Merebut Kekuasaan Bersama Agamawan
Para calon raja di Jawa pada masa lalu menggandeng kaum agamawan untuk meraih kekuasaan.
RAJA Daha, Dandang Gendis memaksa para rohaniawan untuk menyembah padanya. Dia berkata pada para rohaniawan yang ada di seluruh Daha:
“Wahai para bujangga pemeluk agama Siwa dan Buddha. Apakah sebabnya tuan tidak menyembah kepadaku? Bukankah saya ini semata-mata Batara Guru?” katanya.
“Tuanku, semenjak zaman dahulu tidak ada bujangga yang menyembah raja,” jawab para bujangga.
Mereka lalu menentang dan mencari perlindungan ke Tumapel. Kepada Ken Angrok, mereka menghamba. Itulah asal mulanya Tumapel tidak mau tunduk ke Daha berdasarkan pemberitaan di Serat Pararaton.
Tak lama kemudian, Ken Angrok menjadi raja di Tumapel. Negaranya bernama Singhasari. Dinobatkan dengan nama Sri Rajasa sang Amurwabumi. Pentahbisannya disaksikan para bujangga pemeluk agama Siwa dan Buddha dari Daha, terutama Dang Hyang Lohgawe.
“Dia (Dandang Gendis, red.) berkonflik dengan rohaniawan, sehingga mereka dirangkul oleh Angrok,” kata Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah Universitas Negeri Malang.
Dwi beranggapan Angrok cukup bisa membaca situasi dengan mencari sokongan dari para rohaniawan. Rohaniawan dinilai punya kekuatan. Pengikutnya loyal.
“Padahal dirinya ada latar preman, tapi bisa masuk ke pemerintahan Tumapel menggulingkan Tunggul Ametung, dan menentang Daha dengan bantuan Brahmana, terutama Lohgawe,” lanjutnya.
Angrok menikahi Ken Dedes juga bukan cuma perkara cinta. Dia mempertimbangkan kedudukan Mpu Purwa, agamawan dari Panawijen, yang sangat disegani.
Kitab yang ditulis pada 1613 M itu juga berkisah soal rapat dewa di Gunung Lejar. Mereka kemudian sepakat kalau Angrok pantas dinobatkan sebagai raja di Jawa.
Suwardono, sejarawan Malang, menjelaskan, hal ini bisa dimaknai sebagai pertemuan tokoh yang memiliki kedudukan luhur pada masa itu. Sejumlah brahmana, terutama Mpu Purwa dan Dang Hyang Lohgawe, bersatu untuk menggulingkan Tunggul Ametung. Dia adalah akuwu (setara camat sekarang) di Tumapel, salah satu daerah bawahan Kerajaan Kadiri.
“Melalui ini, Ken Angrok mendapatkan legitimasi atas kekuasaannya,” ujarnya.
Agaknya yang dilakukan Angrok tak jauh berbeda dengan perpolitikan era sekarang. Menggandeng tokoh agamawan menjadi pilihan untuk mendapat dukungan.
“Ini berulang. Polanya sama, walaupun detilnya beda,” kata Dwi.
Pada masa Hindu-Buddha, kelas sosial agamawan berbeda dengan politisi. Agamawan menempati kelas tertinggi, Brahmana. Sementara pelaku pemerintahan dan militer berada di kelas ksatria.
Para Brahmana juga lebih banyak ditemui di luar keraton, yaitu di mandala kadewaguruan atau karesian. Namun, bukan berarti mereka tak ada di dalam birokrasi pemerintahan. Posisi mereka sebagai penasihat raja. Mereka menjadi bagian dari puruhita.
“Sebenarnya bukan hanya kaum agamawan, keluarga raja yang bersangkutan, terutama yang senior juga tergabung dalam institusi itu,” kata Dwi.
Para agamawan juga seringkali menjadi pembimbing calon raja. Contohnya, Airlangga yang melarikan diri dari keraton ke bukit Pucangan. Kini bukit itu ada di antara Lamongan dan Jombang.
“Di situ, antara 1017-1019 M, Airlangga berada di lingkungan rohaniawan. Dalam Prasasti Pucangan dikatakan, di tempat itu hidup tiga penganut agamawan yang berbeda,” kata Dwi.
Di sana, Airlangga mendapat perlindungan dan memperoleh pelajaran lahir dan batin. Para brahmana menyiapkannya menjadi penguasa yang tangguh. Dalam Kakawin Arjunawiwaha, dia diibaratkan Arjuna yang menjadi pertapa.
“Ini persis Lohgawe kepada Angrok. Dia juga berperan sebagai fasilitator, mediator, pemberi restu bagi Angrok agar bisa masuk ke lingkungan Akuwu Tumapel,” jelas Dwi.
Airlangga pun kemudian dinobatkan sebagai Raja Kahuripan. Dia meneruskan kekuasaan Mataram Kuno yang melemah di era kekuasaan mertuanya, Dharmawangsa Teguh. Ketika itu, kekuasaan Mataram pecah menjadi kerajaan kecil.
Airlangga dinobatkan oleh para brahmana. Menurut Dwi, kondisi itu menunjukkan, rohaniawan punya kekuatan tak sepele. Mereka mampu menyiapkan dan menobatkan seseorang menjadi penguasa. Bahkan di era konflik.
“Ini menarik, melihat bagaimana komunitas agama mentahbiskan raja sekaligus menjadi legitimator, pengabsah kekuasaan Airlangga. Otomatis ini back up di awal,” kata Dwi.
Dukungan kaum agamawan di era konflik juga ditemukan pada masa Islam. Pada 1742, terjadi pemberontakan oleh orang-orang Tionghoa. Pakubuwono II pun tersingkir dari keratonnya di Kartasura. Sang susuhunan kemudian melarikan diri ke Pondok Tegalsari. Di sana dia mendapat perlindungan dari Kyai Hasan besari.
“Bekas santri di sana yang sudah jadi kyai di daerah lain kemudian dikerahkan ke Tegalsari. Mereka ikut mem-back up posisi PB II, mengembalikannya ke takhta yang pindah ke Surakarta," jelas Dwi.
Kisah-kisah dari masa lalu itu menunjukkan, jika mendapat dukungan rohaniawan yang disegani, otomatis didapatkan pula dukungan pengikutnya. Kekuataannya sangat besar, karena didasari keyakinan. Kayakinan ini kemudian membentuk jejaring yang saling mendukung.
Bukan cuma pesantren, kata Dwi, mandala kadewaguruan (karesian) pada masa Hindu Buddha pun punya jaringan kuat. Contoh nyatanya, di Malang pada masa lalu terdapat sebuah mandala bernama kasturi. Pada perkembangannya, mandala ini berjejaring menjadi lima mandala kasturi.
"Ada jejaring. Ini yang secara politik diperhitungkan," ujar Dwi.
Para rohaniawan di masa lalu dipercaya pula punya kedudukan yang netral. Terutama rohaniawan yang tinggal di luar keraton.
“Karenanya tak mudah mendapat dukungan rohaniawan. Mereka bukan tanpa pertimbangan, mengkalkulasi dulu apakah orang-orang itu amanah atau tidak,” ujar Dwi.
Dukungan dari kaum agamawan sejak masa lalu selalu dianggap penting. Terutama pada saat konflik juga perebutan takhta. “Siapa yang dapat back up dari agamawan, mendapat semacam kemudahan untuk menang,” tegas Dwi.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar