkah nyata lainnya yang harus dilakukan sebagai tindak lanjut atas permintaan maaf ini, termasuk mengubah perspektif yang masih dominan di Belanda.
Selama sepuluh tahun terakhir, debat seputar perang dalam revolusi kemerdekaan di Indonesia memperoleh momentum yang sangat besar di Belanda. Sejumlah tuntutan hukum dari orang Indonesia, publikasi media, dan penelitian ilmiah telah mendorong pemerintah Belanda membiayai penelitian besar-besaran pada 2016 terkait penempatan militer Belanda di Indonesia.
Hal itu diikuti oleh permintaan maaf Perdana Menteri Mark Rutte pada Februari 2022.
Pada Rabu, 14 Juni 2023, Dewan Perwakilan Rakyat Belanda dengan kabinet pemerintahan telah membahas kesimpulan hasil penelitian tadi, Namun, Permintaan maaf Perdana Menteri Rutte memiliki makna ganda.
Di satu sisi, ini menjadi wujud pengakuan politik atas kesimpulan yang telah ditetapkan sebelumnya tentang kekerasan ekstrem dan struktural. Di sisi lain, permintaan maaf tersebut tidak diikuti dengan pernyataan bahwa pemerintah kerajaan Belanda seharusnya tidak menghalangi kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 dengan melakukan perang antara 1945-1949 kepada Indonesia.
Kealpaan ini tidak hanya melanggengkan pandangan kolonial di Belanda, tetapi juga luput memahami Indonesia sebagai sebuah konsep harapan dan perubahan yang diperjuangkan oleh banyak orang setelah berabad-abad masa penjajahan.
Dalam argumentasi pemerintah Belanda—sebagaimana disampaikan dalam debat di parlemen Rabu lalu, mereka masih memandang perang antara 1945 hingga 1949 itu sebagai konflik internal saja. Hal itu berarti pemerintah Belanda secara legal mengingkari kedaulatan Republik Indonesia sebelum 1949.
Tahun 1949 ini adalah tahun ketika transisi kekuasaan antara Indonesia dan Belanda terjadi di Nusantara. Pemerintah Belanda secara politik telah mengakui kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, seperti diberitakan di berbagai media, tetapi secara hukum tidak ada yang berubah.
Arsip yang Dijarah
Surat Ngurah Rai yang tersimpan di Arsip Nasional Belanda di Den Haag tadi berkaitan langsung dengan narasi kolonial yang masih dominan di Negeri Belanda. Menurut situs Kementerian Pertahanan Belanda, Ngurah Rai dan pasukannya bahkan tetap dinarasikan sebagai "teroris" Sementara itu, panglima militer tertinggi Belanda di Bali, Mayor J.B.Th. König, yang bertanggung jawab atas pembunuhan terencana yang menewaskan Ngurah Rai dan pasukan Ciung Wanara pada 20 November 1946 dalam Puputan Margarana, dianugerahi penghargaan militer Salib Perunggu (Bronzen Kruis) atas tindakannya, sebagai simbol keberanian. Perspektif kolonial tetap tidak berubah.
Di Bali, Ngurah Rai bukan hanya figur yang lekat dengan militer, tetapi juga tokoh spiritual perjuangan kemerdekaan. Gugurnya Ngurah Rai diperingati secara seremonial oleh ratusan masyarakat Bali setiap tahun. Arti penting surat Ngurah Rai karenanya tak terpisahkan dari pembahasan tentang kekerasan kolonial di Belanda saat ini, sebab penjarahan arsip dan artefak jelas merupakan wujud kekerasan.
Penjarahan benda-benda budaya dari Bali oleh tentara Belanda sudah berlangsung sejak perang penaklukan Bali tahun 1846, yang dibuktikan dengan banyaknya keris, permata, dan pintu kerajaan berukir di museum-museum Belanda. Selama perang revolusi kemerdekaan Indonesia (1945-1949), badan intelijen Belanda NEFIS dan CMI menyita ribuan pamflet, surat, kartun, album foto, dan dokumen lainnya dari Tanah Air dan memboyong arsip penting ini ke Belanda.
Tahun lalu, pada 2022, Rijksmuseum di Amsterdam memamerkan sebagian objek ini dalam pameran Revolusi! Indonesië onafhankelijk (Revolusi! Indonesia Merdeka).
Disebutkan bahwa surat Ngurah Rai ini berasal dari arsip seorang pegawai negeri bernama Piet Dronkers. Dia bertugas di Bali semasa revolusi. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, dan Ilmu Pengetahuan Belanda bertanggung jawab atas kemungkinan pengembalian arsip ini ke Indonesia.
Dalam perdebatan di parlemen pada 14 Juni 2023 silam, anggota parlemen Belanda Sjoerd Sjoerdsma (dari Partai D66) menyatakan mosi kepada pemerintah Belanda untuk memulai pembicaraan dengan Indonesia terkait pengembalian arsip-arsip yang dulu dijarah. Hal ini mendapat dukungan anggota lain, di antaranya dari anggota parlemen Corinne Ellemeet (Partai Groen Links).
Memperkaya Wacana yang Sudah Ada
Selain masalah penjarahan benda-benda budaya, perdebatan lebih lanjut tentang pengembalian arsip ke Indonesia memiliki arti penting bagi keluarga Ngurah Rai di Bali.
Kini anak tertua Letnan Kolonel Ngurah Rai, I Gusti Gede Ngurah Yudhana, telah berusia 81 tahun. Ketika Ngurah Rai gugur, Ngurah Yudhana berusia lima tahun. Dari tiga anak Ngurah Rai, ia satu-satunya yang masih hidup. Yudhana memiliki sangat sedikit memorabilia yang mengingatkannya pada sosok sang ayah.
Yudhana tidak tahu ayahnya pernah menulis surat itu. Kendati demikian, ia mengaku senang mengetahui surat tersebut masih dirawat dan dilindungi, meski jauh di Negeri Belanda.
Yudhana meyakini pentingnya mewariskan idealisme perjuangan kemerdekaan kepada generasi muda Bali. Menurutnya, pemulangan surat asli dari Ngurah Rai guna disimpan di museum Marga, Kabupaten Tabanan akan sangat besar manfaatnya.
Dokumen ini juga penting untuk proses penciptaan dan penyebaran pengetahuan. Selama penelitian untuk De strijd om Bali (Pertempuran untuk Bali) pada 2021 silam, surat Ngurah Rai menunjukkan pada kami bahwa selain taktik militer, Ngurah Rai juga menggunakan strategi politik untuk mendorong raja-raja Bali berpihak padanya demi mengusir Belanda dari pulau itu.Untuk memperluas diskusi sejarah dan merespon kurangnya representasi suara dari pihak Indonesia atas sumber-sumber yang masih berada di Belanda, akan sangat penting jika semakin banyak peneliti Indonesia memiliki akses untuk memaknai materi arsip tersebut.
Perlu dicatat bahwa meski akses ke arsip di Belanda selama ini terbatas, orang Indonesia telah menciptakan narasi sejarahnya sendiri dari sumber-sumber setempat yang tersedia. Walau demikian, akses yang lebih luas terhadap sumber-sumber sejarah di Belanda tentu dapat memperkaya wacana yang telah ada. Saat ini akses ke materi tersebut boleh dikata masih didominasi oleh sejarawan Belanda yang menentukan narasi sejarah di negeri Belanda berdasarkan tafsiran mereka.
Menyadari hal tersebut, sudah selayaknya perbincangan tentang pengembalian benda-benda bersejarah Indonesia yang dulu dijarah dilakukan dengan lebih serius. Repatriasi memang persoalan kompleks, tetapi bukan berarti tidak mungkin dilakukan. Untuk Belanda, repatriasi—dan langkah lainnya guna memperluas akses ke sumber-sumber sejarah—berpotensi mengakomodasi perspektif marjinal terkait sejarah kolonial, dan memperluas pandangan sempit yang masih dominan di Belanda tentang pejuang kemerdekaan Indonesia seperti Ngurah Rai, dan pihak lain yang terlibat.
Pada 20 Juni 2023 lalu, Pemerintah Belanda menyetujui mosi dari anggota parlemen Sjoerdsma yang mengusulkan pemerintahnya untuk memulai pembicaraan dengan Indonesia tentang proses repatriasi dokumen hasil jarahan yang disimpan di Badan Arsip NEFIS yang terkait perang dalam revolusi Indonesia. Semoga dalam proses nantinya juga mencakup dokumen-dokumen non NEFIS yang dijarah selama revolusi seperti surat Ngurah Rai yang dulu dibawa oleh seorang pegawai negeri Belanda ini.
Catatan: Kami sudah menulis perihal Surat Ngurah Rai ini di NRC 10 Juni 2023.
Anne-lot Hoek, Peneliti sejarah independen. Telah menulis di berbagai media Belanda dan menerbitkan buku De strijd om Bali: Imperialisme, verzet en onafhankelijkheid 1846-1950 (2021) tentang kolonialisme Belanda dan revolusi Indonesia di Bali.
Ni Made Frischa Aswarini, Peneliti sejarah dan penyair asal Bali. Telah menerbitkan Tanda bagi Tanya (2017). Penerima beasiswa Fulbright untuk program MA Ilmu Sejarah di Amerika Serikat. Terlibat dalam riset De Strijd om Bali (2021).
Ni Ketut Sudiani, Jurnalis dan penulis lepas asal Bali. Selama 9 tahun bekerja untuk beberapa media. Saat ini telah bekerja untuk sejumlah riset, termasuk termasuk De strijd om Bali (2021) dan pembuatan sejumlah film dokumenter.