Situs Purbakala Seko Nasibmu Kini
Bukan hanya punya alam nan indah, Seko kaya situs purbakala. Kondisinya memprihatinkan.
DATARAN tinggi Seko, Sulawesi Selatan masih kemarau. Udara malamnya semakin dingin, tapi siang hari panasnya menyengat. Permukaan jalannya dipenuhi gumpalan debu, amat licin.
Menyambangi Kecamatan Seko, sekitar 120 km dari kota Kecamatan Sabbang atau sekitar 150 km dari Masamba, pusat Kabupaten Luwu Utara, dan menikmati jalur untuk mencapainya ibarat memasuki ruang waktu. Sensasinya dua bidang: peradaban modern dan daerah terisolir. Wilayah yang dikenal pula sebagai kawasan To Kalekaju ini dikurung Pegunungan Quarles dan diapit Pegunungan Verbeek. Di sinilah peradaban modern –masa neolitikum– di Sulawesi bermula.
Bersama 15 orang dari tim Kajian Delineasi Situs Seko, Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, saya menyambanginya pada 3 Oktober 2018 untuk menemukan dan mengenali situs masyarakat. Garisnya dari Kalumpang di Mamuju Sulawesi Barat, menanjak menuju Seko dan Rampi di Sulawesi Selatan dan menukik kembali ke lembah Lore di Sulawesi Tengah.
Baca juga: Hilangnya Rumah Komunal di Sulawesi
Ini adalah kampung cantik dengan warga yang ramah dan rumah adat mengagumkan. Sayang, rumah adat itu hanya beberapa yang bertahan. Di Kampung Singkalong dan Eno, masing-masing terdapat satu buah rumah panggung dengan umpak batu menawan. Dengan fondasi batu, bangunan itu disangga tiang-tiang kayu bulat yang diletakkan di atas batu dan dipahat mengikuti posisi batu.
Sepintas, bangunan itu tampak rapuh. Tapi ketika gempa berkekuatan 7,4 Skala Richter menghantam Palu dan Donggala pada akhir September 2018, di mana wilayah Seko ikut terdampak, tak ada bangunan yang rusak dan tak ada korban jiwa. Rumah umpak batu malah mengayun seakan memiliki shockbreaker.
Jembatan bambu akses menuju Seko. (Eko Rusdianto/Historia).
Situs-situs yang terabaikan
Seko kini sedang dikepung delapan perusahaan pemilik HGU (Hak Guna Usaha). Data dari kantor Kecamatan Seko menunjukkan delapan perusahaan itu akan bergerak di bidang perkebunan, pertambangan, hingga energi. Konsesi itu bakal merebut sawah hingga kebun warga.
Tak hanya mengancam lahan penghidupan warga, konsesi juga mengancam puluhan situs yang berada dalam area konsesi. Hanya situs Bongko yang relatif aman karena menjadi perkecualian lantaran dianggap sebagai kampung tua masyarakat Eno. PT Seko Fajar, yang sejak 1980-an memegang izin perkebunan teh, mengeluarkannya seluas 60 ha.
Tapi situs-situs yang lain tinggal menunggu waktu. Situs Hatu Lalian, yang berdampingan dengan pagar bandara, bahkan teronggok di antara ilalang rapat. Situs ini adalah umpak batu berjumlah empat buah yang berada di bukit kecil. Di bawahnya, hamparan sawah.
Baca juga: Misteri Tulang Manusia di Gua Pattiro
Segaris dengan Laliang, terdapat Issong Batu (Kalamba). Situs dipercayai sejarawan Inggris Ian Caldwell pada 1992 sebagai artefak yang dibawa masyarakat dari Lembah Bada. “Tidak seperti itu. Itu dibuat oleh Talammia (disebut juga Talambia),” kata Abraham Taburu (50 tahun) Tobara Hono ke-21.
Tobara adalah gelar dari masyarakat yang diberikan pada seorang pemimpin adat (komunitas). Seko punya sembilan wilayah adat yang disahkan Pemerintah Daerah Kabupaten Luwu Utara. Pemimpin komunitas-komunitas adat itu memiliki gelar tersendiri: To Bara, To Makaka, dan To Kei. Para pemimpin komunitas itu dipilih berdasarkan kekerabatan dan keturunan.
Bagi Abraham, Laliang dan Issong Batu adalah milik Talammia yang dibuat sendiri olehnya. Talammia diceritakan sebagai seorang yang sangat besar. Tingginya tak bisa diprediksi, namun bisa diilustrasikan saat Talammia meletakkan kakinya di badan sungai, kaki itu digunakan orang-orang untuk menyeberang.
Laliang juga dipercaya sebagai dapur tempat sang raksasa memasak. Sementara, Issong Batu adalah tempatnya menumbuk padi. Jarak antara dua situs ini sekitar dua kilometer. “Nah tempat makannya itu ada di dekat sungai, jadi kalau bersandar punggungnya ada di gunung,” kata Abraham.
Baca juga: Alat Batu, Teknologi Pertama Manusia
Laliang adalah situs yang sepi. Pada ujung batunya ada noda hitam karena lelehan aspal ketika bandara sedang renovasi mengganti landasan pacu dari rumput menjadi aspal. Umpak batu itu dijadikan tungku memasak aspal. Tak ada warga keberatan. Bahkan beberapa warga Seko sendiri yang menjadi buruh harian ikut melakukan aksi itu.
Situs Kalaha Kammuttu (Batu Dakon) yang berada di bukit ilalang di Kampung Lodang, sekitar 30 km dari Eno, juga mengalami nasib serupa. Tak ada penanda yang menunjukkan keberadaannya. Kalaha berada di pinggir jalan setapak yang menguhubungkannya ke sebuah sungai yang sedang dalam pengerjaan poryek irigasi. Situs itu berkali-kali dilindas alat berat. Bahkan warga yang melintas tak segan menapakinya.
Situs lain, Lingku, kondisinya juga tak terawat dan ditumbuhi rerumputan. Lingku dipercaya masyarakat Lodang sebagai tempat kelahiran anak seratus. Menurut Tobara Lodang Nasrullah Kande (50), pada masa lalu Lingku dihuni seorang pasangan yang memiliki 100 anak.
Lingku berada di bukit kecil yang dikelilingi persawahan yang masuk dalam areal HGU Seko Fajar. Untuk mencapainya, harus melompati parit selebar dua meter, lalu membungkuk menyelinap di antara ilalang. Penanda situs ini hanyalah batu berdiameter 50 cm. “Ini anak tangga untuk naik ke rumah anak 100 itu,” kata Nasrullah.
Tinggalan lain yakni Situs Bata’, berupa batu monolit yang tertancap di tengah rawa di sisi jalan utama Lodang menuju Eno. Situs ini pernah jatuh. Atas inisiasi sebuah lembaga swadaya masyarakat, situs ini digotong warga ke tempat asalnya dan ditancapkan menggunakan cor semen.
Bata’ dikisahkan sebagai jelmaan dari ari-ari kerbau milik orang bernama Tabuke. Ketika kerbaunya melahirkan, Tabuke membawa ari-arinya dalam sebuah wadah karena berpindah tempat gembala. Namun, ketika wadah itu terbuka, ari-ari tersebut malah bertumbuh panjang dan menjadi batu.
Akhirnya, ari-ari yang menjadi batu itu menjadi penanda untuk tempat gembala. Menurut Nasrullah, air di sekitar situs rasanya asin dan itu menjadi kesukaan ternak. Tapi, itu sepertinya hanya folklore. Ketika saya mencoba air itu, rasanya tawar.
Situs lainnya, benteng Tammatang, berada di punggung bukit dan diapit dua sungai. Di tempat ini, ilalangnya sudah menghitam bekas pembakaran. Ada banyak batuan yang tersebar, tanpa pola. Nasrullah percaya, batu-batu itu adalah umpak batu. “Di sini, rumah orang dulu. Ada pemimpin kami namanya Tabolle. Dia membangun benteng dan menghalau para penyusup. Termasuk meredam pasukan dari Datu Luwu,” katanya.
Baca juga: Wallanae, Sungai Purba di Sulawesi Selatan
Tabolle punya keahlian pedang cukup mengagumkan. Dan memiliki istri dengan paras cantik. Datu Luwu jatuh cinta pada sang istri, dan menggunakan berbagai macam strategi untuk merebutnya. Tabalolle melawan dan beberapakali memukul mundur pasukan Luwu.
Pasukan Luwu akhirnya membuat siasat menggali lubang dan menanamkan duri di dasarnya. Ketika Tabolle menyerang, dia terjatuh ke lubang itu dan menemui ajalnya. Sang istri jadi tawanan. Namun, di antara jalan sempit dan jurang yang dalam di tempat bernama Mangkaluku, istri Tabolle melompat dan menjatuhkan Datu Luwu beserta beberapa pengawalnya.
“Jadi Seko (maksudnya Lodang, red.) tak pernah dikalahkan Luwu dalam perang, tapi dalam strategi,” kata Nasrullah.
Dalam beberapa tradisi tutur masyarakat Seko, hubungan dan pengaruh Luwu cukup terasa. Luwu adalah kerajaan yang menundukkan wilayah itu. Jika tak ada penundukkan oleh Luwu, kawasan itu mungkin tak bernama Seko.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar