"Darah sudah kau teteskan
dari bibirku
Luka sudah kau bilurkan
ke sekujur tubuhku
Cahaya sudah kau rampas
dari biji mataku"
Puisi yang termuat dalam antologi tunggal Wiji Thukul, Aku Ingin Jadi Peluru, itu berjudul “Derita Sudah Naik Seleher”. Puisi 17 baris dan bertitimangsa November 1996 itu berkait erat dengan bulan-bulan pemogokan buruh di PT Sri Rejeki Isman atau lebih akrab dengan Sritex.
Pabrik yang berlokasi di Sukoharjo, Jawa Tengah ini hanya berjarak lebih kurang 20-an kilometer dari kampung Wiji Thukul di Sorogenen, Solo. Di sanalah, Thukul mendirikan Sanggar Suka Banjir. Baca kembali puisi itu: Cahaya sudah kau rampas/ dari biji mataku.
Larik itu menegaskan satu hal, biji mata si penyair telah kehilangan cahaya karena dirampas, diambil secara paksa oleh “sesuatu”.
Jika tidak mengikuti kronik gelombang demonstrasi perburuhan 1996, kalimat erangan Wiji Thukul itu tetap menyimpan misteri tentang siapakah si “kau” yang membuat “luka ke sekujur tubuhku”, si “kau” yang “meneteskan darah dari bibir”. Dalam berbagai poster agitasi dan perlawanan yang beredar, mata kanan Wiji Thukul tampak diperban. Perban dari luka mata kanan yang ia dapatkan dari demonstrasi lebih kurang 12 ribu buruh Sritex.
Sebelum digeruduk oleh demonstrasi buruhnya sendiri, pabrik ini di masa-masa itu, antara 1993 hingga 1995, memang mendapat sorotan dari parlemen karena disinyalir terlibat dalam kredit macet yang besarnya, astaga, 1 triliun. Bayangkan, saat itu posisi rupiah masih Rp 2.000 di hadapan dollar Amerika.
Sri Bintang Pamungkas, salah satu anggota DPR Fraksi PPP paling vokal dan kritikannya kerap "tepi jurang", bersuara sangat telengas. Sri Bintang menilai, ekspansi bisnis Sritex ke urusan di luar tekstil terlalu ugal-ugalan, membuat perusahaan ini masuk dalam “daftar kredit macet” di Bank Dagang Negara (BDN) barengan dengan pabrik tekstil yang lain, Kanindotex.
Untuk menutupi borok kredit macet ini agar memiliki status “kredit kurang lancar”, pejabat pengucur kredit (BDN) diberi jabatan dalam perusahaan. Begitu juga sebaliknya. Kasus kongkalingkong ini yang membuat kepala cabang BDN Solo dipecat. Dalam situasi pabrik yang dikelola dengan cara culas dan korup oleh manajemen, buruh marah. Gerakan mereka membesar dari hari ke hari.
Lalu, meletuslah demonstrasi raksasa pada 11 Desember 1995 itu. Di sana, Wiji Thukul bersama Jaker atau Jaringan Kerja Kebudayaan terlibat langsung bersama mahasiswa yang tergabung dalam Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID). Kedua lembaga itu berafiliasi dengan PRD.
Militer mengambil tindakan brutal untuk meredam pergolakan buruh. Militer di lapangan paham, untuk menggagalkan tentu tak mungkin. Apalagi, eskalasi buruh di berbagai kota makin bulan makin menguat.
Demonstrasi 15 ribu buruh di Sritex itu dijadikan dalih melakukan penangkapan secara random terhadap aktivis-aktivis SMID di antero Jawa Tengah. Mereka dituding berada di belakang pengorganisasi massa. Termasuk, Wiji Thukul.
Di hari itu, demikian Kompas edisi 1 Juli 1996 mencatatnya, di hari saat buruh menggelar aksi mogok dan demonstrasi menuntut kenaikan upah, Wiji Thukul tertangkap. Tubuh ringkihnya itu habis-habisan digasak angkatan bersenjata. Tak pernah terlupakan oleh Wiji bagaimana kepalanya dibentur-benturkan di jip.
Kapok? Tentu tidak. Di Solo, dua hari kemudian, Wiji mendatangi DPRD Kodya Solo untuk memprotes tindakan brutal yang dilakukan aparat keamanan untuk memukul mundur buruh Sritex. Pada saat inilah, Wiji merasakan mata kanannya terus mengirimkan rasa sakit yang tak terpermanai.
Sementara itu, Wiji tahu diri ia hanya seorang aktivis, pekerja pelitur serabutan, dan pelatih tari dan teater anak-anak miskin di kampung. Istrinya pun demikian. Wiji betul-betul berada pada situasi “derita sudah naik di leher”. Jika dibiarkan, sakit dari mata kanan membuatnya limbung. Sementara, jika ke rumah sakit, dari mana uang berobatnya. Pengakuan Wiji, di dompetnya hanya ada uang 15 ribu rupiah.
Lantaran didesak oleh teman-teman di lingkaran terdekatnya, Wiji akhirnya pasrah dan terbaring di ruang operasi Rumah Sakit Mata dr. Yap Yogyakarta. Di rumah sakit yang hanya 150 meter jaraknya dari Museum Angkatan Darat Dharma Wiratama itu, mata kanan Wiji mendapatkan vonis: retina berkerut dan mengelupas.
Pada mata kanan Wiji itu, terbuka dua dunia yang bersitegang. Di satu sisi, ada dunia tentara yang menyelesaikan segalanya dengan kekerasan, yang "merampas cahaya dari biji mataku" dengan popor senjata. Di sisi lain, ada dunia dokter yang mengobati semua yang luka, semua derita tubuh akibat kekerasan dari para pemuja senjata.
Tatkala tentara melenyapkan cahaya hidup di biji mata Wiji, dokter di RSM dr. Yap berikhtiar menahan sekuat-kuatnya agar cahaya itu tak benar-benar pergi dari dunia Wiji. Dan, terbitlah kisah haru dari RSM dr. Yap ini: dokter yang menolong sakit Wiji menolak sama sekali untuk dibayar lantaran simpatiknya atas apa yang diperjuangkan Wiji.
Dari kedalaman hati dokter itu, ia melihat mata Wiji adalah mata amarah dari orang-orang yang menderita teramat sangat hidup dan nasibnya.
Sebagai ucapan terima kasih atas diangkatnya sakit dari mata kanan itu, Wiji membeli buku puisi Dari Negeri Poci II. Buku anotologi itu diserahkannya kepada sang dokter sebagai ucapan terima kasih.
Hati dokter anonim itu seperti puisi yang liris, serupa putih kapas malaikat yang dibahasakan Wiji dalam “Ternyata Masih Ada Manusia”.
Bandingkan, misalnya, puisi-puisi galak Wiji buat pemuja kekerasan dan jalan tirani seperti dalam “Sajak Suara”, “Peringatan”, maupun “Bunga dan Tembok”.
Dengan puisi-puisi galak itulah, sebulan setelah operasi penyelamatan cahaya mata kanan Wiji dilakukan, operasi perburuan besar-besaran digelar. Sasarannya adalah aktivis yang disebut perwira tinggi militer Indonesia sebagai PKI gaya baru. Anak-anak muda bengal dan keras kepala itu, “bunga-bunga” yang nekad tumbuh di tembok-tembok luar kekuasaan itu, diburu hidup atau mati. Bila perlu, saya kutipkan secara verbatim kalimat Pangdam V Jaya Mayjen TNI Sutiyoso yang kemudian menjadi headline Kedaulatan Rakyat edisi 31 Juli 1996: "TEMBAK DI TEMPAT!".
Wiji tak ada kabar. Saat satu per satu kawan-kawannya diterungku, Wiji tetap tak ada kabar.
Saat satu per satu kawan-kawanya yang diterungku itu merayakan kebebasan, Wiji tetap tak ada kabar.
Saat satu per satu kawan-kawannya yang diterungku itu merayakan kebebasan dan kemudian memilih makan sepiring dengan tentara yang sama yang memberi ultimatum "TEMBAK DI TEMPAT!", Wiji tetap tak ada kabar.
Dokter di RSM dr. Yap memang bisa menghalau perginya cahaya dari mata kanan Wiji yang ia dapatkan dari senjata tentara di Sritex, tetapi tak satu pun kekuatan yang bisa mengelakkan perginya seluruh cahaya hidup penyair pelo ini.
Sekarang, ada 30 tahun jarak cahaya mata kanan Wiji Thukul dengan kabar kukut dan terjungkatnya PT Sri Rejeki Isman atau Sritex pada 1 Maret 2025.
Perusahaan dengan “prestasi pamungkas” disinyalir terkait dalam pusaran korupsi bantuan sosial Covid-19 yang menyeret nama Gibran Rakabuming yang waktu itu masih sebagai wali kota Surakarta itu, tak berkutik dari kutukan mata kanan Wiji Thukul.
Derita sudah naik seleher
kau
menindas
sampai
di luar batas.
Itu. **
Muhidin M. Dahlan, penulis yang dikenal sebagai novelis sudah puluhan tinggal di Yogyakarta. Salah satu novel fenomenalnya, Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur, bahkan telah difilmkan. Pegiat literasi ini sudah lebih dari belasan tahun dirinya berkutat dengan arsip dan sejarah, sehingga melahirkan beberapa karya tulis yang terkait dengan sejarah.