Sepuluh Fakta di Balik Pembangunan Jalan Daendels dari Anyer ke Panarukan
Jalan Anyer-Panarukan membentang dari ujung barat sampai ujung timur Jawa. Memakan ribuan korban, namun menjadi jalur penting hingga sekarang.
Herman Willem Daendels menjadi gubernur jenderal Hindia Belanda selama tiga tahun (1808-1811). Dalam waktu relatif singat itu, dengan tangan besinya berhasil membangun di berbagai bidang, baik untuk kepentingan ekonomi maupun pertahanan karena ditugaskan mempertahankan Pulau Jawa dari serangan Inggris. Namun, pembangunan monumental dan melekat padanya adalah Jalan Anyer-Panarukan atau Jalan Raya Pos yang panjangnya mencapai seribu kilometer.
Kendati menyebut proyek Jalan Anyer-Panarukan sebagai genosida karena menelan ribuan korban, sastrawan Pramoedya Ananta Toer mengakui, dibandingkan pada masanya jalan itu sama dengan jalan Amsterdam–Paris. Pembangunannya yang hanya setahun (1808-1809) satu rekor dunia pada masanya.
“Sejak dapat dipergunakan pada 1809 telah menjadi infrastruktur penting, dan untuk selamanya,” tulis Pram dalam Jalan Raya Pos, Jalan Daendels.
Berikut ini 10 fakta yang belum banyak diketahui orang tentang pembangunan Jalan Anyer-Panarukan.
1. Nol (0) Kilometer Anyer-Panarukan
Di sekitar Mencusuar Anyer yang terletak di Desa Tambang Ayam, Kecamatan Anyer, Serang, Banten, terdapat tapal yang menandai titik awal pembangunan Jalan Anyer-Panarukan. Tidak diketahui pasti siapa dan kapan pembuatannya. Sejarawan Universitas Indonesia, Djoko Marihandono, merasa heran dengan tapal tersebut. “Saya masih mempertanyakan nol kilometer yang ada di Anyer Banten sebagai titik awal pembangunan Anyer-Panarukan,” kata Djoko kepada Historia.
Selain itu, Djoko yang menulis disertasi tentang sentralisasi kekuasaan Daendels di Universitas Indonesia pada 2005, juga merasa prihatan karena dalam tapal tersebut “tahunnya saja salah.” Pada tapal persegi empat itu tertulis: “0 KM Anjer-Panarukan 1806 AKL.” Padahal, Daendels baru mendarat di Anyer pada 5 Januari 1808.
Baca juga: Daendels Hukum Mati Pelaku Korupsi
Dari Anyer ke Batavia, Daendels menempuh perjalanan selama empat hari. Pada musim hujan, jalan-jalan itu tidak layak dilewati. Sementara jalur laut tidak mungkin dilaluinya karena ancaman armada Inggris yang sudah mengepung pulau Jawa. Rute jalan Anyer-Batavia (Anyer-Cilegon-Serang-Tangerang-Batavia) sudah ada sebelumnya. Sehingga Daendels hanya memerintahkan untuk memperkeras dan memperlebarnya. Setelah diperkeras dan dilebarkan, Anyer-Batavia dapat ditempuh dalam waktu sehari.
“Pekerjaan ini mudah saja karena medannya datar. Hambatan hutan-belantara sepanjang lebih kurang 40 km dapat diatasi tanpa kesulitan berarti. Demikian juga dengan ruas jalan Batavia-Buitenzorg (Bogor),” tulis Pram.
2. Kepentingan Ekonomi, Lalu Militer
Menurut Pram, bukan kebetulan bila Daendels memerintahkan pembangunan jalan Anyer-Batavia sebagai prioritas utama. Dengan adanya jalan ini secara teoritis tentaranya akan segera dapat didatangkan dari Batavia bila Inggris menyerbu.
Namun, menurut Djoko, pembangunan jalan Anyer-Panarukan lebih termotivasi oleh kepentingan ekonomi, selanjutnya militer. “Daendels mengeluarkan besluit (keputusan) bahwa tujuan pembangunan jalan itu untuk dua kepentingan, yaitu membantu penduduk dalam mengangkut komoditas pertanian ke gudang pemerintah atau pelabuhan dan untuk kepentingan militer. Tapi, dia mendahulukan kepentingan pertama karena memang daerah di sekitar Bogor sangat subur dan menguntungkan bagi pemerintah kolonial. Namun, jalan dari Batavia hanya sampai Cisarua, dari Cisarua hanya jalan kecil, banyak belokan, dan sebagainya,” ujar Djoko.
Selain mempertahankan Jawa dari Inggris, Daendels juga harus mendanai pemerintahannya terlebih bisa setor ke kas pemerintah di Belanda. Dan komoditas andalannya adalah kopi yang ditanam di Priangan.
Baca juga: Kebijakan Daendels terhadap Tanaman Kopi
Daendels memang berhasil mengamankan jalur hubungan antara Bogor dan Batavia sebagai pelabuhan produk-produk ekspor. Setelah Inggris memblokade jalur ke pelabuhan Batavia, dia mencari alternatif pelabuhan lain yaitu di Cirebon dan Tegal. Namun, pengangkutan kopi dari Bogor lewat Batavia menuju Cirebon terkendala pemberontakan Bagus Rangin yang berkobar di Cirebon karena penetrasi ekonomi Tionghoa dan pembuangan Sultan Kanoman oleh VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur).
Dari hasil pemantauannya, Daendels mendapati jalan yang ada antara Bogor-Cirebon hanya sebatas jalan kecil dan tidak memungkinkan untuk pengangkutan komoditas dalam jumlah besar. Dia kemudian menugaskan komandan pasukan zeni Kolonel von Lutzow untuk melakukan pemetaan jalur Bogor-Cirebon. Hasilnya, jalur pembangunan Bogor-Cirebon yang akan ditempuh: Cisarua-Cianjur, Cianjur-Rajamandala, Rajamanadala-Bandung, Bandung-Parakanmuncang, Parakanmuncang-Sumedang, dan Sumedang-Karangsembung. Sebagian besar proyek pembangunan jalan raya ini ditujukan untuk memperbaiki dan menghubungkan jalan-jalan desa yang telah ada.
3. Kerja Upah
Daendels memutuskan pembangunan jalan Bogor-Cirebon yang berjarak 150 km pada 25 April 1808 dan pengerjaannya dimulai awal Mei 1808. “Dalam membuat jalan yang sulit dan menembus gunung-gunung tinggi ini dikerahkan 1.100 tenaga kerja paksa,” tulis Pram.
Namun, menurut Djoko, pekerjaan pembuatan jalan raya Bogor-Cirebon dilakukan atas dasar kerja upah karena Direktur Jenderal Keuangan Van Ijsseldijk menyiapkan dana untuk upah pekerja dan mandor, peralatan, dan konsumsi atau ransum. “Untuk membangun jalan dari Cisarua, Bogor sampai Cirebon, Daendels menyediakan dana sebanyak 30.000 ringgit ditambah dengan uang kertas yang begitu besar,” kata Djoko.
Baca juga: Aksi Jenderal Salon Pengganti Daendels
Pemberian upah didasarkan pada beratnya lokasi yang ditempuh seperti batuan padas, hutan lebat, lereng bukit atau gunung, keterjalan lokasi dan sebagainya. Rinciannya antara lain rute Cisarua-Cianjur (10 ringgit perak per orang/bulan), Cianjur-Rajamandala (4 ringgit perak per orang/bulan), Rajamanadala-Bandung (6 ringgit perak per orang/bulan), Bandung-Parakanmuncang (1 ringgit perak per orang/bulan), Parakanmuncang-Sumedang (5 ringgit perak per orang/bulan), dan Sumedang-Karangsembung (4 ringgit perak per orang/bulan). Selain upah, para pekerja juga mendapatkan beras dan garam.
“Sistem pembayarannya, pemerintah memberikan dana kepada para prefek (jabatan setingkat residen) lalu diberkan kepada para bupati. Ini buktinya ada. Sedangkan dari bupati ke para pekerja, tidak ada buktinya. Bisa jadi ada tapi belum saya temukan. Apakah para bupati membayarkannya atau tidak kepada pekerja, itu urusan lain. Jadi bukan kerja paksa karena diberi upah,” ungkat Djoko.
4. Pekerja dari Luar Bogor-Cirebon
Rincian pekerja untuk pembangunan jalan Bogor-Cirebon antara lain Cisarua-Cianjur (400 orang), Cianjur-Rajamandala (150 orang), Rajamanadala-Bandung (200 orang), Bandung-Parakanmuncang (50 orang), Parakanmuncang-Sumedang (150 orang), dan Sumedang-Karangsembung (150 orang). Perbedaan jumlah pekerja tersebut disesuaikan dengan panjangnya jalan dan beratnya medan.
