"Saya mengumpulkan materi tentang Tirto Adhi Soerjo sejak 1961. Materi dari koran dan majalah dari Museum Gajah. Waktu itu pimpinan perpustakaan Zus Tjoa. Terakhir saya pinjam satu becak, saya bawa pulang. Sebagaimana terbesar, hampir seluruhnya telah saya kembalikan"
(Pramoedya Ananta Toer)
Becak, sejak Republik keluar dari revolusi nasional, menjadi diskursus sosial yang panas. Di satu sisi, kehadiran mereka adalah wajah dinamika sosial ekonomi, sementara di sisi lain mereka dicemooh sebagai perusak keindahan jalanan. Mereka adalah pembuat keonaran dan sumpeknya jalan raya. Mereka memperlambat arus perpindahan manusia yang lalu lalang yang lalu (me)lintas.
Pramoedya Ananta Toer, yang disapa Pram, seorang sastrawan terbesar yang lahir di Republik dalam seabad belakangan, memiliki catatan khusus terhadap golongan pekerja yang terhina dalam semua aspek ini. Pram menuliskan soal mereka lantaran berlangsung razia becak di Ibu Kota pada medio 1960-an yang dilakukan Penguasa Perang Daerah Jakarta Raya atau Peperda Jaya.
Pada operasi di pekan pertama Juni, penguasa perang yang diwakili polisi negara dan polisi kotapraja memburu dan berhasil menangkap 400 penarik becak. Mereka diinterogasi soal nomor bewijs, rijbewijs, dan surat pajak. Inilah untuk pertama kali negara menarik uang receh dari tetesan keringat kaum yang memang mencari penghidupan dari, pinjam istilah Pramoedya Ananta Toer, "penggendong manusia lain".
Upaya negara "membereskan" penarik becak dengan sejumlah ultimatum ini rupanya menyentuh Pramoedya Ananta Toer. Pram, sebagaimana kutipan awal esai ini, menjadi salah satu pengguna aktif becak. Sebagai penulis yang bolak-balik dari rumahnya di Jalan Percetakan Negara ke Perpustakaan Gajah (Museum Nasional), becak adalah saksi mata dari ikhtiarnya membangun dokumentasi yang kelak salah satunya menjadi bahan baku yang bisa dia ingat saat menyusun Tetralogi Pulau Buru.
Esai Pram berjudul "Tukang Betjak" yang bertanggal 28 Mei 1960 di Bintang Timur mendahului peluit razia besar becak di antero Jakarta. Ia mencoba menguraikan secara dingin dilema kehadiran becak dalam arus mobilitas publik.
Bagi kaum terpelajar kelas menengah, profesi penarik becak, dianggap sebagai wajah jahiliah. Pramoedya menuliskan wajah peradaban becak yang jahiliah, peradaban feodalisme yang mengagungkan tandu yang dipikul manusia dengan kalimat seperti ini: "Dalam kehidupan masjarakat jang lebih tjerah, lebih mengerti tentang prikemanusiaan, dipergunakan binatang2 penarik: kuda, sapi, andjing, dsb. Tetapi dimana pemerasan begitu hebatnja, adanja manusia2 penggendong manusia lainnya ini terus dipertahankan oleh keharusan sistem sosial jg membolehkan pemerasan atas manusia. Demikianlah dinegeri2 tertentu termasuk Indonesia, diantara gedung bertingkat jang mentereng, diantara badju wol jang berkibar2 dengan sombongnja, diantara mobil2 dari potongan jang paling baru, betjak2 terus meluntjur disepandjang jalan, seakan2 dunia tidak mengalami perubahan apa2 seakan2 kemadjuan teknik tidak memberi rahmat apa2 bagi kehidupan."
(Baca: Dalam kehidupan masjarakat yang lebih cerah, lebih mengerti tentang prikemanusiaan, dipergunakan binatang-binatang penarik: kuda, sapi, anjing, dan sebagainya. Tetapi dimana pemerasan begitu hebatnya, adanya manusia-manusia penggendong manusia lainnya ini terus dipertahankan oleh keharusan sistem sosial yang membolehkan pemerasan atas manusia. Demikianlah di negeri-negeri tertentu termasuk Indonesia, diantara gedung bertingkat yang mentereng, diantara baju wol yang berkibar-kibar dengan sombongnya, diantara mobil-mobil dari potongan yang paling baru, becak-becak terus meluncur di sepanjang jalan, seakan-akan dunia tidak mengalami perubahan apa-apa seakan-akan kemajuan teknik tidak memberi rahmat apa-apa bagi kehidupan.)
Sampai di sini, Pram jelas sekali sikapnya, becak adalah peninggalan feodalisme, yang sekali lagi, mengagungkan budaya menandu kelas sosial tertentu yang posisinya lebih tinggi. Tetapi, di sisi lain, razia becak tidak menyelesaikan soal struktural yang memunculkan "moda transportasi lambat" ini.
Rupanya, razia becak lebih fokus kepada mengontrol dan menomori identitas penarik becak agar lebih mudah dipajaki. Di sisi lain, dan ini yang dicermati Pram secara samar, transportasi mesin yang bersifat individual mulai mendesak masuk. Iklan-iklan motor dari Jepang mulai terlihat menjejali halaman-halaman koran harian.
Pram menulis begini: "Pekerdjaan sebagai tukang betjak bukanlah pekerdjaan jang di-tjita2kan, tetapi tidak lain dari penggunaan tenaga jang tidak dibutuhkan dalam susunan sosial itu sendiri. Tak ada orang mau djadi tukang betjak kalau ada pekerdjaan lain jang dapat menghargainja sebagai manusia."