Prasasti Damalung Wajib Dipulangkan, Begini Kata Arkeolog
Arkeolog Ninie Susanti meminta Prasasti Damalung dari era Majapahit yang tersimpan lama di Belanda dibawa pulang atau direpatriasi.
DARI seabrek warisan Nusantara yang dibawa melintasi benua ke Belanda, Prasasti Ngadoman atau Batu Damalung adalah salah satu yang nyaris luput dari perhatian. Ia teronggok di salah satu gudang museum di Belanda sejak era kolonial. Diharapkan, ia dapat turut dipulangkan ke tanah air.
Prasasti Damalung sempat dinyatakan “hilang”. Ia pertamakali ditemukan pada medio 1824 oleh Residen Semarang Jacob Hendrik Domis di Ngadoman, sisi timur lereng Gunung Merbabu yang dahulu disebut Damalung. Pada 1825, ia diserahkan ke Bataviaasch Genootschap (kini Museum Nasional Jakarta) di Batavia.
Namun, catatan mengenai itu tak lagi berlanjut. Baru hampir setengah abad kemudian, 1873, muncul catatan dari Leiden bertajuk Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indi, Vol. 91. Berarti, di tahun itu Prasasti Damalung sudah berada di Belanda. Dokumentasi lainnya berbentuk foto di Museum Volkenkunde, “Charter in Kawi script, language Kawi, dated 1371 Saka, found on the Merbabu, OD-10019”.
Meski begitu, arkeolog dan epigraf Universitas Indonesia Dr. Ninie Susanti Tedjowasono tak sepakat jika dikatakan “hilang”. “Tidak hilang. Mungkin karena mereka (Belanda) enggak pelajari itu, terus disimpan di gudangnya. Jadi sebetulnya bukan hilang tapi mereka enggak tahu letaknya,” kata Ninie saat dihubungi Historia.
Sebagaimana diketahui, sebelumnya Prasasti Damalung baru ditemukan kembali oleh sejarawan Bonnie Triyana yang dibantu kurator Museum Volkenkunde Leiden, Pim Westerkamp, usai mendengar tentang prasasti itu dalam sebuah diskusi di Salatiga, Jawa Tengah, awal 2023. Prasasti itu lantas terlacak berada di gudang sebuah museum di kota kecil ‘s-Gravenzande, Belanda, pada 7 Agustus 2024.
Baca juga: Prasasti Damalung yang Hilang Ditemukan di Negeri Seberang
Urgensi Memulangkan Prasasti Damalung
Ketika menemukannya di Ngadoman, medio 1824, Residen Domis membawanya ke Salatiga. Dari observasi Demang Salatiga, Ngabehi Ronodipuro, diketahui aksara dalam isi prasastinya merupakan aksara Kawi atau Jawa Kuno. Namun sang demang tidak paham artinya.
Seperti yang diungkapkan Domis dalam salah satu catatannya, Salatiga, Merbaboe en de Zeven Tempels (1825), ia lantas meminta bantuan Panembahan Sumenep untuk menerjemahkan isi prasasti berbahasa Kawi itu. Dari Panembahan Sumenep, Domis mendapat terjemahan:
“Ini pengajaran kalau siapa yang mau dapat tempat besar yang tentu dengan selamat, mauannya mesti pakai apa yang jadi kebaikan dengan betul terus terang dalam hatinya, dengan yang keras pegang agama, bicara jangan dapat ingatan yang jadi busuk, supaya di belakang kali biar dapat yang terlebih kebesaran, di atas itu dapat jalanan ingatan terlalu terang seperti mentari dan bulan. Semoga orang yang mesti tahu orang yang dapat kebesaran itu, orang yang turut perintahnya Batara, tandanya yang menunjukkan siapa yang tiada turut itu perintah, dapat bagian hukuman neraka.
Apa bekas pakirjan yang sudah dijalani itu menjadi pembelinya pekerjaan baru, lagi siapa yang kasih nama busuk sama orang, tentu dapat kendiri, dari itu jangan lupa pujinya supaya jangan sampai melanggar, apa yang jadi larangan, sungguh-sungguh, ini pengajaran yang betul, siapa yang bisa jalani, segala yang melihat sama dia terlalu cinta dingin hormatnya.
Di atas muji tidak ada lebih dari tujuh buku, baiknya, sungguh itu yang taun temponya dia kerja 427.”
Baca juga: Puncak Seni Arca dari Candi Singhasari
Namun terjemahan itu dibantah pakar naskah kuno Abraham Benjamin Cohen Stuart lewat catatannya, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indi, Vol. 91 (1873). Bantahannya turut dikutip filolog Belanda Johannes Gijsbertus de Casparis dalam Indonesian Palaeograpy: A History of Writing in Indonesia from the Beginnings to C. A.D. 1500 (1975).
Bunyinya kira-kira:
“Om Sri Saraswati, gunung Damalung yang agung dan suci. Engkau adalah kehidupan di buana ini, melingkari, menjelma menjadi manusia, tempat air…sebab Hyang Widi…oleh Dewa Matahari, Dewa Bulan yang menyinari baik buruknya dewa dan manusia.
Juga yang melihat yang punya hati, mendengar akan lolos dari apa-apa yang dilarang oleh tradisi. Semuanya sama-sama percaya akan tutur yang sejatinya. Jika ada yang…tanpa memiliki abdi-abdi, mampu tidak membawa seorang wanita, tujuh…tidak beristri dengan sesungguhnya.
Pada tahun Saka 1371.”
Baca juga: Masuknya Aksara Pallawa ke Nusantara
De Casparis juga menyertai keterangan bahwa aksara dalam prasasti itu ditengarai merupakan hasil dari perkembangan terakhir aksara Jawa Kuno atau setidak-tidaknya sebagai perantara antara peralihan antara aksara Jawa Kuno dan Jawa modern. Toh tertera pula tahunnya, 1371 Saka (1449/1450 Masehi). Artinya, prasasti itu dibuat di masa akhir Kerajaan Majapahit, tepatnya di periode kekuasaan Raja Kertawijaya (berkuasa 1447-1451).
“Memang betul (dari era akhir Majapahit) karena di dalam prasasti itu sendiri menyebutkan angka tahunnya. Tetapi bukan peralihan aksara,” kata Ninie menyanggah. “Yang jelas dia (isi prasastinya) menyebutkan Saraswati, kan dewi ilmu pengetahuan (dan kebijaksanaan). Pokoknya prasasti itu bukan dari pusat kerajaan tapi dikeluarkan dari skriptoria atau pusat pembelajaran besar di antara (gunung) Merapi-Merbabu itu,” sambungnya.
Dalam makalah “Variety of distinct style scripts in inscriptions found in Mandalas of the late Majapahit era: An overview of the paleography to mark religious dynamics” yang termaktub dalam buku Cultural Dynamics in a Globalized World, Ninie juga menuliskan bahwa sejumlah skriptoria atau mandala di era Majapahit tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kawasan tersebut menjadi pusat ilmu pengetahuan karena jadi tempat berkumpulnya para pujangga, cendekiawan, dan agamawan Hindu dan Buddha.
“Itu suatu karya (isi prasasti) yang paling panjang dari satu skriptoria saat itu dan paling tua sebetulnya. Yang (isi prasasti) pendek-pendek itu banyak di skriptoria-skriptoria di Jawa Timur. Jadi ini penting karena bukan prasasti dari penguasa dan paling panjang isinya,” jelas Ninie.
“(Prasasti Damalung) ini penting karena ada simbol intelektual di situ. Saya juga sudah bicara sendiri dengan kuratornya (Volkenkunde) Pak Pim. Setelah saya ngobrol juga sama Pak Bonnie, itu harus pulang karena penting,” kata Ninie tegas.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar