Pada 11 Juli 2023 lalu, baru saja pemerintah Belanda mengembalikan 472 koleksi benda bersejarah yang selama ini tersimpan di sejumlah museum Belanda ke tanah air. Proses panjang selama dua tahun ini merupakan buah kerja sama antara kedua negara dalam menghadapi masa lalu yang sulit. Seluruh benda yang dikembalikan adalah hasil pindah tangan paksa, atau dalam istilah ekstrimnya: dirampok dan dijarah dari berbagai pelosok nusantara. Peristiwa ini memperlihatkan bagaimana dua negara secara konkrit menginterpretasikan upaya dekolonisasi—sebuah pendekatan yang mendekonstruksi relasi-relasi kuasa akibat kolonialisme. Kedua negara bekerjasama dalam posisi setara untuk terus mempreservasi bagian dari masa lalu Indonesia, sebab selain pengembalian barang-barang tersebut, kerjasama Indonesia dan Belanda juga melibatkan sejumlah penelitian dan upaya-upaya mendalam untuk memahami sejarah objek-objek tersebut.
Masih dalam bulan yang sama, di Malang, sebuah kota sejuk di Jawa Timur mengadakan Tong-tong Night Market pada 28-30 Juli 2023 silam. Mengusung tema Malam Bersuka Ria, Tong-tong Night Market diselenggarakan oleh Shalimar Boutique Hotel (sebuah hotel bintang lima di Malang) dan didukung oleh pemerintah Kota Malang. Acara pembukaan pun diresmikan langsung oleh Walikota Malang, Sutiadji beserta sang istri. Pasar malamini menyajikan sejumlah stand yang diisi oleh beragam kuliner, mulai dari makanan khas Jawa Timur seperti kupang keraton, lontong balap, bakso Malang, hingga makanan bernuansa Eropa seperti poffertjes. Sejumlah UMKM juga tampak memanfaatkan momen ini dengan menggelar produk-produknya. Dalam pidatonya, Sutiadji juga menekankan kenaikan PDB Kota Malang dalam satu dekade terakhir, serta peran penting UMKM dalam sektor pariwisata kota. Tentu saja, Shalimar Hotel dan industri penyokong pariwisata merupakan elemen penting dalam perekonomian kota.
Sejarah, dalam pasar malam ini, dihadirkan sebagai sebuah heritage—peninggalan masa lalu yang saat ini masih ada di sekitar kita. Dan ikon-ikon heritage pun bertebaran di pasar malam ini: kuliner jajanan pasar, pojok permainan tradisional, seorang pemain egrang beraksi, band di tengah taman dengan pakaian tradisional dan blankon, dan dua mobil antik yang dipajang di tengah taman (diberi pembatas sehingga tidak boleh disentuh). Taman di Jalan Ceremai ini, yang berlokasi persis di muka Shalimar Hotel, telah dipugar beberapa waktu sebelumnya. Yang lebih luar biasa lagi, pengunjung harus melakukan transaksi dengan menggunakan voucher yang disebut Gulden. (Dulu mata uang Belanda juga Hindia Belanda adalah Gulden)
Satu Gulden dalam pasar malam ini dihargai Rp 8000. Pasar malam ini tidak menerima transaksi dengan rupiah, tetapi Gulden versi mereka. Dan mereka menyebut tampilan-tampilan heritage ini sebagai upaya untuk ‘kembali ke masa lalu’, seperti yang diutarakan sang pembawa acara.
Masa lalu yang mana? Mengapa di satu sisi pemerintah Indonesia bekerjasama dengan pemerintah Belanda untuk menghadapi masa lalu kelam kolonialisme malalui pengembalian barang-barang yang diambil paksa, sedangkan di sebuah kota di Indonesia, kita kembali pada Gulden atas nama heritage?
Shalimar Boutique Hotel sendiri merupakan gedung yang termasuk dalam cagar budaya yang diresmikan pada tahun 2022 lalu. Didirikan sekitar tahun 1930an, gedung ini merupakan salah satu gedung societeit, tempat rekreasi para kaum Eropa, di Kota Malang. Gedung tersebut juga pernah digunakan sebagai markas Freemason, kemudian beralih menjadi tempat tahanan sementara di zaman Jepang. Pada masa awal kemerdekaan, gedung ini sempat difungsikan menjadi RRI Malang sejak 1964. Lalu pada 1993, asset ini berpindah tangan ke PT. Cakra Nur Lestari yang kemudian mendirikan Hotel Malang Inn, lalu berubah menjadi Graha Cakra.
Pada 2015, hotel ini di-rebranding menjadi Shalimar Boutique Hotel. Maka tidak heran jika Tong-tong Night Market diadakan tepat di depan bangunan cagar budaya ini. Upaya untuk menyoroti ‘heritage’ kota Malang dan menghadirkan kembali masa lalu kolonial menjadi adalah misi festival ini. Persis sama seperti Tong-tong Fair yang setiap tahun diadakan di Negeri Belanda oleh komunitas Indo Eropa, yang diadakan sejak 1959, festival yang sebelumnya dinamakan Pasar Malam Besar ini menarik lebih dari 100.000 pengunjung di kota Den Haag. Akan tetapi, sejumlah kritik dilayangkan pada festival Indo-Eropa ini karena menghadirkan kolonial nostalgia melalui kuliner, musik, tari, dan beragam kebudayaan tanpa menyinggung apa pun tentang sisi gelap kolonialisme itu sendiri.
Tong-tong, baik di Den Haag maupun Malang ini, tampaknya enggan membicarakan bagaimana nostalgia terhadap budaya Indische itu terbangun: melalui represi dan eksklusi berkelanjutan terhadap warga pribumi.
Bangunan cagar budaya alias heritage itu tidak mengingat para kuli yang membangunnya, namun mengingat arsitektur Eropanya, Mulder. Orang-orang Eropa yang berekreasi di gedung societeit itu dicatat, sedangkan para buruh perkebunan gula di Kebun Agung—Kabupaten Malang, yang mensuplai gula untuk teh, kopi dan kue-kue para societeit, tentu tidak diingat.
Para petani, buruh, maupun mantan gerilyawan punya ingatan yang berbeda tentang masa kolonial; yang berbeda dari sekedar jajanan pasar, musik lawas, maupun permainan tradisional. Kelaparan, katul, tiwul, senjata, judi, upah harian—hal-hal ini adalah bagian dari kehidupan orang-orang Indonesia yang juga menjalani ‘masa jadul’, alias masa kolonial.
Upaya kita untuk untuk mengingat masa lalu cenderung selektif; ingin mengingat hal tertentu, dan enggan untuk mengingat yang lain. Ditambah lagi dengan bumbu pariwisata dan pendapatan ekonomi daerah, jadilah heritage yang selektif. Freek Colombijn mengatakan bahwa pemanfaatan heritage kolonial adalah proses selektif.
Orang-orang yang berurusan dengan peninggalan kolonial beroperasi seperti pemulung; mencari-cari peninggalan, melihat arsip dan sumber lisan untuk memilih apa yang berguna dan membuang yang tidak bermanfaat bagi mereka. Dalam hal ini, heritage kolonial diarahkan untuk meningkatkan industry pariwisata dan pendapatan kota. Maka tidak heran jika kini kita dihadapkan pada acara-acara yang memproduksi kembali Gulden, tapi abai terhadap sejarah buruh dan petani yang membuat Gulden itu ada di tanah nusantara.
Seseorang bisa berargumen bahwa tidak ada gunanya untuk mengingat hal-hal buruk. Masa kelam tentu akan membuat wisatawan lari. Tidak ada lagi yang mau datang ke Malang jika yang dibicarakan adalah diskriminasi dan eksploitasi pribumi. Sebenarnya pendapat ini tidak tepat juga. Di sejumlah kota di dunia, sejarah kelam menjadi bagian dari tujuan wisata. Contoh yang paling ekstrim misalnya museum genosida di Kamboja. Contoh lainnya adalah tur-tur kota di Belanda yang berbasis pada sejarah perbudakan, atau sejarah para migran Suriah. Hal-hal kelam adalah bagian dari pelajaran tentang masa lalu dan bukan sesuatu yang tabu. Justru ketika kita tidak membicarakan dan menampilkannya, maka kita menciptakan ilusi bahwa masa lalu kita ‘baik-baik saja’ atau dalam hal ini kita merasa ‘kolonialisme itu baik-baik saja’.
Meskipun saya setuju dengan Freek Colombijn, rasanya juga galau untuk memikirkan bahwa selektivitas ini adalah fenomena umum dalam sejarah Indonesia. Sejarah dipilih untuk tujuan tertentu; menggunakan yang satu dan membuang yang lain. Namun kita punya pilihan, mau turut melanggengkan selektivitas ini, atau menggugatnya.
Grace Leksana, Pengajar Sejarah di Universitas Negeri Malang. Doktor Sejarah dari Universitas Leiden (2020). Selama bertahun-tahun fokus pada kajian sejarah kekerasan di Indonesia.