Menikahi Saudara Sepupu pada Zaman Kuno
Menikahi saudara sepupu biasa dilakukan pada masa Jawa kuno. Untuk menghindari kekuasaan jatuh ke orang lain.
Konon kabarnya, perkawinan Wijaya dan keempat putri Kertanagara adalah perkawinan antara misan ketiga. Sang Sri Parameswari Tribhuwana, si sulung yang tanpa cela; Dyah Duhita yang sempurna kecantikannya; Prajnaparamita, dikenal dengan nama Jayendradewi, dewi yang sempurna kemolekannya; Lalu si bungsu Gayatri yang ramah, yang dijadikan Rajapatni di dalam keraton, keempatnya masih bersaudara dekat dengan Sang Kertarajasa. Ayahnya, Dyah Lembu Tal ialah sepupu Kertanagara.
Sang Narendra senang menjadi sepupu ketiga para putri. Mereka pun jadi punya cita-cita yang sama. “Karena itu juga bagaimana istri-istri raja bersatu dengannya, mempunyai cita-cita yang sama, apapun perintahnya kepada mereka semua memberikan kesenangan kepada dunia,” tulis Prapanca dalam Nagarakrtagama.
Baca juga: Perempuan di Balik Kejayaan Majapahit
Berbeda dengan di India, di Jawa perkawinan antarsaudara sepupu umum dilakukan. Prasasti dan naskah menjadi buktinya. Utamanya, perkawinan ini dilakukan di antara keluarga kerajaan.
Menurut arkeolog Puslit Arkenas, Titi Surti Nastiti dalam Perempuan Jawa, hal ini kemungkinan demi menjaga harta agar tak jatuh ke orang lain. Praktiknya sudah terjadi sejak masa Mataram Kuno. Selain antarsaudara sepupu, ada perkawinan politis antara raja, atau kerabat raja dengan putri, atau kerabat dekat bangsawan yang berada di bawah kekuasaannya.
“Ini untuk memperkokoh kedudukan, juga dimaksudkan untuk menghindarkan kekuasaan mereka jatuh ke tangan orang lain,” kata Titi.
Baca juga: Tragedi Perang Bubat dan Batalnya Pernikahan Hayam Wuruk-Dyah Pitaloka
Menikahi saudara sepupu paling nampak dilakukan pada masa Majapahit. Di antara penguasa daerahnya, yang merupakan kerabat dekat raja, banyak yang masih saudara sepupu. Mereka ini kemudian diikat hubungan perkawinan.
Setelah Wijaya menikahi empat sepupunya sekaligus, cucunya, Hayam Wuruk, menikah dengan anak dari suami bibinya. Kemudian Wikramawarddhana menikahi Kusumawarddhani, putri dari kakak laki-laki ibunya. Suhita menikah dengan Ratnapangkaja, anak dari adik perempuan ayahnya. Wijayaparakramawarddhana menikah dengan Jayawarddhani, putri dari adik perempuan ayahnya. Rajasawarddhana menikah dengan Bhre Tanjungpura, putri dari adik laki-laki ayahnya. Kemudian Girisawarddhana menikah dengan Bhre Kabalan, cucu perempuan dari adik kakeknya. Terakhir, Singhawikramawarddhana menikah dengan Bhre Singhapura, putri dari anak sepupunya.
Jauh sebelum itu Airlangga sudah melakukannya. Penguasa Kahuripan itu menikahi putri Dharmawangsa Tguh sebagaimana yang tertulis dalam Prasasti Pucangan (1037).
Baca juga: Pernikahan Orang Jawa Kuno
Beberapa naskah sastra pun mengisahkan perkawinan antarsepupu. Kakawin Krsnayana dan Hariwangsa menyebutkan Kresna dan Rukmini sebagai saudara sepupu. Ibu Rukmini, Dewi Prthukirti adalah adik ayahnya Kresna.
Pun dalam Kakawin Ghatotkacasraya disebutkan antara Ksitisundari, putri Kresna dan Rukmini, dan kekasihnya Abhimanyu, anak Arjuna dan Subhadra, masih saudara sepupu. Juga dalam Kakawin Sutasoma, disebutkan Sutasoma adalah saudara sepupu Dyah Candrawati.
Sebenarnya, apabila mengikuti hukum India, perkawinan semacam ini dilarang. Di Kitab Manawadharmasastra tertulis seorang laki-laki dilarang menikah dengan perempuan yang masih sapinda. Itu artinya dia masih ada hubungan tujuh generasi dari pihak ayah dan lima generasi dari pihak ibu dengan si lelaki. Kitab itu juga melarang pernikahan dengan anak dari adik ayah atau dengan anak dari adik ibunya atau anak dari kakak laki-laki ibu.
“Meskipun demikian pada praktiknya di beberapa bagian di India, terutama di bagian selatan mereka melakukan perkawinan antara saudara sepupu, malah dianjurkan,” kata Titi.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar