Kota Seribu Biksu
Mitos berkembang tentang bangunan kuno di Muarajambi. Apa yang pernah berlangsung selama lima abad sampai kemudian bangunan-bangunan itu ditinggalkan?
Dahulu kala, ada seorang pangeran yang pergi melamar putri raja. Putri bilang, ada syarat jika ingin menikah dengannya.
“Buatkan aku candi setinggi langit,” kata putri. “Sebelum matahari terbit harus sudah jadi.”
Pangeran pun menyanggupi. Ia mulai membangun candi yang sangat tinggi.
Candi itu hampir selesai ketika sayup-sayup terdengar seekor ayam berkokok. Lalu disusul ayam-ayam lainnya. Dilanjut suara lesung bertalu-talu. Fajar rupanya telah tiba.
Pangeran gagal. Betapa kesalnya dia. Impiannya menikah dengan sang putri mesti dilupakan. Saking marahnya, candi yang belum rampung tadi ia tendang. Tersebarlah batu-batunya ke segala arah.
“Ini kisah buyut-buyut kami dulu. Itu kenapa batu-batuan ini berserakan. Orang tengok di mana-mana batu. Makanya ada cerita begitu,” kata Datuk Ibrahim Akbar, mantan Kepala Desa Muaro Jambi periode 1980-an sambil menunjuk area sekeliling Candi Gumpung.
Baca juga: Usaha Menemukan Muarajambi
Umur Ibrahim kini sudah 73 tahun. Sulit menangkap ceritanya karena ia lebih lancar bicara dalam bahasa Melayu Jambi. Ibrahim bilang, dulu Candi Gumpung dan Candi Tinggi yang tak berjauhan letaknya, hanya berupa gundukan dengan bata-bata yang bertebaran. Pohon-pohon besar tumbuh di atasnya. Kebanyakan pohon duku dan durian.
“Gundukan yang ada candinya orang sini sebutnya menapo, menapo itu kecil, dari kata napo, itu semacam kancil,” jelas Sulaeman (55), juru pelihara Kompleks Candi Gumpung dan Tinggi, ikut nimbrung.
Candi Gumpung dan Tinggi pertama kali disebut F.M. Schnitger, sarjana Belanda yang melakukan perjalanan singgah di Jambi dalam laporannya pada 1937. Ada 80 lebih reruntuhan bangunan kuno lainnya di wilayah Situs Percandian Muarajambi, Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi. Candi Gumpung dan Tinggi kini sudah dipugar bersama kompleks candi lainnya, yakni Candi Kembar Batu, Candi Astano, Candi Kedaton, Candi Gedong I, Candi Gedong II, dan Telagorajo. Sementara masih banyak runtuhan bata yang tertutup tanah atau menapo.
“Dulu kerajaan taunya, tapi ndak tau ini kerajaan apa,” sambung Ibrahim lagi. Ia sama seperti Schnitger yang dalam catatannya menyangka kalau penemuannya adalah bekas dari sebuah kerajaan kuno di Muaro Jambi.
Tak Banyak yang Tahu
Siang itu, Historia menemui Arkeolog Junus Satrio Atmodjo, anggota Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Nasional, di kantornya, Kemendikbud RI. Junus termasuk yang melakukan pembukaan hutan saat ditempatkan sebagai kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jambi pada 1990-1997. Sekiranya seribu batang pohon ditebang untuk melihat seberapa banyak temuan yang masih tesembunyi.
“Cerita tentang Muarajambi ini sebetulnya tidak banyak yang tahu,” katanya yang akrab disapa Oteng itu.
Baru pada 1823 keberadaan situs ini terungkap. Waktu itu perwira angkatan laut Inggris, S.C. Crooke, diberi tugas mengumpulkan data tentang wilayah Jambi. Ia melaporkan adanya runtuhan bangunan kuno dari bata dan arca-arca batu di Desa Muaro Jambi.
“Salah satunya (arca, red.) rambutnya seperti wignya seorang hakim di Inggris. Kelihatannya yang ditemukan adalah kepala Buddha, rambutnya keriting,” ujar Junus.
Pada masa-masa berikutnya, lewat penggalian dan pemugaran, temuan-temuan arkeologis mulai terkumpul. Yang tertua misalnya temuan keramik dari masa Dinasti Tang abad ke-8 hingga 9. Ada juga temuan dari penggalian Candi Gumpung pada 1985-1990 berupa lempengan emas berisi mantra di dalam kotak peripih. Epigraf Boechari sudah menelaah kalau inskripsi pada lempengan itu mewakili gaya tulisan dari pertengahan abad ke-9 sampai awal abad ke-10.
Baca juga: Temuan Baru di Situs Muarajambi
Kemudian di Candi Tinggi ditemukan lempengan emas, bata beraksara Jawa Kuno, Keramik Tiongkok dari abad ke-10 sampai ke-12, serta gong perunggu beraksara mandarin dan angka tahun 1231. Lalu lapik arca, fragmen arca, manik-manik, tembikar, batuan mulia, dan keramik Tiongkok abad ke-11 sampai ke-14 ditemukan di Candi Astano. Sementara dari kompleks Candi Gedong, ada umpak batu, fragmen arca, bata bertulis dan berhias, pecahan genting, keramik tiongkok. Ada belanga perunggu dan arca gajah di Candi Kedaton. Arca gajah dan pecahan genting ditemukan juga di Candi Koto Mahligai.
“Kita banyak temukan keramik yang rata-rata dari Dinasti Sung abad ke-11 sampai ke-13. Kita juga temukan pecahan kaca dari Timur Tengah dan benda-benda yang kita perkirakan benda logam dari India,” jelas Junus.
Dugaannya, pada abad ke-13 percandian kuno Muarajambi masih digunakan. Lalu ditinggalkan seabad kemudian. Petunjuknya temuan arca-arca bergaya Singhasari. Salah satunya arca Prajnaparamitha dari Candi Gumpung yang berciri kerajaan Jawa dari abad ke-13 itu.
Begitulah rupanya, Percandian Muarajambi tak digunakan dan dibangun pada satu masa. Agaknya masa peradaban di Percandian Muarajambi telah berlangsung selama sekira 500 tahun. Beberapa candi jelas-jelas menunjukan tanda-tanda pembangunan yang bertahap. Seperti Candi Gumpung yang dibangun dua tahap dan Candi Astano yang dibangun dalam tiga tahap.
“Lima ratus tahun nggak pernah ditinggalkan? Artinya daerah ini memang penting dari dulu,” kata Junus lagi.
Permukiman Buddhis
Interpretasi terkait candi-candi di Muarajambi selama ini memang sudah bermunculan. Ia sendiri yakin kalau Muarajambi, secara utuh, adalah suatu pusat permukiman yang kosmopolitan.
“Ada kemungkinan memang dia pernah menjadi suatu kota. Saya tidak berani mengatakan ini ibukota,” tegas Junus.
Bisa disebut kota salah satunya dari temuan artefak yang begitu banyak dan beragam. Asal usulnya pun dari tempat dan masa yang berbeda pula. Lalu jumlah bangunannya. Menurut hitungannya ada lebih dari 100 struktur bangunan di kawasan Situs Muarajambi, baik dalam bentuk candi maupun menapo.
Artinya, tenaga pembangunnya juga pasti tak sedikit. “Tidak mungkin penduduknya sedikit. Pasti ada konsentrasi masyarakat yang hidup ramai-ramai di situ,” jelas Junus.
Baca juga: Mengingat Lagi Muarajambi
Kalau dianalogikan dengan kondisi hari ini, dalam satu kota biasanya terdiri dari jejeran rumah dengan tempat ibadah, pasar, warung, dan lainnya. “Jejeran rumah yang sangat banyak, ada warung, ada masjid, ada pasar, ini kan ada pola,” jelas Junus.
Sementara dengan banyaknya struktur kuno yang ada, masing-masing fungsinya belum banyak terungkap. “Apakah terus digeneralisir? Kan harus dijawab masing-masing fungsinya,” kata Asyhadi Mufsi Sadzali, arkeolog Universitas Jambi, yang ditemui Historia di warung kopi milik warga dekat area Candi Kembar Batu, Muaro Jambi.
Misalnya Musawira, lulusan arkeologi Universitas Jambi yang waktu itu ikut dalam perbincangan mengatakan dalam penelitiannya di Candi Gumpung menemukan bekas-bekas kegiatan agama. Itu berupa temuan bata setengah lingkaran, bagian dari stupa.
Ada pula lantai pradaksina patha pada candi induknya. Pradaksina patha itu lantai untuk melakukan ritual pradaksina, yaitu mengelilingi candi searah jarum jam.
Baca juga: Mencari Sriwijaya di Jambi
Di depan candi induk tadi, ditemukan dua kolam. “Sebelum ritual mereka mensucikan diri, lalu mereka ke candi induk melakukan pradaksina. Kemungkinan yang di candi induk untuk para petinggi, nah yang di perwara (candi pendamping, red.) buat umat kebanyakan," kata Musawira.
Lalu jika Candi Gumpung digunakan untuk kegiatan ibadah, bagaimana dengan Candi Kedaton yang memiliki begitu banyak ruang dan halaman, misalnya? Ditambah temuan belanga dan sumur kunonya.
“Di Kedaton, apakah itu asrama? Ada sumur, ada kuali di sana. Apakah biksu waktu itu memasak? Apakah mereka melibatkan warga lokal? Penyuplai beras siapa? Dari mana suplainya?” sambung Asyhadi.
Banyak peneliti yang menghubungkan Percandian Muarajambi, khususnya Candi Kedaton, dengan mahavihara yang pernah didatangi oleh I-Tsing, biksu dari Tiongkok. Itu sewaktu dia singgah di Mo-lo-yeu pada abad ke-7. Di sana ia bermaksud memperdalam pengetahuannya, yakni tentang ajaran Buddha dan bahasa Sanskerta.
Vihara umumnya adalah tempat tinggal para biksu, untuk mereka berkegiatan sehari-hari mempelajari kitab suci. Di dalamnya ada bangunan khusus untuk melakukan ritual agama.
Ini sejalan dengan yang diungkap arkeolog Agus Widiatmoko dalam disertasinya Situs Muarajambi sebagai Mahavihara Abad ke-7–12 Masehi. Katanya secara keseluruhan Situs Muarajambi bukan semata-mata lokasi ritual dan pemujaan, tertapi juga permukiman keagamaan Buddha.
Baca juga: Mengunjungi Muarajambi, Tempat Belajar I-Tsing
Ia membandingkan situs ini dengan yang ada di Nalanda dan Vikramasila serta pendidikan Buddha Mahayana yang masih berlangsung di Monastic University Sera Jey di India. Kesimpulannya Situs Muarajambi pada masa lalu adalah mahavihara dan pusat pendidikan agama Buddha.
I-Tsing memang tak secara spesifik menyebut nama tempat ia belajar ketika singgah di Mo-lo-yeu. Tapi Mo-lo-yeu kerap diidentikan dengan Kerajaan Malayu di Jambi. Apa yang nampak di Muarajambi pun sangat mirip dengan yang digambarkan oleh I-Tsing dalam catatannya, di mana ribuan biksu belajar di suatu kota berbenteng.
“Kurang pas kalau Muarajambi dikatakan sebagai pusat pemerintahan,” jelas Asyhadi sambil mengangkat gelas kopinya. “Rajanya tidak di wilayah Muaro Jambi, mungkin di tempat lain, tapi pusat pendidikan Buddha-nya ada di sini.”
Tambahkan komentar
Belum ada komentar