Keraguan Terhadap Pararaton
Pararaton berisi kisah magis dan mitologis. Banyak yang meragukan sebagai sumber sejarah.
PENUTURANNYA yang penuh mitos membuat Serat Pararaton banyak yang menyangsikan sebagai sumber sejarah. Namun, sejauh ini Pararaton masih belum tergantikan sebagai sumber penting yang mengungkap kondisi sosial, teruatama era Ken Angrok.
Di samping Kakawin Nagarakrtagama yang ditulis Mpu Prapanca, Pararaton yang tak diketahui siapa penulis juga meriwayatkan era Singhasari hingga Majapahit. Tepatnya dimulai pada masa Ken Angrok, abad ke-13 sampai ke-14. Bahasannya, Jawa Madya.
Baca juga: Prapanca, pujangga Majapahit yang diasingkan
Sejarawan R. Pitono Hardjowardoyo mengatakan jika dibandingkan dengan Nagarakrtagama, maka isi Pararaton lebih beragam terutama ditinjau dari sudut sejarah kebudayaan.
“Lazimnya, oleh para ahli sejarah, Nagarakrtagama lebih bisa dipercaya daripada Pararaton,” katanya.
Peneliti sejarah Jawa Kuno asal Belanda, C.C. Berg salah satu yang skeptis pada Pararaton. Terutama pada bagian awalnya yang tak jelas mana yang fakta dan mana yang khayalan. Dia berpendapat teks Pararaton secara keseluruhan lebih bersifat supranatural dan bukan berdasarkan kejadian sejarah.
Sedangkan Bernard H.M.Vlekke menyebut kisah Pararaton menunjukkan konsep mitologis dan fakta historis terjalin, tak terpisahkan dalam kitab sejarah Jawa ini. “Sebagian pencampuradukan fakta dan fantasi tersebut, yang bagi sejarawan didikan Barat modern sangat menjengkelkan, memang disengaja,” tulisnya dalam Nusantara.
Maksud disengaja bahwa penulis Jawa Kuno punya tujuan yang bukan sekadar mendokumentasikan suatu peristiwa. “Tugas mereka juga untuk memperkokoh raja yang tenaga dalamnya menjadi saka guru kerajaan dan kesejahteraan rakyatnya,” kata Vlekke.
Pitono pun mengatakan perlu diwaspadai jika Pararaton hanya dilihat dari sudut pandang politik. “Keterangan dalam Pararaton tak diketahui dengan jelas asal-usulnya,” ujarnya yang pernah membuat tafsiran Serat Pararaton.
Kendati begitu, kata Pitono, di Katuturanira Ken Angrok banyak unsur mitos yang sebenarnya punya latar belakang politis. Di dalamnya juga bisa didapat latar belakang sosial, ekonomi, dan kebudayaan dari peristiwa sejarah pada abad ke 13-15. Pararaton juga bisa dijadikan sebagai sumber pembanding.
Baca juga: Melacak jejak Ken Angrok
Pada 1897, penelitian pertama tentang Pararaton oleh filolog Belanda, J.L.A Brandes, diterbitkan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Ikatan Kesenian dan Ilmu Batavia) di Batavia. Penerbitan ini meliputi transliterasi naskah lontar Pararaton disertai terjemahan dan pembahasannya dalam bahasa Belanda.
Hasan Djafar mengatakan penerbitan itu membuat sumber penelitian sejarah Singhasari dan Majapahit bertambah. “Walaupun pemberitaan Serat Pararaton tidak dapat seluruhnya diterima, dengan sumber lain sebagai bahan pembanding dan pelengkap, Pararaton ternyata sangat berguna,” ujarnya. Khususnya periode Majapahit akhir yang menurutnya sangat gelap dan sedikit sumbernya. Pasalnya, Pararaton juga memberitakan raja-raja Majapahit akhir meski sangat berbelit.
“Genealogi dan urutannya sukar diikuti. Namun, dengan bantuan beberapa buah prasasti dan sumber sejarah Majapahit lainnya, kami coba susun,” kata Hasan.
Menurut Pitono, Pararaton dihasilkan di Pulau Bali pada abad ke-16. Sedangkan menurut Hasan Pararaton berasal dari masa Majapahit akhir.
Petunjuknya, kata Hasan, pada bagian akhir diketahui peristiwa yang disebutkan adalah gunung meletus pada 1403 Saka (1481 M). Tahun ini bisa jadi pegangan menetapkan waktu penulisan Pararaton.
“Serat Pararaton ditulis tak lama setelah 1403 Saka, yaitu periode Majapahit akhir, pada masa pemerintahan Raja Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya,” tulis Hasan dalam Masa Akhir Majapahit.
Baca juga: Ken Angrok, ksatria yang terkalahkan
Lebih jauh lagi, sejarawan Warsito S. menilai kalau Pararaton adalah manifesto politik dari Maharaja Majapahit keturunan Ken Angrok, yaitu Girindrawardhana.
“Jadi Maharaja Majapahit, yang menyusun Pararaton itu, mengesahkan perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh Ken Angrok terhadap Tunggul Ametung, karena Ken Angrok adalah ahli waris yang berhak atas takhta Tumapel,” tulis Warsito dalam “Benarkah Ken Arok Anak Desa?” termuat di Madjalah Bulanan Pusara Djilid XXVII No. 3-4 Maret-April 1966.
Baca juga: Inilah asal usul Ken Angrok
Terlepas dari itu, pengajar sejarah Universitas Negeri Malang Dwi Cahyono menilai kalau Pararaton tetaplah memuat informasi penting. Sejauh ini Pararaton memuat info terlengkap mengenai sosok Angrok.
“Bahkan bisa dibilang sebagai balada Angrok. Dari sebelum lahir sampai meninggal sampai beberapa penguasa pengganti,” kata arkeolog itu.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar