Wajah Lain Gajah Mada
Pendapat lain wajah Gajah Mada selain versi Muhammad Yamin. Ia diarcakan sebagai Brajanata dan Bima.
Suatu hari Muhammad Yamin mengunjungi Trowulan untuk melihat jejak-jejak Kerajaan Majapahit. Saat itulah ia menemukan pecahan terakota berupa kepala pria berwajah gempal dan berambut ikal.
“Arca ini digali dekat puri Gajah Mada di Terawulan, Majapahit,” katanya.
Yamin kemudian mengidentifikasi wajah itu sebagai arca Gajah Mada. Menurutnya dalam Gajah Mada Pahlawan Persatuan Nusantara, air muka arca itu penuh dengan kegiatan yang mahatangkas. Wajahnya menyinarkan keberanian seorang ahli politikus yang berpandangan jauh.
Baca juga: Kisah Muhammad Yamin "Sang Pemecah Belah Abadi"
Arkeolog Universitas Indonesia, Agus Aris Munandar berpendapat lain soal wajah Gajah Mada. Dalam Gajah Mada Biografi Politik, ia menjelaskan arca Brajanata dan Bima sebagai dua perkembangan dari penggambaran Gajah Mada.
Kendati telah wafat pada 1364, Gajah Mada atau Mpu Mada masih dikenang oleh masyarakat Majapahit. Ia dianggap oleh masyarakat Majapahit akhir sebagai tokoh besar yang diperdewa.
“Ia dipandang sebagai dewata yang dapat dimintai pertolongan masyarakat yang sengsara akibat peperangan,” ujar Agus.
Selepas Hayam Wuruk, perang terus terjadi di Majapahit. Pada masa itu pula arca-arca perwujudan Gajah Mada terus diciptakan. Nampaknya masyarakat ingin mendatangkan kembali masa gemilang pemerintahan raja dan patihnya itu.
Gajah Mada Berwujud Brajanata
Kisah Panji, menurut Agus, menyimpan metafora kehidupan Hayam Wuruk. Penggambaran kisah Panji pertama kali ada di Candi Miri Gambar. Candi ini didirikan setelah Hayam Wuruk mati, ketika menantunya Wikramawarddhana berkuasa. Kisah ini dihiasi dengan tokoh Panji dan Brajanata, dua tokoh paling dominan dalam beberapa kisah panji paling awal.
Tokoh-tokoh utama dalam kisah Panji bisa disejajarkan dengan tokoh sejarah masa Majapahit. Misalnya Raden Panji adalah Hayam Wuruk. Ayahanda Panji, raja Keling atau Jenggala atau Koripan adalah Kertawarddhana alias Raden Cakradhara. Ibunda Panji, permaisuri raja Keling adalah Tribhuwana Wijayottunggadewi. Ibu Hayam Wuruk ini bergelar Bhre Kahuripan.
Baca juga: Majapahit dalam Kisah Panji
Sementara raja Daha adalah paman Panji. Kenyataannya, raja Daha juga paman Hayam Wuruk. Permasuri raja Daha, bibi Hayam Wuruk bergelar Bhre Daha.
Dewi Sekar Taji, putri raja Daha adalah permaisuri Raden Panji. Dalam sejarah Majapahit, permasuri Hayam Wuruk adalah sepupunya sendiri, yaitu putri Bhre Daha. Dalam Pararaton ia dijuluki Paduka Sori. Lalu kekasih Panji, Dewi Angreni bisa dipadankan putri Sunda yang tewas: Dyah Pitaloka.
Dengan banyaknya kesamaan penokohan itu, rasanya tak berlebihan jika menyamakan Raden Brajanata sebagai Gajah Mada. Ia adalah kakak Raden Panji yang berbeda ibu. Namanya disebut dalam Hikayat Panji Kuda Semirang dan Hikayat Panji Angreni dari Palembang.
Baca juga: Kisah Panji di Negeri Jiran
Peranan Brajanata mirip dengan Gajah Mada. Brajanata juga selalu mengawal Raden Panji, sebagaimana Gajah Mada dengan Hayam Wuruk. Brajanata dalam kisahnya disuruh ayah ibu Raden Panji untuk menghabisi Dewi Angreni.
“(Brajanata, red.) digambarkan tinggi besar, badan tegap, berkumis tebal, berambut ikal, mungkin merupakan ikon dari Gajah Mada,” kata Agus.
Itu sesuai dengan pendapat Poerbatjaraka dalam Tjerita Pandji dalam Perbandingan mengenai relief Panji Gambyok di Kediri. Tokoh berambut ikal dan berbadan tegap itu adalah Brajanata.
Dengan demikian, menurut Agus, arca koleksi Museum Nasional bernomor inventaris 310d dari Gunung Penanggungan yang dinamai Kertala lebih tepat jika diidentifikasi sebagai Brajanata. “Arca itu sangat mirip dengan figur pria tegap berambut keriting yang digambarkan di kanan kiri pipi tangga Candi Miri,” katanya.
Baca juga: Cerita Panji di Candi Miri Gambar
Apalagi tokoh Kertala dalam Cerita Panji hanya berperan sedikit dibandingkan dengan pengiring Panji lainnya, seperti Brajanata, Carang Waspa, atau Prasanta. “Tokoh yang diarcakan tentunya tokoh yang mengesankan, tak cukup hanya dalam relief, melainkan perlu sosok arcanya,” kata Agus.
Maka, jika Brajanata adalah ikon Gajah Mada, arca itu dapat ditafsirkan sebagai penggambaran Gajah Mada. Arca itu menampilkan sosok berbadan tegap, kumis melintang, rambut ikal berombak, di bagian puncak kepala terdapat ikatan rambut dengan pita membentuk topi tekes. Ia mengenakan busana, gelang dan kelat lengan atas berupa ular. Lingga atau bagian kemaluannya diukir menonjol.
Namun seiring waktu pandangan masyarakat berubah. Gajah Mada kemudian lebih banyak digambarkan sebagai Bima. Pada masa akhir Majapahit, pertengahan abad ke-15, banyak dibuat arca Bima yang cirinya mirip dengan arca tokoh Brajanata.
“Itu bukanlah kebetulan belaka,” kata Agus.
Gajah Mada sebagai Bima
Arkeolog Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Triwurjani menjelaskan dalam “Bima sebagai Tokoh yang Dikultuskan” termuat di Proceedings Pertemuan Ilmiah Arkeologi V, bahwa kurang lebih pada awal abad ke-15 muncul kultus terhadap tokoh Bima yang dikenal dari kisah Mahabharata. Arca Bima beberapa kali ditemukan pada bangunan suci di beberapa daerah di Jawa Timur.
Misalnya, arca Bima dari Trenggalek, Jawa Timur. Di bagian belakang arca itu terdapat inskripsi. Model tulisannya sejaman dengan prasasti yang dikeluarkan oleh Gajah Mada pada 1357.
“…Pada waktu itu… pendeta Mpu Wirata… memberikan pratistha kepada telapak…,” catat inkskripsi itu.
Menurut Triwurjani, dengan adanya kata pratistha, berarti arca itu adalah arca perwujudan. Ini disepakati oleh Agus Aris Munandar. Arca itu sesuai dengan ciri arca perwujudan masa Majapahit. Sikap arca tak memperlihatkan gerak tubuh. Kedua tangan terjulur di samping tubuh. Mata digambarkan setengah terpejam seperti sikap meditasi. Agus mengaitkan tokoh itu sebagai perwujudan Gajah Mada.
Secara fisik, arca Bima berkumis, berbadan tegap, kemaluannya menonjol dari balik kain. Ini mirip dengan arca Brajanata. Bedanya hanya tata rambut. Brajanata rambutnya menyerupai tutup kepala tekes. Bima rambutnya berbentuk supit urang. Bima juga digambarkan dengan kuku yang panjang (pancanaka).
Menurut Agus gejala itu menunjukkan ada pergeseran penggambaran Gajah Mada sebagai Brajanata ke penggambarannya sebagai tokoh Bima. “Para pemuja dan pengagum Gajah Mada mulai pertengahan abad ke-15 hingga keruntuhannya lebih menyukai mengarcakan Gajah Mada sebagai Bima daripada sebagai Brajanata,” jelasnya.
Alasannya, tokoh Bima lebih terkenal dibanding Brajanata. Tokoh Brajanata baru dikenal dalam karya sastra muda, yaitu kisah Panji. Kisah ini baru berkembang pada era Majapahit akhir. Sementara tokoh Bima sudah dikenal sejak masuknya pengaruh India dan Hindu ke Jawa. Pun tokoh Bima terkesan lebih sakral dibanding Brajanata. Bila Brajanata adalah manusia. Tokoh Bima adalah aspek Siwa yang berwujud manusia.
“Karenanya pengagum Gajah Mada lebih senang menyetarakannya dengan Bima,” jelas Agus.
Baca juga: Berkaca dari Gajah Mada
Menurut Agus, Bima punya kesamaan dengan Gajah Mada. Berdasarkan namanya, Gajah Mada, bisa dibayangkan orangnya tinggi besar dan bertenaga besar seperti gajah. Bima kebetulan mempunyai kemiripan perawakan dengan Gajah Mada.
Sebenarnya banyak juga tokoh berciri seperti itu dalam epos Mahabharata. Namun, Bima lebih punya banyak peran. Pun dia ditempatkan sebagai tokoh protagonis dalam cerita.
Dalam konsep agama, Bima juga disetarakan dengan Gajah Mada. Kitab Jawa Kuno, Brahmanda Purana, menyebut Bima sebagai aspek Siwa. Sedangkan raja-raja Majapahit seringkali disetarakan sebagai Siwa. Maka, patih amangkubhumi-nya sebagai aspek dari Sang Dewa.
Selama ini arca Bima banyak ditemukan dari masa Majapahit. Pertanyaannya siapakah yang hendak diwujudkan oleh arca itu. Dan, Agus yakin, tokoh itu adalah Sang Mahapatih Gajah Mada.
Baca juga: Bagaimana Gajah Mada Menjadi Mahapatih?
Tambahkan komentar
Belum ada komentar