Mengunjungi Tempat Belajar I-Tsing
I-Tsing pernah mampir ke Sriwijaya untuk belajar. Diperkirakan ia datang ke tempat yang sekarang disebut sebagai Kompleks Percandian Muaro Jambi.
Para biksu baru saja selesai sarapan. Mereka berlari-lari kecil mengelilingi tembok-tembok mahavihara. Katanya itu ampuh untuk memperlancar pencernaan. Mereka menghabiskan hari-harinya belajar di mahavihara itu. Bangunannya mirip kota berbenteng. Dengan bata-bata yang disusun sebagai tembok. Begitu sunyi dan jauh dari keramaian, mahaviahara tersembunyi di tengah hutan pedalaman Sumatra, di seberang Sungai Batanghari yang lebar.
Kondisi itu dicatat I-Tsing, biksu asal Tiongkok yang pernah melawat ke Sumatra pada abad ke-7 dalam perjalanannya ke Nalanda, India. Suasana ini pula yang terbayang ketika memasuki kawasan Candi Kedaton.
"Dia (I-Tsing, red.) menggambarkan keseharian para biksu yang tinggal di sini. Kalau kita observasi deskripsi ini mirip dengan kompleks Candi Kedaton," ujar Asyhadi Mufsi Sadzali, arkeolog Universitas Jambi, ketika ditemui di Kompleks Percandian Muaro Jambi.
Candi Kedaton merupakan salah satu kompleks candi dari gugusan Kompleks Percandian Muaro Jambi. Dari jalan raya, ia tertutup tembok bata kuno. Namun begitu menyeberangi kanal yang memisahkan kompleks ini, barulah terlihat kelompok bangunan ini adalah yang terbesar di antara gugusan candi-candi di Kawasan Cagar Budaya Muaro Jambi.
Ada tembok pagar keliling setinggi dua kali orang dewasa yang menutup kompleks bangunan kuno itu dari luar. Gerbang asli masuk ke kompleks ini berada di arah berlawanan dari jalan raya. Kendati gapuranya masih berdiri kokoh, wujudnya sudah tak utuh. Mungkin dulunya ia beratap dan berpintu.
Sarnobi, salah satu dari 12 juru pelihara di candi itu, sempat menunjukkan adanya dua baris tulisan Jawa Kuno pada salah satu hiasan Makara pada gapura. Aksaranya bergaya kuadrat, yaitu gaya tulisan yang dipahat menonjol. Titi Surti Nastiti, ahli epigrafi Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, pernah menjelaskan dalam kesempatan yang berbeda kalau gaya tulisan ini muncul pada masa Kadiri dan masih dipakai pada zaman Majapahit.
Berdasarkan tulisan itu, menurut Wiwin Djuwita Sudjana Ramelan dalam Candi Indonesia Seri Sumatera, Kalimantan, Bali, Sumbawa, mungkin Candi Kedaton pernah dipakai sebagai tempat meditasi Mpu Kusuma. "Tempat mengheningkan ciptanya (meditasi, red.) Mpu Kusuma," bunyi tulisannya.
Masuk melewati gapura, di bagian dalam kompleks nampak tembok-tembok bata lain yang lebih rendah. Fungsinya membagi halaman. Sekiranya ada sembilan halaman di sana.
Di dalam halaman-halaman yang terpisah itu ada sepuluh runtuhan bangunan. Di antaranya, bangunan induk, mandapa, dan bangunan perwara yang ukurannya lebih kecil. Ditemukan pula sumur kuno dari susunan bata, juga belanga perunggu yang lebarnya kira-kira satu meter.
"Dulu ini kebun karet, duku, durian. Candinya sebagian utuh, sebagian hancur," ujar Sarnobi yang menemani kunjungan kala itu. "Ada pohon besar sekali di atas candi itu dulunya. Kami ikut juga merobohkannya."
Warga sekitar candilah yang pertama menemukan keberadaan candi itu. Mereka heran mengapa tanah di tempat yang kini nampak candinya itu begitu tinggi. "Ditanam apapun nggak bisa hidup. Rupanya banyak batu kerikil dan candi di dalamnya," kata Sarnobi.
Bata-bata yang berserakan di kawasan itu dulunya juga sering dibawa pulang warga sekitar untuk dijadikan pondasi rumah. "Kan tidak tahu, dibikin pondasi rumah kok bagus," kata Sarnobi sambil tertawa.
Dikunjungi I-Tsing
Banyak peneliti yang mengkaitkan sisa-sisa bangunan di lahan seluas 43.000 m2 itu dengan mahavihara yang pernah didatangi oleh I-Tsing.
Di kota Foshi yang berbenteng itu, menurut Shinta Lee, penerjemah catatan perjalanan I-Tsing dari Komunitas Sudimuja & Jinabhumi, I-Tsing melihat kalau para biksu menganalisis dan mempelajari semua mata pelajaran yang persis seperti yang ada di Kerajaan Tengah (Madhyadesa, India). Misalnya, Pancavidya yang mencakup pelajaran tata bahasa, pengobatan, logika, seni, keterampilan kerajinan, dan ilmu mengelola batin.
"Tata cara dan upacaranya sama sekali tak berbeda," kata Shinta.
Sedangkan menurut Asyhadi, dilihat dari lokasinya, gugusan kompleks percandian Muaro Jambi secara keseluruhan memang cocok sebagai tempat belajar. Dalam mambangun mahavihara para pendirinya pasti memilih lokasi yang jauh dari keramaian. Kalau tak di gunung, maka di tengah hutan.
"Untuk mencari tempat yang sunyi dan cocok untuk belajar jauh dari godaan duniawi," kata Asyhadi. "Kita lihat sekarang sungai ini (Batanghari, red.) begitu luas dan lebar. Bayangkan ribuan tahun lalu mungkin lebih lebar lagi, artinya akses lalu lalang susah dan jarang dilakukan."
Baca juga: Tempat Menyepi dan Belajar Agama
Sayangnya, data pertanggalan yang bisa memperkuat apakah percandian ini semasa dengan kedatangan I-Tsing belum bisa banyak berbicara. Sejauh ini periode pembangunan candi baru bisa diperkirakan lewat adanya temuan keramik Dinasti Tang (618-907) dan yang terbanyak, temuan keramik dari era Dinasti Sung (960-1279).
Ada lagi yang memperkirakan lewat gaya tulisan dalam lempengan emas berisi mantra yang ditemukan dalam kawasan situs di Candi Gumpung. Ahli epigrafi, Boechari menganalisis gaya tulisan itu berasal dari abad ke-7 dan ke-8.
Sementara gaya arsitektur candi di Kompleks Percandian Muaro Jambi tak bisa dijadikan ukuran. "Tak bisa menganalisis arsitektur Muaro Jambi dari abad keberapa karena agak unik. Uniknya candi-candi ini polos dan sederhana," kata Asyhadi.
Baca juga: Tempat Pendidikan Buddha di Nusantara
Arkeolog dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jambi, Ignatius Suharno juga mengatakan perlunya kajian lebih dalam soal apakah benar Candi Kedaton dan candi-candi di sepanjang gugusan Kompleks Percandian Muaro Jambi itu benar yang dimaksudkan I-Tsing dalam catatannya. "Makanya, belum ada catatan jelas atau prasasti terkait Muaro Jambi. Adanya baru analisis-analisis," katanya saat ditemui di kantor BPCB.
Namun, yang pasti semua sepakat. Karena sebagian besar adalah candi, ditambah pentirtaan, dan arca-arca bernapaskan ajaran Buddha, tentunya Kompleks Percandian Muaro Jambi berkaitan dengan pusat keagamaan bagi masyarakat Buddha di masa lalu.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar