Misi Diplomatik Hayam Wuruk ke Wilayah yang Memberontak
Upaya raja Majapahit merekatkan kembali hubungan dengan wilayah-wilayah yang memberontak.
DALAM lawatannya ke Lamajang, rombongan Hayam Wuruk berjalan melewati Kunir dan Basini terus ke Sadeng. Mereka bermalam beberapa hari di sana. Sang Prabu bersantai menikmati pemandangan alam di Sarampwan.
Perjalanan itu ditulis Mpu Prapanca dalam karya adiluhung, Nagarakrtagama. Rombongan itu bertolak dari ibukota Majapahit pada 1359 M.
Padahal, 28 tahun lalu, Sadeng salah satu wilayah yang memberontak kepada Majapahit. Lawatan itu rupanya menjadi salah satu cara diplomatik Hayam Wuruk merekatkan kembali hubungan dengan wilayah bawahannya. Dalam karyanya itu, Prapanca memberi petunjuk kondisi politik wilayah-wilayah bawahan Majapahit pada masa Hayam Wuruk.
Sebelumnya, Majapahit di bawah pemerintahan Wijaya dan putranya, Jayanagara diberondong rentetan pemberontokan yang bisa dipadamkan.
Perluasan daerah Majapahit ke luar Jawa lalu dilakukan. Politik Nusantara itu diumumkan pada 1258 Saka atau 1334 M lewat sumpah Gajah Mada. Setelah sumpah, Gajah Mada melakukan perluasan daerah ke luar Jawa.
Namun, sebagaimana dicatat Slamet Muljana dalam Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit, konsolidasi ke dalam terus dilakukan demi memulihkan pemerintahan akibat huru-hara pada masa lalu.
Selain Sadeng, menurut Hadi Sidomulyo dalam Napak Tilas Perjalanan Mpu Prapanca, misi diplomatik dibawa pula ke wilayah lain. Terutama daerah Arenon, Keta, Pajarakan, Gendhing, dan Patukangan.
Wilayah-wilayah itu, berdasarkan keterangan Serat Pararaton, pernah berseteru dengan Majapahit. Arenon, misalnya, sering dihubungkan dengan peristiwa kekalahan Mpu Nambi pada 1316 M di tangan pasukan Jayanagara. Kini, letaknya di Desa Kutorenon, 6 km di sebelah utara Lumajang, Kecamatan Sukodono.
Pajarakan dan Gendhing disebut pula dalam Serat Pararaton sebagai benteng yang diserbu Majapahit ketika melumpuhkan pasukan Nambi. Gendhing letaknya di muara sungai, 12 km di sebelah timur Probolinggo. Adapun Pajarakan mewakili sebuah kecamatan di pantai utara Kabupaten Probolinggo.
Sementara di Lamajang huru-hara terjadi di era Jayanagara. Setelah diangkat sebagai penguasa Lumajang pada masa Wijaya, Arya Wiraraja tak pernah lagi menghadap ke keraton. Dia kemudian bersekutu dengan Nambi menentang raja Majapahit karena kematian putranya, Ranggalawe.
Rupanya pada masa Hayam Wuruk, hubungan dengan Lamajang pun belum begitu dekat. Meskipun Prapanca menyebutkan Lamajang sebagai tujuan rombongan Hayam Wuruk, ternyata deskripsi mengenai daerah itu terbatas pada urutan nama-nama desa. Tanpa menyajikan informasi tambahan apa pun.
Akibatnya, kata Hadi, pembaca sama sekali tak mengetahui keadaan di dataran sebelah timur gunung Semeru pada pertengahan abad ke-14 M. “Terdapat kesan bahwa rombongan justru tergesa-gesa dalam perjalanan melalui Lamajang dan Sadeng, dan ingin sampai di Patukangan,” lanjut sejarawan yang juga bernama lain Nigel Bullogh itu.
Sebaliknya, kata Hadi, Prapanca terlihat lebih bersemangat pada waktu pulang melalui pantai utara. Banyak hal yang menarik perhatiannya.
Di Patukangan misalnya, terlepas dari rasa sedihnya karena sahabatnya meninggal di sana, dia menjabarkan misi politik dan diplomatik sang penguasa Majapahit. Prapanca melukiskan kegirangan masyarakat yang menyambut kedatangan raja di wilayah mereka.
Suasana serupa ditemukan pula di sepanjang pantai. Penyair memunculkan nama-nama pejabat di Ketha, Pajarakan, dan Gendhing, pertapaan di Sagara serta biara di Dharbaru.
Kondisi itu, Kata Hadi, menunjukkan administrasi pemerintahan di ujung timur Pulau Jawa pada masa Hayam Wuruk lebih stabil di daerah pesisir. Daerah itu mudah dijangkau dengan kapal laut.
“Kalau mengingat, baik Lamajang maupun Sadeng pernah memberontak terhadap Majapahit, ada kemungkinan bahwa sembutan yang diterima oleh raja di kedua daerah tersebut tidak semeriah di pantai utara,” catat Hadi.
Selain Sadeng, Keta juga pernah memberontak terhadap Majapahit pada 1331 M. Namun, Hadi menilai Prapanca memberi kesan pada waktu dikunjungi Hayam Wuruk, Keta telah bersatu dengan pusat kerajaan. Adapun pemberontakan yang telah lalu itu sudah dilupakan.
“Bahkan sambutan hangat yang diberikan oleh masyarakat setempat tidak kalah dengan yang di Patukangan beberapa hari sebelumnya,” jelas Hadi.
Seperti tetangganya di sebelah timur, Keta memiliki beberapa daerah bawahan. Semuanya menghadap raja dengan sukarela sambil membawa persembahan. Di antara para pejabat tercatat kedua upapatti, yang mewakili aliran Siwa dan Buddha, serta pemimpin wilayah, bernama Arya Wiraprana.
“Sekalipun hubungan dengan Keta sudah pulih kembali pada 1359 M, belum tentu di pedalaman,” katanya.
Baca juga:
Awal Mula Kerajaan Majapahit
Perjalanan Ziarah Raja Majapahit
Dalang Pemberontakan Terhadap Majapahit
Meninjau Kembali Wilayah Kekuasaan Majapahit
Tambahkan komentar
Belum ada komentar