DI tengah kegelapan malam, Jeanne d’Arc menyusup masuk ke kota Compiègne, di utara Prancis yang tengah dikepung satu kompi pasukan Kadipaten Burgundy di bawah pimpinan John of Luxembourg. Jeanne, sang loyalis Raja Prancis Charles VII itu jadi target buruan Adipati Burgundy yang bersekutu dengan Inggris. Rupanya Minggu, 23 Mei 1430 itu adalah hari terakhir perlawanannya menentang kolaborator wangsa Lancaster di Prancis. Setelah sempat dua kali mencoba memukul mundur pasukan Kadipaten Burgundy, namun akhirnya ia menyerahkan diri kepada Tumenggung John.
Sejak penangkapan itu dimulailah babak akhir dalam drama kehidupan Jeanne d’Arc atau Joan of Arc di abad pertengahan, sebuah zaman di mana otoritas gerejawi turut campur dalam kekuasaan negara. Gadis pemberani anak petani desa Domrémy tersebut dituduh bidah dan menista agama. Jeanne mengklaim menerima wahyu Tuhan untuk menyelamatkan Prancis dari kehancuran dan karena itulah ia berjuang bersama Raja Charles VII menaklukkan wangsa Lancaster di tanah Prancis.
Untuk mengadilinya, Uskup Pierre Cauchon dan Jean Lemaître, wakil penyelidik dari Prancis memimpin jalannya persidangan. Kendati tak punya kewenangan jadi hakim pada wilayah yang berada di luar yurisdiksinya, Uskup Pierre Cauchon dari Beauvais tetap memimpin persidangan di kota Rouen, Normandy.
Rangkaian persidangan diawali dengan proses pemeriksaan yang digelar mulai Rabu, 21 Februari 1431 sampai Sabtu, 17 Maret 1431. Uskup menjatuhkan 70 dakwaan kepada Jeanne, yang keseluruhan berdasarkan tuduhan penistaan agama, antara lain mengatasnamakan Yesus dan Bunda Maria, mengaku memiliki otoritas ilahiah, mengaku telah terjamin keselamatannya, kerap mengenakan pakaian laki-laki dan yang terberat adalah klaim menerima langsung perintah Tuhan ketimbang tunduk pada otoritas gereja.
Selama interogasinya, Jeanne berusaha keras untuk tak terjebak pertanyaan-pertanyaan yang bisa memberatkan hukumannya. Misalnya dalam pemeriksaan yang ketiga, Sabtu, 24 Februari 1431, saat Jeanne menghadapi interogator Jean Beaupere, sohib dekat Uskup Pierre Cauchon. Kepada Jeanne, Jean bertanya, “Apakah Anda tahu kalau Anda berada dalam kasih karunia Allah atau tidak?”
Sebenarnya pada masa itu pertanyaan tersebut termasuk ke dalam tipe pertanyaan jebakan batman. Doktrin gereja mengajarkan tak seorang pun manusia bisa memastikan kalau ia berada dalam kasih karunia Tuhan. Tapi apabila Jeanne menjawab “tidak”, bisa dipastikan akan mendapatkan hukuman berat karena mengakui kalau Tuhan tak memberkahinya karunia. Serba salah.
Namun Jeanne tak mudah dijebak. Untuk pertanyaan simalakama itu ia mengajukan jawaban yang mencengangkan: “Jika tidak, semoga Tuhan menempatkan saya di sana; dan jika ya, semoga Tuhan menjaga saya. Saya akan menjadi makhluk yang paling menyedihkan di dunia jika saya tahu bahwa saya tidak berada dalam kasih karunia-Nya,” jawabnya tangkas dan diplomatis.
Pada pengujung Mei 1431, setelah melalui lima belas kali tahapan pemeriksaan, hakim dan para pemeriksa kolaborator Inggris menetapkan Jeanne menganut ajaran sesat dan berkelakuan bidah sehingga tak ada hukuman lain yang lebih adil kecuali hukuman mati. Ketika awan gelap menaungi Eropa, para agamawan berselingkuh dengan penguasa negeri, berlaku seakan Tuhan yang menampilkan wajah garangnya mendakwa mereka yang dianggap berbeda.
Lukisan karya pelukis Prancis Jules-Eugène Lenepveu (1819–1898) menggambarkan suasana dramatis eksekusi mati Jeanne d’Arc: tubuhnya yang mengenakan gaun putih terikat pada sebatang tiang sementara kedua tangannya menggenggam salib yang disodorkan seorang domini. Tiang di mana Jeanne tertambat itu berdiri tinggi di atas tumpukan kayu bakar yang siap menghanguskan tubuh perempuan berusia 19 tahun itu.
Jeanne d’Arc wafat pada 30 Mei 1431, disaksikan ratusan pasang mata di tengah pasar di kota Rouen, Prancis. Empat abad kemudian, 16 Mei 1920, Jeanne d’Arc ditetapkan sebagai orang suci (saint) oleh Paus Benedict XV dan hingga kini dikenang rakyat Prancis sebagai La Pucelle, sang perawan.
Jeanne bukan satu-satunya martir era inkuisisi. Dua abad setelah Jeanne, medio 1633 otoritas gereja Roma mendakwa astronom Galileo Galilei sesat karena fatwa ilmiahnya mengenai bumi mengelilingi matahari bertentangan dengan ayat-ayat Alkitab. Atas temuan ilmiahnya itu Galileo diganjar hukuman penjara rumah seumur hidupnya. Lima puluh tahun berselang setelah peristiwa itu, langit gelap Eropa perlahan mulai cerah. Praktik inkuisisi yang berlangsung selama lima abad menemukan jalannya untuk memperbaiki diri.
Sementara itu 592 tahun setelah kematian Jeanne d’Arc dan 390 tahun setelah Galilei Galileo didakwa sesat atas apa yang kemudian terbukti benar, 300 orang warga di wilayah Pasir Putih Kambang, Pesisir Selatan, Sumatra Barat mengarak WDP (23 tahun) dan L (19 Tahun) menuju pantai di tengah kegelapan malam. Dua perempuan itu tak sempat lagi membela diri ketika orang-orang menyeret mereka dari sebuah kafe menuju tepian pantai.
Orang-orang yang kalap itu mengangkat diri mereka sebagai jaksa sekaligus hakim dalam sebuah pengadilan moral darurat. Kerumunan majelis hakim dan jaksa itu menetapkan dua terdakwa bersalah karena berada di sebuah kafe pada malam bulan Ramadan. Hukuman atas keduanya dilakukan dengan cara menceburkan ke laut dan mengoyak-ngoyak pakaian yang mereka kenakan hingga harga diri mereka jatuh ke dasar lautan yang paling dalam.
“Abang tolong saya, saya tidak melakukan apa-apa,” begitu pledoi seorang terdakwa yang tak lagi dihiraukan majelis hakim massa.
Kejadian tersebut memunculkan pertanyaan: apakah zaman kegelapan masih berlangsung di negeri ini? Ataukah semua itu hanyalah residu masa lalu yang bakal hilang dilibas zaman? Di mana gerangan angkatan baru yang lebih sempurna sebagaimana tersurat dalam sajak Henriette Roland Holst?
Kami bukan pembangun candi,
Kami hanya pengangkut batu,
Kami angkatan yang mesti musnah,
Agar menjelma angkatan baru
Di atas pusara kami,
Lebih sempurna.
Lupa password
Masukkan email yang Anda daftarkan di Historia
Kirim
error message
Lupa Kata Sandi
kode verifikasi telah dikirim ke email Anda
error message
Atur Ulang Kata Sandi
error message
Verifikasi email
Masukkan kode verifikasi yang telah dikirimkan ke email Anda
Historia berhak me-non aktifkan account yang melanggar atau menggunakan program ilegal untuk mendapatkan poin tanpa pemberitahuan dahulu
Historia bekerja sama dengan pihak ke-3 untuk transaksi redeem point, dalam hal ini pihak ke-3 adalah GetPlus
Historia hanya menjadi platform untuk mengumpulkan poin, redeem poin hanya bisa dilakukan di platform pihak ke-3, dalam hal ini GetPlus
Setelah user redeem point di platform pihak ke-3, maka semua activity yang dilakukan menjadi tanggung jawab pihak ke-3
Historia sebagai partner tidak bertanggung jawab apabila terjadi maintenance web, maintenance produk, dan atau hal - hal lainnya yang terjadi di pihak ke-3 maupun yang terjadi di Historia.id yang dapat mengganggu dalam perolehan poin user maupun dalam keterlambatan masuknya poin user
Historia sebagai partner tidak bertanggung jawab atas hilangnya Poin perolehan, dan atau perbedaan jumlah poin segala transaksi akan tercatat di dalam applikasi pihak ke-3
Historia sebagai partner tidak bertanggung jawab atas perubahan-perubahan syarat & ketentuan yang dilakukan pihak ke-3
Historia sebagai partner tidak bertanggung jawab atas data yang ada di pihak ke-3
Historia sebagai partner tidak bertanggung jawab atas redeem yang dilakukan user di pihak ke-3
Historia sebagai partner tidak bertanggung jawab atas hadiah yang disediakan oleh pihak ke-3