“Sebagian besar para pekerja tersebut dikerahkan dari luar daerah Bogor-Cirebon, terutama dari Jawa karena penduduk sekitar sudah diberikan tugas untuk meningkatkan produksi kopi,” kata Djoko.
Baca juga: Rezim Kopi di Priangan
Daendels menaruh perhatian besar terhadap kopi sampai-sampai dia mengangkat inspektur jenderal khusus tanaman kopi yang dijabat oleh Von Winckelman. Selain kopi, dia juga memperhatian padi. Kendati bukan komoditas ekspor, padi sangat diperlukan untuk menjamin pasokan pangan bagi masyarakat terutama di kota-kota besar seperti Batavia dan Surabaya.
Oleh karena itu, menurut Pram, Daendels memerintahkan pembangunan jalan Bogor-Cirebon sehabis panen kopi dan padi. Jauh sebelumnya wajib tanam kopi (koffie stelsel) telah dikenakan di Priangan dan harus menjualnya kepada Kompeni untuk membiayai pemerintahannya. “Priangan paling cocok tanaman kopi. Dan untuk melancarkan perekonomian Kompeni, jalan ekonomi perlu ditingkatkan. Digabungkan dengan keperluan pertahanan, jalan ekonomi juga dibuat jadi prasarana militer,” tulis Pram.
5. Di Bawah Pimpinan Militer
Mulanya proyek jalan Bogor-Cirebon ini akan diserahkan kepada Komisaris Urusan Pribumi, namun Daendels menyadari medannya tidak mungkin bisa ditangani oleh pekerja biasa. Peralatan yang dibawa para kuli tidak memadai, terlebih banyak batuan padas di lereng-lereng bukit sehingga tidak mungkin bisa dihancurkan dengan peralatan pertukangan. Selain itu, para pekerja juga terancam binatang buas.
Oleh karena itu, Daendels memutuskan proyek ini akan ditangani oleh militer dengan penanggungjawab Kolonel von Lutzow. Komandan zeni ini bertanggungjawab menyediakan peralatan dan persenjataan berat seperti meriam untuk meruntuhkan batuan-batuan padas maupun alat pengangkutnya.
6. Dimulainya Kerja Wajib
Setibanya di Karangsembung, timbul persoalan. Selain dana habis untuk membayar pekerja maupun untuk perbaikan dan perawatan jalan, sebagian dari tanah-tanah di sekitar Karangsembung yang akan dijadikan jalan, milik Sultan Cirebon. Daendels kemudian menekan Sultan agar menyerahkan tanahnya demi kepentingan pembangunan jalan. Sultan membebaskan tanahnya karena Daendels menjanjikan jalan itu bisa digunakan untuk mengangkut kopi yang juga memberikan pemasukan kepada Sultan. Namun, menurut Pram, residen Cirebon sendiri juga “mengajukan permohonan agar pekerjaan diteruskan melewati karesidenannya. Selanjutnya demikian pula halnya dengan Residen Pekalongan. Dan jalan Raya Pos pun semakin panjang, hanya sekarang memantai.”
Baca juga: Polisi Khusus Bentukan Daendels
Untuk menyiasati kehabisan dana, Daendels mengumpulkan semua penguasa pribumi termasuk para bupati di Jawa Tengah dan Jawa Timur, di rumah residen Semarang. Dia menyampaikan maksudnya untuk melanjutkan pembangunan jalan raya dari Cirebon sampai Surabaya. Daendels meminta kepada mereka agar menyediakan tenaga kerja dengan menggunakan sistem kerja yang berlaku pada masyarakat yaitu heerendiensten, kerja wajib untuk raja.
“Prinsip kerja wajib itu karena penduduk menempati tanah milik raja, maka wajib hukumnya untuk memberikan upeti kepada raja. Ini dipakai oleh Daendels untuk memerintahkan para bupati agar mengerahkan penduduknya untuk bekerja,” kata Djoko.
Jalur Cirebon-Surabaya yang akan ditempuh di sepanjang pantai utara Jawa dengan pertimbangan bahwa semua itu adalah tanah-tanah pemerintah, sehingga tidak akan mengganggu wilayah raja-raja pribumi. Atas kesediaan para bupati, proyek penggarapan jalan itu dilanjutkan.
7. Mengapa ke Panarukan?
Ketika berkunjung ke Surabaya pada awal Agustus 1808, Daendels melihat bahwa jalan dari Surabaya perlu diperpanjang ke timur. Tujuannya bahwa wilayah Ujung Timur (Oosthoek) merupakan daerah yang potensial bagi produk tanaman tropis selain kopi, seperti gula dan nila. Di samping itu ada kemukinan perairan di sekitar selat Madura memberikan peluang bagi pendaratan pasukan Inggris. Untuk itu, dia memerintahkan F. Rothenbuhler, pemegang kuasa (gesaghebber) Ujung Timur sebagai penanggungjawab pembangunan jalan Surabaya sampai Ujung Timur yang dimulai pada September 1808.
Baca juga: Alasan Jalan Daendels Berakhir di Panarukan
Titik akhir jalan di Ujung Timur terletak di Panarukan, dan tidak dibangun hingga Banyuwangi. Pertimbangannya Banyuwangi dianggap tidak memiliki potensi sebagai pelabuhan ekspor. Sedangkan Panarukan dipilih karena dekat daerah lumbung gula di Besuki dan dengan tanah-tanah partikelir yang menghasilkan produk-produk tropis penting.
8. Tonggak atau Paal
Daendels telah memerintahkan pembangunan jalan dari Ujung Barat (Anyer) sampai Ujung Timur (Panarukan) yang jaraknya mencapai 600 paal (1 pal = 1,5 km) atau hampir 1.000 kilometer. Direncanakan jalan ini mencapai lebar dua roed (1 roed = 3,767 m2) atau jika medan memungkinkan lebarnya 7,5 meter. Setiap 400 roed (1 roed = 14,19 meter) harus dibuat satu tonggak (paal). Menurut Pram, setiap jarak 150,960 meter harus didirikan tonggak untuk jadi tanda jarak dan juga tanda kewajiban bagi distrik (kawedanaan) dan penduduknya untuk memeliharan jalan tersebut.
“Jalan-jalan yang sudah selesai diberi tanda dengan ukuran paal. Makanya di daerah-daerha yang dilewati jalan ini kebanyakan namanya berawalan Pal seperti Pal Merah, Pal Meriam, Pal Sigunung,” kata Djoko.
9. Peraturan Jalan Raya Pos
Setelah Jalan Anyer-Panarukan selesai, Daendels mengeluarkan tiga peraturan terkait dengan pengaturan dan pengelolaan jalan raya ini. Peraturan pertama dikeluarkan pada 12 Desember 1809 berisi aturan umum pemanfaatan jalan raya, pengaturan pos surat dan pengelolaannya, penginapan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan kereta pos, komisaris pos, dinas pos dan jalan. Peraturan kedua keluar pada 16 Mei 1810 tentang penyempurnaan jalan pos dan pengaturan tenaga pengangkut pos beserta gerobaknya. Peraturan ketiga tanggal 21 November 1810 tentang penggunaan pedati atau kereta kerbau, baik untuk pengangkutan barang milik pemerintah maupun swasta dari Jakarta, Priangan, Cirebon, sampai Surabaya.
10. Genosida Daendels
Pembangunan Jalan Anyer-Panarukan hingga kini masih menjadi perdebatan. Di satu pihak pembangunan Jalan Raya Pos itu sangat dipuji, tetapi di lain pihak juga dicaci karena mengorbankan banyak nyawa manusia.
Pram menegaskan bahwa pembangunan Jalan Anyer-Panarukan adalah salah satu genosida dalam sejarah kolonialisme di Indonesia. “Menurut sumber Inggris hanya beberapa tahun setelah kejadian Jalan Raya Pos memakan korban 12.000 orang,” tulis Pram.
Baca juga: Genosida VOC di Pulau Banda
Menurut Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya Jilid 1, musuh-musuh Daendels membandingkan pembangunan Jalan Anyer-Panarukan dengan Piramida Mesir. Dampak jalan raya itu ternyata jauh melampaui perkiraan Daendels. Jalan ini telah memenuhi harapan Daendels sebagai sarana ekonomi kolonial. Meski tidak memungkinkan untuk menahan pendaratan Inggris, namun jalan ini mengubah secara besar-besaran kondisi ekonomi dan kehidupan di Jawa. Jalan ini mempersingkat waktu tempuh: Batavia-Surabaya dapat ditempuh dalam lima hari; pengiriman pos Batavia-Semarang hanya memerlukan 5-6 hari, sebelumnya memakan 14 hari di musim kemarau atau tiga minggu sampai sebulan di musim hujan. Jalan ini memunginkan pengembangan dan komersialisasi produk-produk perkebunan. Jalan ini juga menciptakan sebuah kelompok sosial penting, yaitu kaum pedagang perantara. Terakhir dan terutama, jalan raya ini menimbulkan pergerakan penduduk yang berpengaruh ke segala bidang.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar