“Mereka bukan diaspora yang menerima paspor dengan kemegahan, melainkan orang-orang yang haknya atas sebuah tanah air telah dirampas. Mereka berkelana menyeberangi berbagai batas negara dalam ketakutan, tanpa paspor, untuk menghindari pengejaran yang dilancarkan oleh sebuah rezim yang bertahta berdasawarsa lamanya.
(Martin Aleida, Tanah Air Yang Hilang)
Saat duduk di bangku sekolah, tentu anak didik kerap disuguhi mata pelajaran sejarah Indonesia. Di dalamnya terdapat tentang Peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S). Kita ditekankan adanya hantu-hantu komunis yang menyebabkan terbunuhnya para jenderal angkatan darat. Namun pelajaran sejarah ini sama sekali tidak membeberkan rentetan peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh Negara terhadap masyarakat sipil pasca 1965 hingga tidak generasi muda agar peristiwa serupa tidak terjadi di masa yang akan datang.
Setelah 1965/1966, terjadi rentetan peristiwa kekerasan yang berimplikasi pada kondisi politik, sosial, ekonomi dan budaya secara meluas, baik yang di dalam negeri maupun di luar negeri. Penculikan dan pembunuhan para Jenderal dalam G30S menjadi alasan utama politik balas dendam aparat militer untuk menumpas habis orang yang diduga berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) atau setidaknya hanya dituduh berpaham komunis. Akibatnya, jutaan orang mengalami penangkapan sewenang-wenang, penahanan tanpa proses hukum, penyiksaan, kekerasan seksual, kerja paksa, pembunuhan, penculikan dan penghilangan orang secara paksa (enforced disappearances), perampasan aset, pemindahan orang secara paksa, kerja paksa termasuk pengasingan secara paksa yang dialami para pelajar dan mahasiswa yang tengah belajar dan mendapat beasiswa ke luar negeri, dari pemerintahan Presiden Sukarno.
Jatuhnya pemerintahan Presiden Sukarno pasca peristiwa tersebut, disusul dengan lahirnya pemerintahan militer Orde Baru dibawah pimpinan Jenderal Soeharto. Hal ini berimplikasi terhadap pengambilalihan struktur kekuasaan oleh para militer ke tubuh pemerintahan, termasuk terjadi pengambilalihan struktur kedutaan besar Indonesia berikut dengan kantor-kantornya yang ada di luar negeri, yang dilakukan oleh atase militer. Kemudian terjadi proses penyaringan yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru melalui kedutaan besar Indonesia untuk ‘membersihkan’ orang yang dituduh terkait G30S degan mencabut paspor dan hak kewarganegaraan para pelajar ataupun delegasi yang sebelumnya diberangkatkan oleh Presiden Sukarno. Hingga membuat mereka tak bisa kembali ke Indonesia.
Memang ada yang pulang ke Indonesia, namun ketika tiba di tanah air mereka diinterogasi, disiksa, diancam akan ditangkap dan ditahan, atau bahkan dibunuh oleh militer. Mau tidak mau, mereka harus melanjutkan hidup di negara yang mereka singgahi seperti Belanda, Rusia, Rumania, Albania, Tiongkok, dan Kuba.Tidak ada angka yang jelas berapa jumlah warga Indonesia yang diasingkan secara paksa dan tidak bisa kembali ke Tanah Air.
Pada tahun 1960-an, di masa kepresidenan Sukarno—yang dicap sebagai Orde Lama—pernah mengirimkan ribuan pemuda dalam rangka program beasiswa atau program pertukaran pelajar pemerintah (Mahasiswa Ikatan Dinas) melalui Departemen Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan. Disamping itu, ada pula yang dikirim sebagai delegasi ke acara khusus seperti Hari Nasional Tiongkok pada 1 Oktober 1965, Konferensi Tiga Benua 1966 di Havana, Konferensi Organisasi Jurnalis Internasional 1965 di Santiago, Cile, atau Konferensi Organisasi Solidaritas Rakyat Asia-Afrika di Aljazair 1965 dan lainnya.
Dalam kacamata politik, beasiswa ini ditawarkan kepada para pemuda Indonesia dengan harapan mereka akan berkontribusi bagi pembangunan Republik Indonesia ketika kembali ke Tanah Air. Begitu pula dengan para delegasi, mereka dikirim ke konferensi atau pertemuan guna meningkatkan keterampilan organisasi atau politik mereka agar berkontribusi pada pemerintahan Indonesia. Secara umum, keduanya turut menjadi bagian dari serangkaian kebijakan luar negeri Sukarno dalam politik global untuk tetap menjaga posisi Indonesia sebagai Negara Non Blok memiliki hubungan yang sinergis dan harmonis antara negara-negara Blok Barat dan Blok Timur.
Seiring berjalannya waktu, orang yang diasingkan secara paksa tersebut kemudian diistilahkan sebagai “eksil”. Eksil dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “terpinggirkan”. Istilah tersebut merupakan serapan kata exile dalam bahasa Inggris yang artinya terasing, atau seseorang yang dipaksa meninggalkan kampung halaman atau rumah yang ia tempati di Indonesia. Mantan Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid, turut menamai para eksil sebagai “orang yang terhalang pulang” atau orang klayaban. Mereka terjebak di luar negeri dan tidak bisa pulang ke Tanah Air selama 30 tahun lebih. Sungguh pengalaman pahit yang amat berkepanjangan.
Kekerasan Simbolik terhadap Eksil 1965
Para eksil memang dapat dikatakan ‘selamat’ dari peristiwa pembantaian massal 1965 dan tidak mengalami persekusi. Namun ironisnya, peristiwa politik 1965 terpaksa menjadikan mereka terlunta-lunta di negara orang dan seperti orang tak bernegara (stateless). Mereka tak tahu kapan bisa pulang. apalagi berkomunikasi atau mendapat kabar tentang kondisi sanak keluarga maupun kerabat. Kehilangan status kewarganegaraan, membuat para eksil harus bekerja serabutan bahkan di luar keahlian dan latar keilmuannya demi bertahan hidup di negara orang. Mereka berjuang untuk hidup dengan berpindah-pindah dari satu negara ke negara lainnya seperti Tiongkok, Uni Soviet, Belanda, Ceko-Slovakia, Jerman, Swedia dan lain sebagainya. Mereka terpaksa mencari suaka hingga bahkan harus mengajukan kewarganegaraan di negara yang mereka singgahi.
Di dalam negeri, mereka harus mendapat stigmatisasi dan dicap sebagai ‘pengkhianat negara’ oleh bangsanya sendiri. Tuduhan dan kekerasan ini pun dilegitimasi lewat TAP MPRS Nomor 25/1966 yang menyatakan larangan atas Partai Komunis Indonesia (PKI) dan larangan seluruh kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme. Meski Orde baru sudah runtuh dan pemerintah silih berganti, namun aturan tersebut masih berlaku dan tak kunjung dicabut. Dengan demikian, aturan tersebut masih menjadi momok sekaligus alat represif negara untuk menghalangi kebebasan berpikir, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
Politik pengasingan pernah dipakai oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk melumpuhkan kekuatan orang-orang berseberangan dengan pemerintah kolonial. Setidaknya, pemerintah kolonial melakukan pengasingan terhadap orang-orang yang terkait Partai Komunis Indonesia (PKI) dianggap Pemberontakan PKI 1926 ke Boven Digoel. Pengasingan tokoh-tokoh pergerakan berbasis agama maupun politik sekuler lainnya ke seberang pulau dan bahkan luar negeri juga terjadi.
Faktanya, pengasingan orang secara paksa ini kemudian direproduksi oleh rezim Orde Baru. Seolah tidak belajar dari kejahatan masa lalu, rezim Orde Baru turut menggunakan politik migrasi melalui pencabutan paspor dan hak kewarganegaraan untuk mengasingkan mereka yang dianggap komunis pasca peristiwa 30 September 1965. Bedanya, jika dulu politik migrasi tersebut dilakukan oleh pemerintah kolonial, melalui peristiwa pengasingan eksil 1965 inilah, cara kolonial dipertontonkan oleh penguasa terhadap bangsanya sendiri.
Lagi-lagi, meski dapat dikatakan para eksil tidak mendapatkan kekerasan fisik secara langsung, tetapi rezim Orde Baru telah menorehkan penderitaan non-fisik kepada mereka selama bertahun-tahun lewat kekerasan simbolik. Menurut Pierre Bourdieu dalam bukunya yang berjudul Language and Symbolic Power, kekerasan simbolik dapat yang menjadi dasar bagi terbentuknya kekerasan fisik, psikis, ekonomi, dan seksual.
Kekerasan simbolik adalah bentuk kekerasan yang tak mudah dikenali dan tak kasat mata, sebab kekerasan ini beroperasi melalui simbol yang menghegemoni objek yang didominasi mengikuti pemakna yang diproduksi berdasarkan kepentingan subjek yang mendominasi. Dalam peristiwa yang dialami oleh eksil politik 1965, ideologi Pancasila hadir sebagai ideologi negara yang digunakan untuk mempertahankan kepentingan negara dalam menciptakan serta melanggengkan dominasi antar kelas-kelas subordinat.
Propaganda besar-besaran terhadap “paham komunis” pada era Orde Baru selalu dinarasikan dengan semangat memperjuangkan nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi negara. Alih-alih menjadikan Pancasila sebagai ideologi tunggal untuk mempersatukan wilayah kepulauan Indonesia dari ancaman separatisme, namun kenyataannya ideologi Pancasila justru disalahgunakan sebagai alat pembenaran atas penindasan terhadap sesama manusia. Nilai-nilai Pancasila diredusir dan digunakan sebagai simbol kekuasaan untuk melegitimasi banyaknya praktik penyimpangan dan berbagai kebijakan yang berlindung di balik fungsi pokok Pancasila.
Nilai moral ideologis tersebutlah yang disebut oleh Bourdieu sebagai modal simbolik yang bertindak atau bekerja sebagai sumber krusial kekuasaan serta dieksploitasi oleh para pemegang kekuasaan untuk melanggengkan dominasi penguasa termasuk memberikan penderitaan bagi rakyat selaku pihak subordinat. Begitu pula dengan yang dialami para eksil 1965. Adanya peristiwa pengasingan secara paksa terhadap eksil 1965 pasca 30 September 1965, menjadi bukti bahwa Negara dibawah Orde Baru hadir dengan memperalat simbol ideologi Pancasila untuk melakukan kekerasan dengan melanggengkan praktik dominasi secara halus yang merampas nilai hak asasi manusia dan demokrasi.
Para eksil 1965 sejatinya telah memperjuangkan hak-hak mereka selama berpuluh-puluh tahun pasca reformasi. Bila di telisik ke belakang, sejak tahun 2000an, para eksil sudah pernah mengadakan dialog dengan Komisi III DPR RI maupun Presiden, untuk menuntut pengembalian hak kewarganegaraan dan bentuk pemulihan lainnya termasuk soal rehabilitasi nama baik melalui dorongan untuk mencabut TAP MRPS Nomor 25/1966. Namun yang mereka dapati hanyalah janji-janji untuk menyelesaikan masalah ini tanpa ada tindak lanjut yang jelas. Negara merasa acuh dan abai bahkan menganggap para eksil sudah bukan bagian dari warga negaranya. Secara lebih luas, terkait 1965, Negara masih gagal untuk memberikan pertanggungjawaban maupun akuntabilitas atas penyelesaian kasus 1965.
Apa yang seharusnya diberikan oleh Negara hari ini?
Terkait dengan eksil 1965, perlu diingat bahwa Negara masih memiliki hutang sejarah bagi para eksil politik 1965 yang tersebar di berbagai belahan dunia ataupun telah menjadi korban diskriminasi di Indonesia. Mereka dicap sebagai pengkhianat Negara dan ditolak oleh Negaranya sendiri. Pengungkapan sejarah dan rehabilitasi bagi korban 1965 wajib dilakukan negara demi menjamin hak asasi mereka sebagai manusia dan warga negara yang telah dijamin dalam landasan konstitusional Indonesia. Mereka harus hidup tanpa kewarganegaraan (stateless) pindah dari satu Negara ke Negara lain selama puluhan tahun lamanya. Bila pulang ke Indonesia mereka diancam akan ditangkap, dibuang atau bahkan dibunuh.
Memang benar pada awal tahun, tepatnya pada 11 Januari 2023, Presiden Joko Widodo telah mengakui dan menyesalkan terjadinya pelanggaran HAM yang berat dalam Peristiwa 1965 dan melalui mekanisme Penyelesaian Pelanggaran HAM yang Berat Masa Lalu Non-Yudisial (PPHAM) dengan memberi tawaran pemulihan kepada penyintas 1965 termasuk memberi tawaran kepada eksil berupa kemudahan layanan pengurusan visa, izin tinggal, dan visa keluar masuk Indonesia berkali-kali (multiple entry) secara gratis. Namun bentuk pemulihan tersebut terkesan sangat terlambat dan belum mengakomodir hak-hak eksil 1965.
Pemberian layanan pengembalian kewarganegaraan yang digadangkan, hanyalah solusi atas permasalahan administrasi tanpa menyentuh ranah substansi. Hal ini tentu membatasi atau melokalisir persoalan pelanggaran hak-hak para eksil dan menguburkan upaya pengungkapan kebenaran tentang sejarah peristiwa dan rehabilitasi korban.
Pengungkapan kebenaran melalui pelurusan sejarah merupakan hal yang esensial dan penting untuk diwujudkan dalam proses penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu. Namun masih tertanam kuat pada sebagian pihak bahwa tindak kekerasan negara pada 1965 – 1966 itu harus dilakukan untuk menghalau serangan dari kelompok masyarakat yang berpotensi mengganggu stabilitas Negara maupun terkait paham/ideologi yang dianggap bertentangan dengan nilai pancasila. Narasi itu masih diwariskan secara turun temurun.
Negara tentu wajib untuk mengungkap kebenaran dan mendorong pertanggungjawaban dan akuntabilitas Negara dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Dalam pelurusan sejarah, Negara dapat memainkan peranan dari kewajibannya untuk memelihara ingatan (state’s duty to preserve memory) sebagai sebuah kewajiban oleh Negara yang ditegaskan dalam resolusi Majelis Umum PBB No. 56/83 tentang Kewajiban Negara atas Tindakan Pelanggaran Hukum Internasional pada 12 Desember 2001.
Pelurusan sejarah sebagai upaya pengungkapan kebenaran harus turut hadir sebagai manifestasi atas pemenuhan hak atas keadilan antar generasi guna memutus rantai trauma terhadap generasi muda di masa mendatang, termasuk pula upaya memutus akar konflik dan menjamin ketidak-berulangan (non-recurrence). Pengungkapan kebenaran seperti ini harus ditindaklanjuti dengan langkah-langkah yang dapat memberikan rasa keadilan dan kepuasan (satisfaction) bagi korban dan keluarganya yang diikuti dengan proses penegakan hukum dan pemulihan yang efektif.
Kewajiban ini juga secara jelas tertuang di dalam dokumen Komisi HAM PBB tentang prinsip-prinsip terbaru mengenai perlindungan dan pemajuan HAM melalui langkah-langkah untuk melawan impunitas tahun 2005. Mengambil contoh seperti penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu yang terjadi di Cile. Sebuah komisi berhasil mengungkap kekejaman rezim Pinochet ketika berkuasa dan membersihkan nama baik korban pembunuhan massal yang selama ini dianggap sebagai pemberontak negara. Melalui pelurusan sejarah Negara tidak hanya sedang berupaya menulis ulang kejadian sesungguhnya yang terjadi pada masa lalu atas nama kebenaran, namun juga hendak memberikan bekal pembelajaran bagi masa depan seluruh anak bangsa.
Pemerintah juga hingga kini masih melanggengkan peraturan diskriminatif yang memberikan stigma kepada korban peristiwa 1966 seperti TAP MPRS XXV/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme yang dinilai sebagai penyebab lekatnya stigma terhadap para korban peristiwa 1965. Dalam hal ini, pemerintah Indonesia juga harus memperhatikan dampak dari ketetapan tersebut yang masih memberikan stigma yang melekat pada para eksil politik. Khawatir, jika mereka kembali ke Indonesia masih akan menghadapi stigma berkenaan dengan komunisme tersebut. Negara sebagai duty bearer semestinya dapat memberikan pemulihan nama baik korban PHB, termasuk eksil demi mengurangi/ menghapus stigma, memberikan pemulihan hak (keluarga) eksil seperti hak atas pensiun untuk eks pegawai negeri; hak atas aset, termasuk rumah dan tanah, melakukan pengungkapan kebenaran dan pelurusan sejarah, mencabut TAP MPRS XXV/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme dan aturan diskriminatif lainnya terhadap para korban peristiwa 1965 hingga menyelesaikan kasus 1965 melalui jalur yudisial sesuai dengan mandat UU 26/2000.
Jane Rosalina Rumpia, kini Kepala Divisi Pemantauan Impunitas di Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Tertarik pada isu Hak Asasi Manusia, Politik dan Sejarah.