Silsilah Penguasa untuk Berkuasa
Raja-raja Jawa mengungkit silsilah leluhurnya bahkan sebagai titisan dewa untuk melegitimasi kekuasaannya.
DALAM pidatonya di hadapan kader Partai Demokrat di Stadion Redjoagung Tulungagung, Jawa Timur, Minggu 25 Februari 2018, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengaku keturunan Raden Wijaya, pendiri Majapahit. Raja-raja Jawa di masa lalu juga melakukannya untuk melegitimasi kekuasaannya.
“Ini jadi penting karena bisa digunakan untuk legitimasi diri,” ujar Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah di Universitas Negeri Malang, ketika dihubungi Historia.
Meraih kekuasaan dengan menunjukkan diri sebagai keturunan penguasa adalah cara berpikir monarkis. Pada era kerajaan, kesultanan, keraton maupun kasunanan, kekuasaan diperoleh melalui hubungan keluarga. “Ini sudah tradisi sejak masa lalu,” kata Dwi.
Pada masa kerajaan Hindu-Buddha, seorang raja bahkan melegitimasi diri sebagai titisan dewa, biasanya Dewa Wisnu atau Dewa Siwa. Misalnya, Dyah Balitung, raja Medang atau Mataram Kuno pada abad 9, mengaku titisan Dewa Rudra, salah satu aspek dari Dewa Siwa. Istilahnya, dalam Prasasti Wanua Tengah III (908), disebut Rudramurti.
Dwi menjelaskan, dalam prasasti yang dikeluarkannya, Prasasti Mantyasih (907), Dyah Balitung juga menarik urutan raja-raja pendahulunya hingga Sanjaya, raja pertama Mataram Kuno dari Dinasti Sanjaya. “Ada kemungkinan Balitung naik takhta bukan sebagai putra raja terdahulu, tapi dia menantu dengan mengawini putri mahkota,” ujar Dwi.
Balitung, kata Dwi, pun memberikan anugerah kepada orang-orang yang berjasa dalam pernikahannya. Hal ini penting untuk mengingatkan khalayak bahwa dia menantu, tetapi tetap memiliki trah panjang raja-raja terdahulu.
Riboet Darmosoetopo, epigraf Universitas Gajah Mada, menjelaskan pula bahwa Daksa, saudara ipar Balitung, tanpa alasan jelas diangkat sebagai hino, sebutan untuk putra mahkota. Daksa kemudian menggantikan Balitung setelah dia turun takhta.
Untuk memperkuat kedudukannya, Daksa membuat perhitungan tahun yang berpangkal pada peristiwa penting Raja Sanjaya. Tahun itu disebut Tahun Sanjaya. “Secara tak langsung dia menyatakan masih keturunan Sanjaya,” tulis Riboet dalam Sima dan Bangunan Keagamaan di Jawa Abad IX-X TU.
Begitu pula raja berikutnya, Tulodong. Dia mempergunakan nama abhiseka (gelar penobatan) untuk menyatakan diri sebagai wakil dewa di dunia: Rakai Layang Dyah Tulodong Sri Sajjanasanmatanuragatunggadewa.
Raja Airlangga juga begitu. Dalam Prasasti Pucangan (1041), dia membeberkan silsilahnya hingga Mpu Sindok, raja Medang Kamulan. Dia naik takhta di Medang melalui pernikahan dengan putri Dharmawangsa Tguh, raja terakhir Medang Kamulan. “Sebenarnya ibunya (Airlangga, red.) punya hak atas takhta di Jawa, tapi dia tidak naik dan menikah dengan Udayana di Bali,” jelas Dwi.
Hayam Wuruk, raja terbesar Majapahit, bahkan sampai memugar 27 pendharmaan leluhurnya. Salah satunya Candi Kagenengan di mana Ken Angrok didharmakan.
