Ken Dedes Perempuan Utama
Sebagai perempuan utama, Ken Dedes menjadi legitimasi bagi penguasa tanah Jawa.
KEN Dedes kehilangan tempat di samping suami yang dicintainya. Itu setelah kehadiran Ken Umang, Parameswari lain di samping singgasana Ken Angrok. Balatentara yang dapat diperintahnya juga tak ada lagi setelah Angrok merebut kekuasaan di Tumapel. Ia pun kehilangan kepercayaan dari ayah yang dicintai dan dipujanya dengan sepenuh hati.
Sementara di dalam kandungannya, seorang bayi, anaknya dari musuh suaminya, sedang menunggu giliran untuk menjadi penguasa di Tumapel. Belum lagi Ken Umang pun tengah mengandung anak Ken Angrok. Di dalam kandungannya itu ada janin lain yang juga sedang menanti masanya untuk berkuasa di Tumapel.
“Ken Dedes melihat kegelapan di hadapannya, dan ia tak rela. Untuk pertama kali ia biarkan airmatanya berlinang,” tulis Pramoedya Ananta Toer menggambarkan pergolakan hati Ken Dedes di akhir roman karyanya, Arok Dedes.
Dalam Pararaton, Ken Dedes disebut sebagai perempuan ardanareswari, yang artinya memiliki pertanda sebagai perempuan utama. Kendati begitu, dia juga dicitrakan seperti perempuan yang terombang-ambing oleh laki-laki. Dia terkesan tak banyak berperan ketika Tunggul Ametung dibunuh. Dia pun menjalin cinta dengan Ken Angrok tanpa ada pertentangan.
“Ken Dedes terkesan perempuan yang pasrah. Dengan demikian akan bertentangan dengan kata marajaken karma amamadangi,” tulis sejarawan Malang Suwardono dalam Tafsir Baru Kesejarahan Ken Angrok.
Citra Wanita Utama
Ken Dedes adalah tokoh yang sulit diidentifikasikan. Dia hanya diceritakan dalam Pararaton. Tak ada di data teks lainnya. Bahkan, Ken Dedes tak disebut dalam Nagarakrtagama, hanya Ken Angrok sebagai awal silsilah keluarga Majapahit.
Sama seperti Ken Angrok yang pernah dinyatakan sebagai tokoh mistis oleh CC. Berg. Ken Dedes pun dianggap tak pernah ada di dalam sejarah Jawa Masa Hindu-Buddha. “Membuang Ken Dedes dari sejarah Singhasari dan Majapahit sama halnya dengan mengambil satu mata rantai dalam sejarah Jawa,” bantah Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah di Universitas Negeri Malang, ketika ditemui di kediamannya.
Kedudukan istimewa itu nampak terus ditegaskan oleh Pararaton. Beberapa kali serat itu menyatakan, Ken Dedes memiliki pertanda Stri Nareswari yang artinya perempuan utama, perempuan yang paling diunggulkan dari perempuan lainnya. Citra Ken Dedes sebagai perempuan yang perilakunya tercerahkan diperoleh gambarannya dalam Pararaton, sebagai perempuan yang telah mempelajari karma amamadangi.
Karma amamadangi adalah perbuatan atau tindakan yang memperoleh penerangan atau perilaku yang tercerahkan. Pernyataan itu berkaitan dengan tanda istimewa yang dipunyai Ken Dedes, yakni Rahsya yang bersinar (prabha). Pertanda itu sempat disaksikan oleh Ken Angrok ketika Dedes turun dari kereta di Taman Boboji.
Tanda itu, menurut Pararaton, hanya dimiliki orang tertentu yang mendapat karunia dewata. Tak sembarang orang bisa menangkap pancaran sinar itu. Dengan demikian, dia adalah orang pilihan yang memperoleh karuna dewata. Siapa pun yang menikahi, betapapun nestapanya, dia akan menjadi raja besar.
Panggah Ardiyansyah dalam “Mencari Ken Dedes Sisi Lain Rekonstruksi Majapahit dalam Sejarah Nasional Indonesia” yang disampaikannya dalam Seminar Sejarah Nasional 2017 baru-baru ini, menilai penggambaran karakter Ken Dedes ini setidaknya memberikan kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan penceritaan tokoh perempuan pada umumnya. Sesuai gelarnya sebagai parameswari, Dedes bisa dianggap sebagai pemberi legitimasi bagi laki-laki yang memperistrinya.
“Menjadi pasangan Ken Dedes merupakan simbol bagi penguasaan tanah Jawa,” tulis Panggah.
Terlepas dari penggambaran Ken Dedes yang seperti menjadi korban ambisi laki-laki dalam berebut kekuasaan, dia bisa dianggap sebagai figur matriarki dalam takhta Dinasti Rajasa. Berawal dari rahimnyalah raja-raja Singhasari hingga Majapahit dilahirkan.
“Bagaimanapun, dia adalah pengecualian, karena catatan standar Asia Tenggara jarang membiarkan perempuan memainkan tak lebih dari peran minor dalam sejarah,” tulis Barbara Watson Andaya dalam The Flaming Womb: Repositioning Women in Early Modern Southeast Asia.
Dwi Cahyono menambahkan, tidak diberitakannya Ken Dedes dalam prasasti mungkin karena dia bukanlah pewaris takhta dari raja terdahulu. Dia adalah putri seorang rohaniawan. Dalam sejumlah prasasti Jawa masa Hindu-Buddha, istri raja, baik permaisuri ataupun selir, disebut bersama dengan raja yang berkuasa. Misalnya, Pramodhawardhani bersama Rakai Pikatan. Mereka pun disebut dalam konteks legitimasi bagi posisi raja bersangkutan. Tak beda jauh dari itu, Pararaton memiliki gaya tersendiri untuk melegitimasi Ken Angrok dan keturunan Ken Dedes. Itu melalui kekuatan magis, yaitu kemaluan yang bersinar.
Arkeolog Agus Aris Munandar pun sepakat bahwa Ken Dedes sebagai Stri Nareswari dapat disamakan dengan Mahamaya, ibunda pangeran Siddharta dari Kapilawastu. Dari rahimnyalah lahir tokoh besar yang dikenal oleh manusia seluruh dunia, Siddharta Gautama.
“Ken Dedes dimetaforakan sebagai Mayadewi. Ia adalah ikon dari seorang dewi sempurna yang melahirkan tokoh agung pembawa ajaran Buddha,” tulis Agus Aris Munandar dalam “Menafsirkan Ulang Riwayat Ken Angrok dan Ken Dedes dalam Kitab Pararaton”, Jurnal Manassa Berkala Ilmiah Pernaskahan Nusantara Volume 1, Nomor 1, 2011.
Adapun kecantikan Ken Dedes dicitrakan oleh Pararaton sebagai perempuan yang luar biasa cantik. Tak ada yang menyamai kecantikannya, hingga termasyur di sebelah timur Kawi sampai Tumampel. Sosoknya secara legendaris selalu dihubungkan dengan lambang keluwesan, kecantikan, dan tabiat lemah lembut dari seorang perempuan Jawa Kuno.
Bagi Suwardono, sikap diamnya Ken Dedes terhadap kejadian di sekelilingnya adalah wujud kekecewaannya. Itu atas sikap Tunggul Ametung yang tak bersusila. Sang Akuwu telah melakukan salah satu dari astacorah (delapan macam kejahatan yang berhubungan dengan pencurian). “Ken Angrok berperangai buruk, tapi dia tahu mendekati anak brahmana seperti itu salah. Dia tidak memaksakan cinta pada Ken Dedes,” ujarnya ketika ditemui di kediamannya, di Malang.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar