Pemakaman Khusus bagi Korban Pandemi
Tak peduli kaya atau miskin, di kota atau desa. Korban meninggal akibat pandemi penyakit mematikan dikubur bersama.
SEPERTI di negara lain, area pemakaman khusus bagi korban pandemi Covid-19 disediakan sejumlah pemerintah daerah di Indonesia. Hal ini guna mencegah penularan lebih lanjut dan menjamin kesehatan masyarakat. Praktik ini tidaklah aneh. Sejarah mencatat adanya kuburan khusus bagi korban berbagai macam pandemi di seluruh dunia.
Wabah Hitam (peste noire atau black death) adalah pandemi pertama yang tercatat dalam sejarah manusia yang tak tertanggulangi dan menelan banyak korban. Wabah ini melanda Eropa setidaknya selama lima tahun (1347-1351) dan menyebabkan kematian 30-50% penduduk Eropa.
Baca juga: Invasi Mongol dan Penyebaran Wabah Pes
Wabah Hitam diyakini disebabkan infeksi bakteri Yersinia pestis melalui tikus. Pada kerangka manusia yang ditemukan, dilakukan analisis kedokteran berdasarkan deteksi antigen Y. pestis. Penelitian atas pemakaman ini melibatkan kerjasama lintas-ilmu: penggalian arkeologis, analisis medis, penelitian sejarah sosial, dan studi kesehatan masyarakat.
Di Prancis, ada sejumlah pemakaman yang digunakan khusus bagi korban Wabah Hitam. Di sini, akan diulas dua contoh pemakaman: di kota dan di desa.
Aître St. Maclou di Kota Rouen (Prancis Utara)
Penggalian arkeologis dan analisis kedokteran selama tiga tahun (2017-2020) memastikan bahwa Aitre St. Maclou adalah kuburan khusus bagi korban Wabah Hitam. Aître ini didirikan tahun 1348 karena pemakaman umum tidak cukup lagi menampung.
Kata “Aître” berasal dari “atrium” dalam bahasa Latin yang artinya taman bagian dalam sebuah rumah. Kata ini kerap digunakan untuk kuburan di dekat atau di depan gereja. Dalam bahasa Inggris disebut ossuary.
Baca juga: Biang Kerok di Balik Wabah Pes
Roeun adalah salah satu kota penting pada Abad Pertengahan. Sejarah mencatat hampir 75% penduduk kota ini meninggal karena Wabah Hitam. Saking banyak korban, ritual keagamaan pemakaman tidak bisa diselenggarakan seperti biasanya. Juga tidak ada lagi pembedaan kelas sosial sehingga mayat orang kaya dan miskin dikuburkan berdampingan begitu saja.
Menariknya, karena tidak cukup lahan, sejumlah mayat korban Wabah Hitam “dirumahkan”. Mereka ditaruh dalam bangunan yang didirikan di sekeliling kuburan (lihat Foto 2). Tiang-tiang rumah dengan ukiran tengkorak dan kerangka manusia menjadi saksi bisu selama pandemi tersebut (lihat Foto 3).
Pemakaman di Prancis Selatan
Terletak di Desa Saint-Laurent-de-la-Cabrerisse, pemakaman ini berada di dekat sebuah gereja. Pemakaman ini telah lama dipergunakan sejak abad ke-8 Masehi sebagai pemakaman umum.
Namun, penggalian pada 2007 menemukan di dalam satu lahan kubur terdapat beberapa mayat sekaligus. Hal ini tidak lazim dalam pemakaman umum. Analisis kedokteran atas sembilan kerangka manusia membuktikan bahwa mereka adalah korban Wabah Hitam. Diperkirakan mereka terkena Wabah Hitam antara Februari-Maret 1348.
Wabah Hitam melanda Prancis Selatan dari kota pelabuhan di laut Mediterania (Marseille dan Genova). Wabah menyebar ke daerah pedesaan dalam waktu singkat dan juga memakan korban anak-anak. Tingkat kematian di desa cukup tinggi seperti di kota. Terlebih, lebih dari 80% penduduk Prancis pada masa itu tinggal di pedesaan.
Baca juga: Mencegah Pes Mewabah
Dua contoh pemakaman khusus bagi korban Wabah Hitam di Prancis menggambarkan bagaimana penduduk kota dan desa mengatasi kesulitan menguburkan korban pandemi. Keterbasan lahan di kota mengakibatkan penguburan dilakukan seadanya tanpa ritual keagamaan dan memedulikan kelas sosial. Di desa, lahan kuburan digunakan untuk menampung mayat korban sekaligus. Meski begitu, penelitian menemukan bahwa penguburan di desa tetap memperhatikan ritual keagamaan dan adat kebiasaan setempat.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar