SEKITAR 40 orang keturunan Snouck Hurgronje berkumpul dalam peluncuran Biografi Ilmuwan Christian Snouck Hurgronje karya Wim van den Doel di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Sabtu pekan lalu. Memandang raut wajah mereka mengingatkan saya kepada pidato Bung Karno, 17 Agustus 1964: “… jangankan 1-2 generasi, 10 generasipun tak bisa meniadakan ‘rahang Batak’, atau ‘sipit Tionghoa’, atau ‘mancung Arab’, atau ‘lidah Bali’, atau ‘kuning langsat Menado’, atau ‘ikal Irian’, dan sebagainya.” Ya, Bung Karno benar, hidung mancung pada raut wajah blasteran Indo-Belanda masih jelas terlihat dari keturunan ketiga dan keempat dari perkawinan Snouck Hurgronje dengan Sangkana dan Siti Sadiah, dua gadis Pasundan yang dinikahinya pada 1890 dan 1898.
Kehadiran keturunan Snouck Hurgronje dalam acara tersebut cukup mengesankan buat saya. Beberapa kali saya mendengar bahwa Snouck memang punya anak dari pernikahannya dengan dua perempuan bumiputra semasa dia tinggal di Hindia Belanda. Namun saya belum pernah melihat mereka hadir di muka publik sebagaimana yang saya temui dalam acara tersebut.
“Kami dari (keturunan) Joesoef,” kata seorang perempuan sambil berfoto bersama. Joesoef adalah anak semata wayang Snouck dari perkawinannya dengan Siti Sadiah.
Tak terlihat beban di wajah mereka, semua tersenyum bungah menyambut peluncuran buku baru karya guru besar Universitas Leiden itu. Kendati untuk sekian masa lamanya nama Snouck dilabeli berbagai tuduhan: sebagai mata-mata kolonial Belanda, penyebab kekalahan Aceh, bahkan pemecah belah Islam di Indonesia masa kolonial. Label itu bertahan selama bertahun-tahun lamanya, seakan dipelihara dalam memori kolektif orang untuk tujuan tertentu.
Judul diskusi peluncuran buku itu pun menggambarkan situasi tersebut: “Dipuja dan Dibenci: Kehidupan dan Karya Snouck Hurgronje”. Sebagai ilmuwan yang menekuni Islam, dia sangat produktif menghasilkan banyak karya. Nasihat-nasihatnya kepada pemerintah Hindia Belanda bersandar pada luasnya pengetahuan Islam yang dikuasainya. Beberapa petuahnya tentang Aceh kepada gubermen jadi resep jitu untuk menaklukkan perlawanan rakyat Aceh.
Mungkin riwayat itu yang menyebabkannya bereputasi buruk, setidaknya di kalangan orang Indonesia. Pertanyaannya dari mana label buruk itu berasal? Apakah hasil telaah mendalam atas kehidupan Snouck semasa di Indonesia, atau hanya semacam kabar dari mulut ke mulut yang kemudian dianggap sebagai satu kebenaran?
Wim van den Doel, penulis biografi Snouck, tidak menafikan gambaran negatif mengenai Snouck itu. Karena, “Bagaimanapun juga, reputasi Snouck terbelit dengan reputasi masa lalu kolonial Belanda,” tulisnya.
Tapi dia menyuguhkan fakta lain yang jarang orang tahu tentang Snouck. Gambarannya mengenai kehidupan Snouck merangkum kompleksitas yang ada pada orientalis itu. Snouck, kata Wim, adalah seorang yang tak pernah kehabisan semangat belajar. Dia tak pernah setengah-setengah menekuni Islam. Sebagai peneliti muda, Snouck pergi ke Makkah dan Jeddah untuk menimba ilmu Islam langsung dari asalnya. Itulah yang membedakan Snouck dari guru-gurunya yang hanya mempelajari Islam dari dalam kamar kerja saja.
Perpaduan antara ketekunan belajar teks keislaman dan partisipasinya langsung di dalam kehidupan masyarakat muslim membuatnya menjadi orientalis yang nyaris sempurna tak tertandingi. Standar itu juga yang diberlakukannya kepada kolega dan murid-muridnya. Sehingga dengan mudah Snouck memberikan penilaian rendah pada mereka yang dianggapnya setengah-setengah memperdalam ilmu di bawah bimbingannya.
Babak hidup Snouck yang menarik buat saya adalah saat dia menerima permintaan Bagoes Djajawinata, untuk mendidik anak-anak wedana Kramatwatu itu agar bisa mengenyam pendidikan Barat. Snouck meluluskan permintaan itu dengan mengasuh anak-anak Bagoes secara intelektual. Salah satu yang paling menonjol adalah Husein Djajadiningrat. Hoesein berhasil menjadi murid Snouck yang gemilang. Dia lulus cum laude dari Universitas Leiden sekaligus menjadi doktor humaniora pertama asal Indonesia dengan disertasinya mengenai tinjauan kritis sejarah Banten.
Namun, sesempurna apapun hubungan Snouck dengan kerabat-kerabat bumiputranya, tak menghilangkan kenyataan tentang rumitnya hubungan dalam masyarakat kolonial. Pertanyaan Ahmad Djajadiningrat kepada pemerintah Belanda tentang kemungkinan Hoesein menjadi hakim apabila adiknya itu diperbolehkan studi hukum di Leiden salah satu contohnya. Ahmad tak pernah mendapatkan jawaban pasti mengenai hal itu. Yang pasti, adiknya memang tak pernah merintis karier sebagai hakim.
Hindia Belanda di masa Hoesein belajar di Leiden memasuk abad etis, di saat anak-anak bumiputra memiliki kesempatan lebih luas untuk menempuh pendidikan ketimbang generasi dari masa sebelumnya. Namun, pemberlakuan politik etis tak serta-merta mengubah kepentingan sebagian kelompok konservatif yang tetap menginginkan Hindia Belanda sebagaimana adanya: memberikan tempat istimewa bagi golongan kulit putih di lapisan teratas dalam masyarakat yang rasialistis.
Wim mengutip pendapat Mahkamah Agung di Hindia Belanda menanggapi surat Ahmad tersebut. Mereka mengatakan tak bisa membayangkan bagaimana jadinya seorang bumiputra mengadili orang-orang Belanda, sementara si hakim bumiputra beristri empat dan memiliki prinsip dan moral hukum yang berbeda dari orang yang diadilinya. Dalam masyarakat kolonial, pengadilan terbagi menjadi dua secara rasialis, khusus orang Belanda dan kalangan bumiputra.
Maka keinginan menjadi hakim dalam sebuah sistem peradilan sebagaimana di negara merdeka hanya tersisa sebagai angan-angan belaka. Terlebih pandangan rasialis dan diskriminatif masih diidap oleh sebagian elite konservatif di Hindia Belanda. Ada kecurigaan terhadap bumiputra dan itu mengakar dalam benak golongan konservatif Belanda, wujud superioritas ras yang berdiri di atas pengetahuan palsu tentang keunggulan ras manusia berdasarkan ciri-ciri fisik.
Situasi itu mencuri perhatian Snouck. Menurutnya pemerintah Hindia Belanda mesti memperluas partisipasi warga bumiputra dalam mengelola negerinya sendiri. Dia juga menjadi salah satu dari segelintir orang yang menganjurkan peninjauan ulang konsep dualisme birokrasi pemerintahan kolonial. Dalam sistem itu seorang pejabat Belanda menjadi pendamping pejabat bumiputra, seperti status bupati yang sepadan dengan asisten residen atau wedana yang sepadan dengan kontrolir harus diakhiri. Namun Snouck terkesan seperti tetap memelihara hubungan paternalistik antara tuan-tuan Belanda dengan tuan-tuan kecil bumiputra dengan menganjurkan pengawasan jalannya pemerintahan bumiputra oleh residen dan asisten residen.
Saya belum memahami mengapa demikian. Apakah ini terkait dengan perasaan tugas kaum kulit putih (white man’s burden) untuk memperadabkan bumiputra? Sebagaimana dirinya dalam “mengasuh” anak-anak Djajadiningrat secara intelektual. Ataukah semacam solusi taktis dalam menyikapi hubungan rumit antara kedua bangsa?
Sosok Snouck yang ditampilkan dalam buku Wim ini tak menghilangkan kerumitan hubungan antara elite Belanda dan elite lokal di satu sisi, dengan rakyat umum pada sebuah negara jajahan di sisi lainnya. Relasi Snouck dengan kaum aristokrasi, termasuk elite agama, dari mana dia mendapatkan sebagian besar pengetahuannya tentang kehidupan masyarakat jajahan, memberikan kesan tentang caranya memproduksi pengetahuan –yang sebagian berbentuk nasihat kepada pemerintah– bersifat elitis. Top down.
Tak heran jika sampai hari ini, hubungan Islam (politik?) dengan negara di Indonesia, masih terus diwarnai kecurigaan, syak wasangka dan kecemasan-kecemasan. Formulasi hubungan keduanya, sebagaimana di saat Snouck masih menjadi penasihat urusan bumiputra, belum menemukan titik temu ideal. Tapi perlu juga kita akui secara jujur bahwa Snouck telah menyumbangkan pikiran yang sangat luar biasa bagi khasanah pengetahuan Islam di Indonesia.*