Ranggalawe Melawan Majapahit
Ikut mendirikan Majapahit, Ranggalawe kemudian berontak karena jabatan patih amangkubhumi diberikan kepada orang lain.
RANGGALAWE, adipati Tuban, memprotes keputusan Raden Wijaya, raja Majapahit, memilih Nambi sebagai patih amangkubhumi. Dia merasa dirinya atau Lembu Sora lebih pantas. Inilah yang mengawali rentetan pemberontakan di awal berdirinya negara Wilwatikta.
Sebelumnya, Wijaya membagikan jabatan tinggi kepada rekan-rekan seperjuangan yang setia mendampinginya dalam pelarian dari tentara Jayakatwang. Sebagian nama pengikut Kertarajasa itu dijumpai dalam beberapa prasasti.
Prasasti Kudadu (1294 M) menyebut Wiraraja sebagai mantri mahawiradikara. Prasasti Sukamrta (1296 M) menyebut Mpu Tambi (Nambi) sebagai rakryan mapatih, lebih tinggi dari Mpu Sora sebagai rakryan apatih di Daha.
Sedangkan Kidung Ranggalawe menyebut Ranggalawe sebagai amanca nagara di Tuban dan adipati di Datara. Tokoh yang memimpin pasukan Singhasari ke Malayu menjadi panglima perang dan mendapat nama Kebo Anabrang.
Namun, Kidung Harsawijaya menyebut Ranggalawe sebagai patih amangkubhumi, Nambi sebagai demung, dan Sora sebagai tumenggung. Padahal, Ranggalawe berseteru dengan Majapahit justru karena tak dipilih menjadi patih amangkubhumi.
Ranggalawe mengatakan kepada Wijaya bahwa Nambi tak lebih gagah berani dan perwira dibanding dirinya. Dia juga merasa lebih berperan dalam membantu Wijaya mendirikan Majapahit.
“Dia (Nambi, red.) mengecewakan, bodoh, lemah, rendah budi, penakut, tanpa perbawa. Pasti dia akan memerosotkan kedudukan negara, memudarkan kedudukan paduka!” seru Ranggalawe.
Ranggalawe menilai jasa-jasa selama perjuangan harus dipertimbangkan dalam pengangkatan pejabat tinggi. Dia merasa yakin ketika mengangkat Nambi, raja sedang khilaf.
Nambi hanya menahan diri. Menurutnya, tak pantas beradu mulut di hadapan sang prabu.
“Andaikata saya dan Sora tidak berani bertaruh jiwa saat menghadapi tentara Tartar, Majapahit pasti sudah hancur lebur,” kata Ranggalawe.
Mendengar ucapan Ranggalawe, Kebo Anabrang meradang, “Kalau kau memang jantan, pulang sekarang, siapkan senjata!”
Ranggalawe pulang ke Tuban untuk menyiapkan pasukan. Wiraraja tak berhasil membujuk anaknya itu untuk mengurungkan niatnya. Baginya kehormatan sedang dipertaruhkan. Dia siap mengantar nyawa demi membela kehormatannya.
Pengarang Kidung Rangga Lawe yang anonim menggambarkan Ranggalawe berwatak kasar, cablak, grusa grusu dan berbicara lantang. Perangai buruknya itu pula yang sedikit banyak memanasi perseteruan dengan Majapahit.
Menurut sejarawan Slamet Muljana, kritik Ranggalawe terhadap Nambi menyinggung kepribadian sang prabu. “Pemberontakan Lawe dengan begitu adalah akibat dari kritiknya,” tulisnya dalam Menuju Puncak Kemegahan.
Padahal, mungkin raja punya pertimbangan sendiri. Misalnya, berdasarkan Kitab Nawanatya tentang kewajiban pejabat istana dan syarat yang harus dipenuhi untuk dapat diangkat dalam jabatan tertentu. Seorang mahapatih amangkubhumi contohnya, tidak hanya harus gagah berani dalam peperangan. Dia juga harus paham segala cabang ilmu pengetahuan, adil, bijaksana, pandai diplomasi, membina persahabatan, mendahulukan kepentingan orang lain, dan tak takut dikritik.
Ranggalawe tak memiliki kriteria itu, kecuali gagah berani. Orang Madura itu memang jago siasat perang, lincah di pertempuran, dan piawai menggunakan senjata. Siasatnya terlihat sewaktu mengusir tentara Tartar.
Oleh karena itu, Nambi dan tentara Majapahit tak berhasil mengalahkan Ranggalawe, sehingga raja turun tangan. Namun, ketika Ranggalawe makin menunjukan keberaniannya, raja malah sedih menyadari betapa besar kerugian Majapahit jika Ranggalawe tumbang.
Puncak pertempuran ketika Ranggalawe berhadapan dengan Kebo Anabrang. Mulanya Anabrang hampir tewas. Sampai akhirnya mereka bergelut di sungai dan Anabrang berhasil memiting Ranggalawe hingga kehabisan napas. Melihat itu, Lembu Sora, menikam Anabrang.
Slamet Muljana menyebut kemarahan Lembu Sora atas kematian Ranggalawe bisa dipahami. Sora adalah adik Wiraraja, paman Ranggalawe.
Siapa Ranggalawe?
Dalam Kidung Rangga Lawe, pemberontakan Ranggalawe dikisahkan di bagian kedua. Bagian pertama mengisahkan masa awal perjuangan Wijaya melawan pasukan Tartar dan membangun Majapahit.
Ranggalawe yang tinggal di Tanjung, Madura Barat, berjumpa pertama kali dengan Wijaya ketika Wiraraja mengutusnya ke Jawa. Dia disuruh mengantar salah satu putri Kertanagara untuk bergabung dengan Wijaya.
Ketika tiba di Majapahit, Ranggalawe tak bisa jawab ketika ditanya siapa namanya oleh Wijaya. Wijaya lalu memberinya nama: Wěnang. Alasannya, dia begitu giat dan pandai (Wěnang Amisesa) melaksanakan segala sesuatu menurut kehendak raja.
“Berhubung Rangga berarti menjalankan kecerdasan dan kebijaksanaan politik sehingga tahu apa yang harus dilakukan, maka kau akan dinamakan Rangga Lawe,” kata Wijaya.
Pakar sastra Jawa, P.J. Zoetmulder dalam Kalangwan, menjelaskan Wěnang merupakan sinonim bagi Lawe. Artinya, benang atau tali, bisa juga berbakat.
Sementara itu, Kidung Harsawijaya mengungkap bahwa Ranggalawe merupakan seorang pemuda, anak pejabat tinggi (mantri) keraton, Raja Narasingha (Mahisa Campaka) dari Singhasari. Dia dibesarkan bersama putra mahkota Harsawijaya dan sahabat setia dalam peristiwa-peristiwa yang kemudian menyusul.
Ranggalawe juga dikisahkan bukan putra Wiraraja. Putra Wiraraja adalah Wirondaya, yang dalam versi ini juga memainkan peran penting.
Pemberontakan Ranggalawe juga dikisahkan lengkap dalam Kidung Panji Wijayakrama. Sementara dalam Nagarakrtagama huru-hara ini tak disebut. Dalam Serat Pararaton waktu kekisruhan ini dicatat dalam candrasengkalan kuda bhumi paksaning wong yaitu 1217 saka (1295 M).
Pada akhirnya, Wijaya menyesali kematian Ranggalawe. Dia juga murung karena harus merelakan Anabrang. Dia kemudian memerintahkan kedua jenazah abdi setianya itu untuk diperabukan dengan sepantasnya.
Baca juga:
Tambahkan komentar
Belum ada komentar