PARA siswa yang sedang mengikuti pelajaran di kelas tiba-tiba saja panik dan tiarap berlindung dari serangan teroris yang masuk mendadak sembari menembaki mereka membabi buta. Setelah menghamburkan peluru senapan otomatis ke segala penjuru kelas, para teroris itu langsung lenyap meninggalkan kelas yang berantakan. Seorang pengajar yang beberapa menit sebelumnya masih aktif mengajar, tergeletak bersimbah darah. Belum lagi sirna rasa kaget, tiba-tiba pengajar yang tewas itu berdiri dan meminta siswanya untuk kembali merapikan kelas dan duduk di kursi masing-masing.
“Saya meminta kalian mengidentifikasi pelaku penyerangan tadi,” katanya. Sontak para siswa yang masih kalut itu terkesiap menjawab semampunya.
Kisah serangan teroris ke sebuah kelas itu diceritakan oleh dua mantan agen Mossad Victor Ostrovsky dan Claire Hoy dalam bukunya Mossad: Tipu Daya yang Dibeberkan oleh Mantan Agen Dinas Rahasia Israel. Victor dan Claire mengungkapkan bagaimana para calon agen Mossad direkrut dan dididik sebelum mereka menjalankan berbagai operasi intelijennya di seluruh dunia.
Buku itu saya baca puluhan tahun lalu, namun kisah di dalamnya masih melekat erat dalam ingatan. Membentuk semacam imajinasi tentang operasi intelijen yang penuh konspirasi untuk mengendalikan berbagai macam hal demi kepentingan Israel. Tak heran jika desas-desus mengenai konspirasi ini selalu jadi rujukan terakhir atas berbagai peristiwa yang terjadi di dunia. “Konspirasi Wahyudi,” kata orang membikin olok-olok atas cerita keterlibatan agen-agen Mossad.
Tapi memang sepak terjang agen dinas rahasia Israel ini selalu menjadi kisah yang fantastis, entah memang dibuat-buat atau memang demikian kenyataannya. Paling tidak melalui film Munich karya sutradara Steven Spielberg kita bisa menyaksikan bagaimana agen-agen Mossad dikerahkan untuk membalas dendam atas kematian sebelas atlet Israel dalam Olimpiade di Munich, Jerman 1972. Mereka mempelajari, menelusuri, dan memburu para pelaku sampai tunai dendam terbalaskan. Dengan menampilkan sepotong fragmen pembalasan, maka agen-agen Mossad dalam film itu tampil sebagai pihak yang dibenarkan untuk melakukan kekerasan atas nama pembalasan.
Konteks dari rangkaian cerita kekerasan dalam film itu tak pernah tampil seutuhnya: penjajahan Israel atas tanah Palestina beserta kekerasan militer Israel terhadap warga sipil Palestina. Sebagai penggalan kisah atas realitas historis, film memang tak punya banyak pilihan untuk menampilkan cerita secara kronologis A-Z. Tapi bagaimana dengan kehidupan nyata sebuah bangsa ketika dihadapkan kepada pilihan satu di antara dua yang melibatkan Israel di dalamnya sebagaimana dilema Piala Dunia U-20 di Indonesia?
Dalam persoalan ini, masing-masing pilihan punya kebenaran dan rasionalisasinya sendiri-sendiri. Selama tiga dekade lebih sepakbola kita tak pernah mencapai puncak kejayaan baik di wilayah regional apalagi internasional sekelas Piala Dunia. Maka ketika Indonesia terpilih sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20, segenap orang bergembira menyambut keputusan itu sebagai tiket emas menuju Piala Dunia tanpa harus melalui babak kualifikasi. Semacam jalur potong kompas, serba pragmatis. Salah? Tentu saja tidak, tergantung tujuannya.
Apabila tujuannya memenuhi hasrat diri tampil pada ajang dunia karena rentetan kegagalan bertanding secara murni melalui babak kualifikasi, maka boleh-boleh saja. Apalagi melihatnya sebagai kesempatan untuk menjadi penyelenggara acara dengan motif ekonomi di balik kegiatan tersebut. Betapapun dengan risiko gawang timnas U-20 kebobolan berkali-kali oleh lawan yang memang masuk ke putaran Piala Dunia U-20 melalui babak kualifikasi yang kompetitif. Dalam posisi seperti ini keterlibatan Israel seperti bukan jadi soal besar lagi.
Lain lagi soalnya kalau merujuk kepada amanat konstitusi Republik Indonesia dan sejarah penyelenggaraan ajang olahraga di Indonesia, seperti yang pernah terjadi pada Asian Games 1962. Sikap Indonesia saat itu kukuh menolak kehadiran Israel dan Taiwan berbuntut panjang pada sanksi Komite Olimpiade Internasional (IOC). Risiko itu dihadapi dengan kepala tegak sebagai bagian dari komitmen Indonesia di bawah Sukarno untuk turut dalam membebaskan bangsa-bangsa yang masih di bawah kolonialisme.
Maka saat sanksi dijatuhkan kepada Indonesia, alih-alih manut, Bung Karno malah menggagas Games of the New Emerging Forces (Ganefo). Walaupun diselenggarakan di tengah hujatan negeri-negeri Barat dan tuduhan IOC bahwa Indonesia mencampuradukkan olahraga dengan politik, penyelenggaraan Ganefo, 10–22 November 1963 berlangsung sukses. Ajang pertandingan olahraga rada nekat ini pun melambungkan nama Indonesia dan Sukarno. Bagaimana tidak, ada sebuah negeri yang baru saja merdeka dua dekade berani mendobrak tradisi lama sekaligus menciptakan tradisi baru dalam ajang olahraga dunia.
Kalau kita perhatikan, sikap itu datang dari keteguhan memegang prinsip dan komitmen tinggi pembebasan negeri-negeri jajahan yang saat itu masih belum semua merdeka. Fakta itulah yang juga mengundang decak kagum sejarawan tenar asal Belgia David van Reybrouck sehingga ia menulis buku Revolusi: Indonesia dan Lahirnya Dunia Baru. Dalam buku itu ia melihat peran penting Indonesia dalam membantu perjuangan bangsa-bangsa jajahan lainnya untuk merdeka sebagaimana ditunjukkan dalam penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika 1955 yang melahirkan spirit pembebasan bangsa-bangsa terjajah.
Kalau sudah begini saya jadi berandai-andai: kalau saja Bung Karno sekarang masih ada, mungkin keputusan FIFA mencoret Indonesia sebagai penyelenggara Piala Dunia U-20 akan dilawannya dengan membuat ajang tandingan: Ganefoot (Games of the New Emerging Football Teams). Tapi kayaknya spirit nekat ala Bung Karno perlu juga kita tiru sekarang. Supaya tak setengah-setengah dalam bersikap.
Benar juga apa kata Multatuli, “Sikap setengah hati tidak akan menghasilkan apa-apa. Setengah baik berarti tidak baik. Setengah benar berarti tidak benar.”*
Lupa password
Masukkan email yang Anda daftarkan di Historia
Kirim
error message
Lupa Kata Sandi
kode verifikasi telah dikirim ke email Anda
error message
Atur Ulang Kata Sandi
error message
Verifikasi email
Masukkan kode verifikasi yang telah dikirimkan ke email Anda
Historia berhak me-non aktifkan account yang melanggar atau menggunakan program ilegal untuk mendapatkan poin tanpa pemberitahuan dahulu
Historia bekerja sama dengan pihak ke-3 untuk transaksi redeem point, dalam hal ini pihak ke-3 adalah GetPlus
Historia hanya menjadi platform untuk mengumpulkan poin, redeem poin hanya bisa dilakukan di platform pihak ke-3, dalam hal ini GetPlus
Setelah user redeem point di platform pihak ke-3, maka semua activity yang dilakukan menjadi tanggung jawab pihak ke-3
Historia sebagai partner tidak bertanggung jawab apabila terjadi maintenance web, maintenance produk, dan atau hal - hal lainnya yang terjadi di pihak ke-3 maupun yang terjadi di Historia.id yang dapat mengganggu dalam perolehan poin user maupun dalam keterlambatan masuknya poin user
Historia sebagai partner tidak bertanggung jawab atas hilangnya Poin perolehan, dan atau perbedaan jumlah poin segala transaksi akan tercatat di dalam applikasi pihak ke-3
Historia sebagai partner tidak bertanggung jawab atas perubahan-perubahan syarat & ketentuan yang dilakukan pihak ke-3
Historia sebagai partner tidak bertanggung jawab atas data yang ada di pihak ke-3
Historia sebagai partner tidak bertanggung jawab atas redeem yang dilakukan user di pihak ke-3
Historia sebagai partner tidak bertanggung jawab atas hadiah yang disediakan oleh pihak ke-3