Pernyataan Perdana Menteri Belanda Mark Rutte di Tweede Kamer (Parlemen Belanda) tentang pengakuan kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 membawa babak baru tentang hubungan Indonesia dan Belanda. Belanda selama ini belum secara resmi mengakui kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Dalam sejarahnya, proklamasi kemerdekaan Indonesia tidak diakui secara sah oleh Belanda. Belanda menganggap bahwa Indonesia merupakan negara boneka Jepang dan Sukarno-Hatta merupakan kolaborator Jepang. Atas dasar asumsi tersebut, Belanda datang kembali ke Indonesia bersama dengan Inggris untuk merestorasi kekuasaannya di Indonesia. Belanda masih menganggap Indonesia sebagai tanah koloni miliknya, sementara Indonesia merespons bahwa Belanda telah melakukan rekolonisasi, mengintervensi secara militer dan politik kedaulatan negara merdeka yang sah.
Ada dua metode perlawanan yang dilakukan oleh Indonesia untuk melawan imperialisme Belanda: perjuangan bersenjata dan perjuangan diplomasi. Meskipun acap kali dibandingkan mana yang paling signifikan, pandangan hitam putih ala Manichean seperti itu tidak bisa diaplikasikan dalam melihat sejarah yang multidimensi dan kompleks. Masing-masing merupakan unsur yang berperan signifikan dan saling mengisi dalam proses penegakan kedaulatan Indonesia.
Roeslan Abdulgani dalam Mendajung dalam Taufan: Ichtisar dan Ichtiar Politik Luar Negeri Indonesia (1956) mengatakan bahwa kebijakan luar negeri Indonesia pada awal masa revolusi adalah ‘fighting foreign policy’. Ia merupakan upaya kebijakan di mana tujuan utamanya adalah mendapatkan dukungan internasional untuk pengakuan kemerdekaan Indonesia.
Setelah merdeka 17 Agustus 1945, Indonesia pada awalnya mengharapkan bahwa pengakuan secara resmi datang dari negara-negara Barat, seperti Amerika Serikat, yang tentu akan memperkuat legitimasi kemerdekaan Indonesia di mata dunia internasional. Namun, negara-negara Barat menutup mata terhadap proklamasi kemerdekaan Indonesia. Mereka lebih berpihak ke Belanda, mendukung restorasi tatanan kekuasaan Belanda di Indonesia.
Karena negara-negara Barat memalingkan muka, Indonesia sepenuhnya membangun kontak dan jaringan kepada ‘negara-negara baru’ di dunia Arab dan Asia. Penegakan kedaulatan Indonesia tidak bisa dilepaskan dari solidaritas dan dukungan dari negara-negara di dunia Arab dan Asia.
Ketika kemerdekaan Indonesia tidak diakui sama sekali oleh Barat, negara-negara di dunia Arab dan Asia lah yang pertama kali saling bergandengan tangan mengakui legitimasi kemerdekaan Indonesia. Pengakuan terhadap kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia justru datang pertama kali dari negara-negara di dunia Arab dan negara Asia bukan dari Barat.
Solidaritas dari Dunia Arab
Datangnya pengakuan secara de facto dan de jure dari negara-negara Arab terhadap kemerdekaan Indonesia tidak lepas dari Liga Arab. Solidaritas Liga Arab kepada Indonesia bermula dari penempaan hubungan antara mahasiswa dan pemuda Indonesia yang menetap di Kairo dan tokoh-tokoh dunia Arab. Kairo di pertengahan tahun 1940an adalah salah satu hub yang mengkoneksikan aktivitas politik dari pemimpin Islam dan anti-kolonial dari dunia Arab. Sementara itu, para mahasiswa dan pemuda Indonesia di Mesir adalah ‘diplomat informal’ Republik karena sebagai negara baru Indonesia tidak memiliki infrastruktur di luar negeri untuk mendorong kepentingannya (Fogg, 2020: 206).
Tidak lama setelah mendapat berita kemerdekaan Indonesia, para mahasiswa dan pemuda Indonesia di Mesir mendirikan Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia di bulan September 1945 dengan Mohammad Zein Hassan, mahasiswa di Kairo, sebagai pemimpinnya. Organisasi ini berupaya untuk mendapatkan pengakuan de facto dan de jure dari dunia internasional terhadap kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia; memaksa penarikan tentara Inggris dan menuntut pembubaran NICA (Netherlands Indies Civil Administration); dan menciptakan secara de facto kebebasan warga Indonesia dari perwalian Belanda di luar negeri (Hassan, 1980: 56).
Organisasi ini berupaya untuk melibatkan wakil-wakil Indonesia pada pertemuan internasional untuk mengampanyekan kepentingan Indonesia. Salah satu kampanye politik yang paling penting dalam pencarian dukungan terhadap kemerdekaan Indonesia di dunia Arab adalah pendirian Panitia Pembela Indonesia (Lajnatud Difa’i ‘an Indonesia) di bulan Oktober 1945. Di dalam organisasi ini berkumpul beberapa tokoh penting dari dunia Arab, di antaranya adalah Sekretaris Jenderal Liga Arab Azzam Pasha, mantan Menteri Pertahanan Mesir Saleh Harb Pasha, pemimpin nasionalis Tunisia Habib Bourguiba, Ketua Panitia Palestina Mohamed Ali Eltaher, dan nasionalis Aljazair Fudhail Warthalani.
Organisasi ini mengeluarkan resolusi dalam tiga bahasa (Inggris, Arab, dan Perancis) menyerukan kepada bangsa Arab dan Islam di Timur Tengah agar mengakui dan mendukung Republik Indonesia. Resolusi ini kemudian dikirim oleh pemimpin organisasi ini Saleh Harb Pasha kepada Perdana Menteri Mesir Fahmy El Nokrashy Pasha. Saleh Pasha dalam suratnya mengatakan bahwa Lajnatud Difa’i ‘an Indonesia telah mengeluarkan putusan yang ‘bermaksud menyokong bangsa Indonesia yang berjuang untuk kebebasan dan kemerdekannya’ dan alasannya adalah ‘Karena bangsa-bangsa Arab dan Islam juga mengalami apa yang dialami bangsa Indonesia – kerakusan imperialisme dan kepahitan pendudukan – dan sama-sama menuju ke alam bebas dan merdeka’ (Hassan, 1980: 65-66).
Buah dari koneksi antara orang-orang Indonesia dan tokoh Mesir yang makin erat adalah datangnya dukungan yang semakin besar dari sekretaris Liga Arab, Azzam Pasha, terhadap pengakuan kemerdekaan Indonesia. Ketika Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia meminta dukungan kepada Liga Arab di akhir 1945, Azzam Pasha mengutarakan simpatinya kepada Indonesia. Di bulan Januari 1946, Azzam Pasha menyampaikan dalam pidatonya di American University di Kairo bahwa Liga Arab akan mendukung perjuangan Indonesia, satu-satunya negara di luar dunia Arab yang disebut dalam keseluruhan pidatonya (Abaza, 1993: 11). Azzam Pasha juga mengirim pesan kepada Sir Achibald Clark Kerr yang ditunjuk sebagai utusan khusus Inggris di Indonesia untuk sengketa Indonesia-Belanda. Ia mengatakan bahwa ‘Sebagai seorang sahabat yang kagum dengan kiprah Anda selama lebih dari 20 tahun, saya dengan tulus meminta anda untuk membela keadilan dan kemerdekaan bagi rakyat Indonesia’ (Al-Djihad, 16 Maret 1946).
Berkat dukungan yang kuat dari Azzam Pasha kepada Indonesia, representasi tujuh negara di Liga Arab untuk pertama kalinya memberikan pengakuan diplomatik kepada kedaulatan Republik Indonesia pada 18 November 1946. Liga Arab adalah organisasi internasional pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia. Untuk menyampaikan resolusinya ini, Liga Arab mengirim misi diplomatik di bulan Maret 1947 ke Indonesia dengan mengirimkan Abdul Munim, Konsul Jenderal Mesir di Bombay. Setelah bermanuver menembus blokade Belanda, Munim disambut Sukarno dan Hatta di Istana Negara di Yogyakarta. Sukarno menyampaikan kepada Munim bahwa rakyat Indonesia berterima kasih kepada Liga Arab atas keputusan besar tersebut.
Pengakuan Liga Arab membuka jalan mulus pengakuan dari negara Arab lain terhadap kemerdekaan Indonesia. Di bulan Juni 1947, Mesir mengakui de jure kemerdekaan Indonesia, diikuti oleh negara-negara Arab lainnya, seperti Lebanon, Suriah, Yaman, dan Arab Saudi (Sukma,2003: 27).
Dukungan Penuh dari India
Selain dunia Arab, solidaritas dan dukungan terhadap kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia datang dari Asia, terutama India. India memiliki ikatan yang cukup kuat dengan Indonesia karena di masa interwar pemimpin nasionalis India Jawaharlal Nehru memiliki relasi dengan Mohammad Hatta, pemimpin Perhimpunan Indonesia. Mereka bertemu di Konferensi Melawan Imperialisme dan Penindasan Kolonial di Brussels tahun 1927 dan keduanya terlibat dalam kepengurusan Liga Anti-Imperialisme yang didirikan setelahnya.
Dua minggu pasca proklamasi kemerdekaan, Hatta mengirim pesan publik kepada kamerad-kamerad lamanya ‘para pemimpin pergerakan dan pejuang kemanusiaan di Kongress Bierville dan Brussels’ untuk membantu perjuangan Indonesia sekali lagi. Pesan ini dapat diinterpretasikan sebagai permintaan dukungan kepada Indonesia yang baru merdeka untuk mengoperasikan negara di masa pasca kolonial yang tidak pasti.
Ketika atmosfer Republik bertambah buruk pasca kehadiran Inggris dan Belanda di akhir September 1945, India adalah salah satu kontak awal yang dihubungi oleh para pemimpin Indonesia untuk meminta dukungan. Dalam sebuah pidato yang disiarkan oleh stasiun-stasiun radio di Jawa di awal Oktober 1945, Sukarno meminta bantuan secara khusus kepada Jawaharlal Nehru dari Indian National Congress untuk datang inspeksi ke Jawa, melihat langsung perjuangan rakyat di sana.
Nehru menyanggupi permintaan Sukarno. Ia mengatakan pada 8 Oktober 1945 ‘Jika saya dapat membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia, saya akan dengan senang hati mengunjungi Jawa meskipun saya memiliki pekerjaan yang sangat penting di India’ (New York Times, 9 Oktober 1945).
Sukarno kemudian mengirimkan surat kepada Nehru: ‘Kami didorong oleh tekad yang kuat untuk mencapai kemerdekaan. Kami berharap kepada India – terutama kepada Anda dan Indian National Congress – untuk mempublikasikan klaim kami karena kami sangat terhalang oleh kurangnya fasilitas propaganda. Tolong ambil tindakan untuk membuat dunia sadar akan perjuangan Indonesia … Indonesia membutuhkan juru bicara di hadapan opini dunia’ (The Times of India, 29 Oktober 1945).
Sayangnya Nehru tidak jadi ke Indonesia karena tidak diberikan paspor dan fasilitas pesawat oleh pemerintah Inggris. Namun, Nehru menyampaikan kepada para pejuang kebebasan Indonesia bahwa ‘Rakyat India akan mendukung tuntutan kemerdekaan Indonesia untuk merdeka dan akan memberikan semua bantuan yang mereka bisa’ (New York Times, 29 Oktober 1945).
Nehru sangat keras mengkritik negara adidaya Barat dan komunitas internasional yang diam terhadap masalah Indonesia. Perjuangan rakyat di Jawa melawan Inggris dan Belanda, menurut Nehru, semakin intens di akhir bulan Oktober 1945 dan ini menjadi ‘the acid test’ (ujian berat) bagi kebijakan PBB, dan terutama Inggris dan Amerika Serikat. ‘Sungguh luar biasa berbicara tentang kebebasan dan demokrasi serta Piagam San Fransisco, dan pada saat yang sama menekan dengan paksa gerakan kemerdekaan di Jawa’ ujar Nehru (The Times of India, 24 Oktober 1945).
Mengapa Nehru sangat kukuh mendukung kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia? Hal ini tidak bisa dilepaskan oleh worldviewnya yang melihat bahwa kemerdekaan nasional sebuah negara di Asia terikat dengan pembebasan nasional di tempat lainnya. Menurut Baladas Ghoshal (1999: 107) dalam pemikiran Nehru, India dan negara Asia lainnya tidak akan bisa mencapai kemerdekaan yang sebenar-benarnya dari Eropa jika kolonialisme tidak sepenuhnya pergi dari seluruh Asia.
Itulah yang disampaikan oleh Nehru dalam acara Southeast Asia Day di India pada 28 Oktober 1945. Berbicara di hadapan massa, Nehru mengatakan bahwa perjuangan kemerdekaan India saling terkait dengan gerakan pembebasan di negara Asia lainnya.
Sebenarnya dari India tidak hanya Nehru yang secara terbuka menujukkan solidaritasnya terhadap kedaulatan Indonesia, tapi juga para pemimpin dan aktivis dari spektrum politik yang luas, dari Islam sampai komunis. Dukungan penuh India terhadap pengakuan kemerdekaan Indonesia ditunjukkan lewat protes keras para pemimpin dan aktivisnya atas aksi agresi militer Belanda I dan II.
Pasca agresi militer Belanda ke-II dan penangkapan para pemimpin Indonesia di Yogyakarta, India bereaksi keras dengan mengorganisasikan pertemuan Asian Conference on Indonesia bersama Burma di bulan Januari 1949. Pertemuan yang dihadiri oleh 16 negara Asia dan 2 negara Afrika ini sangat penting dalam sudut pandang politik internasional. Konferensi ini menunjukkan dukungan dari negara-negara Asia dan Afrika (Mesir dan Ethiopia) terhadap Indonesia dan sebaliknya menurunkan daya tawar posisi politik Belanda di dunia internasional.
Di bulan Desember 1949, Belanda akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia. Penegakan atas kemerdekaan Indonesia bukan hanya hasil dari perlawanan nasional tetapi merupakan perwujudan dari solidaritas internasional negara-negara dunia Arab dan Asia.
Wildan Sena Utama, Dosen di Departemen Sejarah, Universitas Gadjah Mada dan Kandidat Doktor di University of Bristol. Ia menulis disertasi mengenai keterlibatan aktivis anti-imperialis Indonesia dalam gerakan-gerakan Afro-Asia 1950an-1960an dan menulis buku tentang Konferensi Asia-Afrika 1955.