MUNGKIN kebetulan saja saya lahir di Banten, daerah yang boleh dibilang orang-orangnya taat beragama. Tanda-tanda itu bisa dengan mudah terlihat sesaat kita masuk ke wilayahnya, mulai di Kota Tangerang, begitu juga di Serang dan beberapa kota lain, terpancang 99 plang asmaulhusna, nama-nama indah serta gelar mulia Allah Swt. Selain fanatik, orang-orang dari kampung saya juga dikenal sebagai jagoan. Istilahnya jawara, jago silat, beberapa di antaranya konon kebal bacok dan urat takutnya sudah putus.
Kalau bulan puasa tiba, seingat saya di masa remaja di kampung, semua warung makan menutup diri menggunakan tirai. Sebagian orang yang makan di sana adalah pekerja kasar dan tukang becak. Kalau sedang makan, hanya kaki sebatas betis ke bawah yang kelihatan. Memang tak ada razia seperti yang terjadi beberapa waktu terakhir lalu. Tapi pernah pula saya melihat seorang kernet angkot apes kena gampar orang saat sedang asyik-asyiknya merokok. Dalam adegan itu saya tak tahu persis apakah si kernet yang tak menghormati orang berpuasa, ataukah orang –yang sepertinya jawara itu– batal puasanya karena tak sanggup menahan nafsu amarah?
Belakangan ritual tahunan ibadah puasa ini semakin runyam di ruang publik, lebih-lebih saat jadi isu politik. Ambil contoh surat edaran Menteri Sekretaris Kabinet yang melarang pejabat pemerintahan mengadakan buka puasa bersama. Alasannya karena transisi pandemi Covid-19 menuju endemi masih berisiko menularkan virus corona. Surat edaran itu memicu geger di media sosial. Masing-masing punya penafsirannya sendiri. Ada yang menuduh kalau pemerintah Jokowi mengekang kegiatan beragama sambil membandingkan acara konser yang baru-baru ini dihadiri oleh presiden tanpa menghiraukan isu pandemi.
Setelah ramai, buru-buru Menteri Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengklarifikasi surat edaran itu dengan menyatakan larangan hanya untuk pejabat pemerintahan, sedangkan masyarakat dipersilakan. Alasannya karena pemerintah kini sedang berikhtiar mengedepankan pola hidup sederhana, apalagi belakangan ini tabiat pamer dari segelintir amtenar jadi sorotan masyarakat. Mungkin ini semacam ajakan untuk menjalankan laku hidup asketik demi menjiwai bagaimana rasanya si miskin ketika lapar.
Soal ini mengingatkan saya pada wartawan senior almarhum Joesoef Isak. Suatu kali, semasa hidupnya editor karya-karya Pramoedya Ananta Toer di penerbit Hasta Mitra itu, menyimak seorang kerabatnya yang mengajarkan betapa pentingnya berpuasa, sehingga kita bisa merasakan lapar sebagaimana orang-orang yang tak berpunya. Mendengar itu, sontak Joesoef bicara supaya jangan mengajarinya rasa lapar, karena sebagai orang yang pernah jadi tahanan politik rezim Orde Baru selama sepuluh tahun (1967–1977) tanpa pernah diadili, ia tahu persis bagaimana rasanya lapar. “Setiap hari aku dan tahanan lain hanya makan empat puluh butir jagung. Sedangkan kalian makan besar waktu buka puasa dan sahur,” katanya.
Makan empat puluh butir jagung sekali sehari tentu bukan kategori puasa. Barangkali itu termasuk dalam hitungan penindasan yang sebenar-benarnya. Namun dalam penindasan itu makna puasa yang sesungguhnya bisa ditemukan: ketika seseorang tak punya pilihan lain kecuali menjalani penderitaan sebagai keharusan yang tak bisa dielakkan dalam hidupnya. Tak terbayangkan bagaimana rasanya menjalani itu selama sepuluh tahun.
Dalam ajaran Islam, puasa yang disebut sebagai ibadah sirriyah atau bersifat pribadi antara diri sendiri dengan Tuhan itu, sejatinya mengajarkan empati pada orang lain. Merasakan apa yang orang lain rasakan. Puasa juga sudah dikenal dalam masyarakat pra-Islam di Nusantara. Dalam tradisi Jawa, ada puasa mutih, yakni berpuasa tak menyantap makanan lain kecuali nasi dan air putih yang tak memiliki rasa. Juga ada puasa matigeni atau patigeni, sama sekali tak makan dan minum, serta menjauhkan diri dari keramaian.
Berdasarkan Kakawin Ramayana dari era kerajaan Medang abad 10, istilah puasa atau pasa sudah digunakan merujuk kepada aktivitas pengekangan diri melawan kedurjanaan (hawa nafsu, angkara murka) yang timbul dari dalam diri. Persis dengan apa yang disampaikan sufi Jalaluddin Rumi agar manusia tak membiarkan jiwanya mengemis pada tubuh.
Kalau melihat semua ajaran itu rasa-rasanya puasa membuat manusia bisa lebih sabar, lebih baik, dan lebih manusiawi. Karena dalam puasa ada ajakan untuk berempati, dorongan untuk menghormati sesama manusia atas dasar kerelaan dan keikhlasan berbagi. Itu idealnya. Tapi baru hari pertama puasa di bulan Ramadan tahun ini dimulai, publik geger gara-gara sebuah video viral memperlihatkan seorang yang sedang menjalankan puasa merasa keberatan karena ada warung bakso masih buka dan melayani tamu-tamunya.
Seperti juga kontroversi surat edaran Menseskab soal buka puasa bersama, informasi itu beredar di media sosial dan memantik perdebatan publik. Lagi-lagi yang diributkan soal bagaimana seharusnya toleransi dijalankan. Yang puasa ingin dihormati, sementara yang tak berpuasa juga meminta hal yang serupa. Mungkin ini akibatnya jika ritual ibadah yang sangat personal dibawa ke ruang publik dalam relasi kuasa. Puasa yang sarat akan nilai pengekangan diri sendiri, terperosok menjadi kehendak untuk mengekang orang lain.
Lagi-lagi saya teringat insiden bang jago menggampar kernet angkot yang sedang merokok di bulan puasa. Ditambah lagi ingatan atas berita segerombolan Satpol PP yang menyita sepanci sayur dari warung makan karena kedapatan berjualan di saat bulan puasa. Galak banget dah… ampun.*
Lupa password
Masukkan email yang Anda daftarkan di Historia
Kirim
error message
Lupa Kata Sandi
kode verifikasi telah dikirim ke email Anda
error message
Atur Ulang Kata Sandi
error message
Verifikasi email
Masukkan kode verifikasi yang telah dikirimkan ke email Anda
Historia berhak me-non aktifkan account yang melanggar atau menggunakan program ilegal untuk mendapatkan poin tanpa pemberitahuan dahulu
Historia bekerja sama dengan pihak ke-3 untuk transaksi redeem point, dalam hal ini pihak ke-3 adalah GetPlus
Historia hanya menjadi platform untuk mengumpulkan poin, redeem poin hanya bisa dilakukan di platform pihak ke-3, dalam hal ini GetPlus
Setelah user redeem point di platform pihak ke-3, maka semua activity yang dilakukan menjadi tanggung jawab pihak ke-3
Historia sebagai partner tidak bertanggung jawab apabila terjadi maintenance web, maintenance produk, dan atau hal - hal lainnya yang terjadi di pihak ke-3 maupun yang terjadi di Historia.id yang dapat mengganggu dalam perolehan poin user maupun dalam keterlambatan masuknya poin user
Historia sebagai partner tidak bertanggung jawab atas hilangnya Poin perolehan, dan atau perbedaan jumlah poin segala transaksi akan tercatat di dalam applikasi pihak ke-3
Historia sebagai partner tidak bertanggung jawab atas perubahan-perubahan syarat & ketentuan yang dilakukan pihak ke-3
Historia sebagai partner tidak bertanggung jawab atas data yang ada di pihak ke-3
Historia sebagai partner tidak bertanggung jawab atas redeem yang dilakukan user di pihak ke-3
Historia sebagai partner tidak bertanggung jawab atas hadiah yang disediakan oleh pihak ke-3