“Dalam membangun silsilahnya, dia (Hayam Wuruk, red.) tidak hanya keturunan Raden Wijaya (Majapahit, red.), tapi juga Singhasari yaitu Ken Angrok,” lanjut Dwi.
Selain memugar, Hayam Wuruk pun menziarahi candi-candi leluhurnya. Menurut Dwi, apa yang dilakukan Hayam Wuruk mirip dengan kebiasaan penguasa masa sekarang, yaitu berziarah ke makam leluhur. “Ini gambaran bagaimana kesadaran trah atau silsilah sudah tergambar pada masa Hayam Wuruk dengan menapak tilas tempat-tempat pendharmaan leluhurunya,” kata Dwi.
Pada era kesultanan, pengabsahan kekuasaan malahan tak tanggung-tanggung. Silsilah sang penguasa dibuat dari dua sisi yang disebut trah mangiwo dan manengen. “Tidak hanya dicari satu jalur saja tapi dua jalur. Jika dua-duanya kuat maka nilai keabsahannya sangat kuat,” lanjut Dwi.
Trah manengen mengurutkan silsilah seseorang hingga era kenabian. Di Jawa, sering kali dalam suatu silsilah ditemukan nama nabi yang tidak begitu dikenal, misalnya Nabi Sis.
“Banyak keluarga di silsilah manengen, turun ke dirinya lewat Nabi Sis, baru turun lagi ke penguasa di Jawa termasuk penguasa Demak, Raden Patah,” jelas Dwi.
Sementara trah mangiwo, silsilahnya diurutkan sampai tokoh-tokoh pewayangan hingga Parikesit, yaitu keturunan Pandawa terakhir. “Biasanya dibuka dengan tokoh yang pertama kali membuka Pulau Jawa, lalu lewat raja-raja Jawa, sampai ke dirinya. Raja-raja Jawa ini dilewati dalam mangiwo dan manengen, pucuknya saja berbeda, yang satu kenabian, yang satu pewayangan,” ujar Dwi.
Menunjukkan pada khalayak kalau dirinya adalah bangsawan, keturunan penguasa masih dijumpai sampai sekarang. Di rumah-rumah Jawa, khususnya, dijumpai beberapa benda yang menunjukkan hal itu.
Di atas pintu utama sering dipajang foto atau lukisan seseorang yang menjadi pangkal trah kebangsawanannya, bisa pejabat daerah maupun raja. Di pojok kiri ditempatkan tombak atau payung untuk menyatakan dirinya masih berhubungan dengan keraton atau keluarga bangsawan. Di pojok lainnya, ditemukan silsilah yang dipigura. Isinya cikal bakal si pemilik rumah.
“Sebagai bukti dia masih punya garis panjang ke atas yang berkaitan dengan darah biru. Istilahnya trahing kusuma rembesing madu. Dia punya trah bunga yang madunya masih merembes sampai ke dirinya,” jelas Dwi.
Sesungguhnya merunut silsilah yang begitu panjang tak mudah. SBY misalnya yang merunut hingga ke masa Raden Wijaya. Sampai saat ini sudah terpaut 725 tahun sampai ke masa pendiri Majapahit itu berkuasa. Paling tidak sudah ada puluhan generasi berganti sampai SBY lahir hingga menjadi presiden dan ketua umum Partai Demokrat.
“Apakah memang (silsilah SBY, red.) dipas-paskan atau memang begitu, saya tidak tahu. Verifikasinya kan susah,” lanjut Dwi.
Meski bukan lagi era monarki, nyatanya tradisi semacam itu masih muncul. Menunjukkan diri sebagai keturunan penguasa besar, apalagi Majapahit, kerajaan dengan nama besar, mungkin bisa menjadi alat promosi dan legitimasi sebagaimana yang terjadi pada masa lalu. “Silsilah ini berkaitan dengan sejarah. Biasanya memang di era kontestasi politik, sejarah menjadi laku. Khususnya untuk bumbu legitimasi,” pungkas Dwi.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar