Para Penjaga Hutan Zaman Kuno
Hutan rawan kebakaran. Penjaga hutan pun ditunjuk di desa-desa yang wilayahnya berhutan.
Sebuah pengumuman ditujukan kepada pancatanda yang berkuasa di Turen, dan pejabat lainnya seperti wedana, juru, dan buyut. Seruan juga ditujukan kepada penduduk di sebelah timur Gunung Kawi, baik yang berada di timur maupun di barat sungai.
Pengumuman itu sehubungan dengan kedudukan warga Katiden yang meliputi sebelas desa. “Oleh karena mereka menjaga alang-alang (hangraksa halalang) di Gunung Lejar, mereka dibebaskan dari segala macam pajak, dibebebaskan dari jalang palawang, taker turun, demikian pula tahil dan segala macam titisara dibebaskan…,” sebut sisi bagian depan Prasasti Katiden II.
Dari prasasti itu, kata sejarawan Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono, penduduk di wilayah satuan desa (wisayapumpunan) Katiden mendapat anugerah berupa pembebasan pajak, melakukan perburuan, mengkonsumsi tanaman, pemanfaatan kayu gaten dan telur penyu. Mereka diberikan hadiah itu lantaran berjasa menjaga ilalang.
“Maksud ‘menjaga alang-alang’ sangat mungkin untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan, yang kerap disebabkan terbakarnya ilalang kering pada puncak kemarau,” kata Dwi.
Menurut pembacaan L.C. Damais, peneliti École Française d'Extrême-Orient (EFEO), prasasti itu ditulis pada 17 Juli atau 15 Agustus 1395 dari masa Majapahit.
“Tergambar bahwa kala itu adalah musim kemarau, ketika ilalang di Gunung Lejar dalam kondisi kering dan karenanya rentan terbakar,” kata Dwi.
Baca juga: Kebakaran Hutan Masa Majapahit
Menurut Agus Aris Munandar, arkeolog Universitas Indonesia, dalam Wilwatikta Prana, wilayah Katiden mungkin adalah desa wilayah hutan di lereng gunung. Kawasan itu juga masih banyak dihuni hewan buruan.
Pada masa lalu, nampaknya orang-orang yang tinggal dekat hutan biasanya mengemban tugas dari pemerintah sebagai penjaga. Desa yang ada wilayah hutannya akan mempunyai petugas khusus bernama tuha alas.
Ahli epigrafi, Boechari dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti menjelaskan jabatan tuha alas tak akan ditemukan di desa-desa lain yang tak punya wilayah hutan. “Jabatan di desa yang satu tak sama dengan di desa yang lain. Itu tergantung dari keadaan geografi dan ekologi desa yang bersangkutan,” tulisnya.
Tuha alas atau Tuhālas sebutannya dalam prasasti, kiranya dapat disamakan dengan mantri kehutanan. Alas sama artinya dengan hutan. Keberadaannya sudah ada sejak masa Mataram Kuno (Medang). Di antaranya disebutkan dalam prasasti dari masa pemerintahan Rakai Kayuwangi (856-883) dan Rakai Watukura Dyah Balitung (901-910) yang menyebut macam-macam jabatan pejabat desa.
Baca juga: Kabut Asap di Masa Lalu
Contohnya, berdasarkan Prasasti Mulak I (878) terdapat jabatan tuha alas atau pengawas hutan yang dijabat oleh perempuan. Pejabat tersebut bernama si Amwarī ibu dari Harī.
“Tiga kain untuk lelaki jenis Raṅga. Pejabat pengairan (hulu air) dua orang, yaitu Si Tahun bapak dari Yukti, Si Tajam bapak dari Danī, Pangawas hutan (tuha alas) bernama si Amwarī ibu (re) dari Harī, Pejabat pertanian (hulu wras) dua orang yaitu Si Wanua...” sebut prasasti itu.
Lalu sejumlah prasasti lain yang Rakai Kayuwangi keluarkan seperti Prasasti Tunahan (873), Jurungan (876), Haliwangbang (877), Mamali (878), Kwak I (879), dan Taragal (880). Selain disebut Tuha Alas (Tuhālas), pengawas hutan pada masa itu disebut pula dengan istilah Katuhālasan.
Pejabat kehutanan juga masih ada pada masa pemerintahan Raja Dyah Balitung. Namun, istilahnya pasuk alas yang secara harfiah berarti pagar atau batas hutan. Ini disebut dalam Prasasti Barsahan (908) dan Prasasti Kaladi (909).
Prasasti Kaladi menyebut pejabat pasuk alas sebagai salah satu Mangilala Drawya Haji. Mereka adalah abdi dalem kerajaan yang hidupnya digaji oleh pemerintah.
Bersamaan dengan penyebutan petugas tuha alas sering pula didapati petugas yang disebut tuha buru. Petugas ini mengatur perburuan hewan di hutan. Dia mencegah perburuan yang tak terkendali.
Baca juga: Hutan Selamatkan Majuli dari Kepunahan
Dengan adanya petugas khusus, nampaklah kalau pada masa lalu, perburuan dan pemanfaatan hasil hutan telah diatur ketat oleh penguasa. Mereka harus memiliki izin khusus.
Hal itu juga yang terlihat dari isi Prasasti Katiden I yang kemudian ditegaskan ulang oleh Prasasti Katiden II. Sebagaimana disebutkan dalam prasasti itu, penduduk Katiden diberi izin untuk berburu segala jenis hewan dan mengumpulkan makanan dari tumbuhan di hutan.
Agus mengatakan sangat mungkin ada alasannya sehingga raja memberikan izin itu. “Supaya jangan menindak penduduk Katiden ketika mereka melakukan perburuan,” jelasnya.
Sementara menurut Dwi, kemungkinan besar karena jasa mereka menjaga hutan dari kebakaran. Mereka yang menjaga, mereka juga yang bisa mendapat manfaatnya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar