Isaac de Saint-Martin, Tuan Tanah Pengumpul Naskah
Komandan militer VOC yang membantu Sultan Haji melawan ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa.
Pada Maret 1682, pasukan VOC berlayar menuju Banten. Mereka datang untuk membantu putra mahkota, Sultan Haji, yang berperang melawan ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa. Pada saat itu, Sultan Haji sudah terkepung di dalam istananya. Para pendukung Sultan Ageng Tirtayasa telah berhasil merebut kembali kota.
VOC bersedia membantu dengan syarat para budak dan pembelot yang melarikan diri dari Batavia dikembalikan sekalipun mereka telah masuk Islam, para perompak dihukum dan VOC diberi ganti rugi, tuntutan Banten terhadap Cirebon ditarik kembali, keterlibatan dalam masalah Mataram dihentikan, dan yang terpenting orang-orang Eropa saingan VOC diusir dari pelabuhan Banten.
Dengan kata lain, menurut sejarawan M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern, 1200-2004, VOC berjanji akan membantu putra mahkota apabila dia mau melepaskan kebijakan luar negeri Banten yang bebas dan melepaskan basis kemakmurannya. Karena posisinya semakin sulit, akhirnya sang pangeran terpaksa menerima semua persyaratan itu.
Artileri VOC memaksa Sultan Ageng Tirtayasa keluar dari kediamannya. Setelah dikejar sampai ke daerah-daerah pegunungan, dia pun menyerah pada Maret 1683. Dia ditahan di Banten, kemudian dipindahkan ke Batavia, tempatnya wafat pada 1695.
Baca juga: Tjong Ling, Mata-mata Sultan Banten
Salah satu pemimpin pasukan VOC itu adalah Isaac de l’Ostale de Saint-Martin. Dia lahir di Oloron, Bearn, Prancis, pada 1629, dari keluarga bangsawan Huguenot (Calvinis). Tak diketahui kapan dia pergi ke Belanda. Setelah menjalani pelatihan di Angkatan Darat Belanda, dia berangkat ke Batavia. Dia terlibat dalam berbagai ekspedisi militer VOC.
Saint-Martin menjadi letnan di Batavia pada 1662. Dia bertugas di bawah Laksamana Rijcklof van Goens (kemudian menjadi gubernur jenderal VOC 1678-1681) dalam melawan Portugis di pantai barat India. Pada 1663, dia ikut merebut Cochin (Kochi) di Kerala, India. Setelah itu, dia ditugaskan di Kolombo, Ceylon (Srilanka) hingga tahun 1672.
Saint-Martin kembali ke Batavia sebagai kapten, kemudian mayor. Dia kembali terlibat ekspedisi militer VOC dengan membantu Kerajaan Mataram melawan Trunajaya pada 1675. Setelah itu, dia ikut dalam serangan ke Ternate pada 1679.
“Pada tahun 1682, dia memimpin serangan melawan Sultan Ageng Tirtayasa di Banten,” tulis sejarawan Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya: Batas-Batas Pembaratan.
Baca juga: Kepala Kampung Jawa Dihukum Mati dengan Keji
Setelah VOC berhasil menguasai Banten dengan membantu Sultan Haji, Saint-Martin kembali ke Belanda. Pada 1683, dia tinggal di Utrecht dengan rekannya, Hendrik van Rheede, seorang naturalis. Seperti temannya itu, dia tertarik pada botani.
Pada 1684, Saint-Martin berlayar lagi ke Batavia. Namun, tak lama kemudian, dia pergi ke Tanjung Harapan. Pada 1685, dia bersama Simon van der Stel, gubernur Belanda pertama di Tanjung Harapan, melakukan perjalanan ke utara untuk mencari tanaman medis atau ekonomis. Sebuah lembah di utara Piketberg (kota di Western Cape, Afrika Selatan) dinamai Lostal, nama panggilan Saint-Martin.
Tanah dan Naskah
Ketika kembali ke Batavia, Saint-Martin menjadi anggota Dewan Hindia. Sebagai pejabat tentu dia memiliki tanah yang luas di beberapa tempat, seperti di pinggir sebelah timur sungai Bekasi, di Cinere (dulu disebut Ci Kanyere), sebelah timur Sungai Krukut, di Tegalangus, dan di kawasan Ancol. Luas seluruhnya ribuan hektar.
“Satu di antaranya terletak di bekas bandara Kemayoran, dan hampir dapat dipastikan bahwa nama tempat tersebut berhubungan dengan pangkatnya (tanah milik Mayor),” tulis Lombard.
Nama kawasan tersebut biasa disebut Mayoran, seperti tercantum dalam Plakaatboek dan sebuah iklan pada Java Government Gazette, 24 Februari 1816.
Baca juga: Depok, Tanah Warisan Saudagar VOC
Saint-Martin tertarik pada botani. Dia membantu Georg Eberhard Rumphius yang buta, seorang ahli botani Jerman yang meneliti di Pulau Ambon, dalam menyusun dan menerbitkan buku-bukunya.
Selain menaruh minat pada botani, menurut Lombard, Saint-Martin terkenal karena penguasaannya yang luar biasa atas bahasa-bahasa setempat (perfecte taalkunde en goeden ommeganck met die natie, demikian menurut sebuah teks tahun 1682), dan dalam pelbagai kesempatan bertindak sebagai juru bahasa.
Sejarawan Michael Laffan dalam Sejarah Islam di Nusantara lebih spesifik menyebut bahwa “Saint-Martin secara lokal dikenal sebagai pakar mengenai bahasa dan kebudayaan orang-orang Banten…”
Saint-Martin juga mengumpulkan naskah-naskah terutama Melayu. Menurut Laffan, komandan garnisun Batavia itu mengoleksi sekitar 89 manuskrip berbahasa Melayu dan Jawa. Manuskrip-manuskrip ini yang menjadi tulang punggung koleksi Sekretariat Jenderal Batavia.
Daftar naskah-naskah Melayu itu disusun oleh M. Leydecker dan C. Mutter pada Mei 1696, kira-kira sebulan setelah Saint-Martin meninggal dunia pada 14 April 1696. Daftar itu memuat kurang lebih 60 naskah Melayu.
Menurut Henri Chambert-Loir dan Oman Fathurahman dalam Khazanah Naskah: Panduan Koleksi Naskah-naskah Indonesia Sedunia, Philippus Samuel Van Ronkel yang menelitinya menyimpulkan bahwa koleksi Saint-Martin itu pernah menjadi milik pemerintah Hindia Belanda dan kemudian diboyong oleh Thomas Stamford Raffles ke Eropa. Sehingga naskah-naskahnya yang tersisa tersimpan di Royal Asiatic Society di London.
Namun, P. Voorhoeve membuktikan bahwa penjelasan Van Ronkel keliru. Menurutnya daftar naskah-naskah Arab dan Melayu yang disuruh dipindahkan Raffles dari Arsip ke Bataviaasch Genootschap (kini Museum Nasional) susunan C.G.C. Reinwardt, di antara 78 naskah yang didaftarkan, terdapat kurang lebih 30 naskah yang berasal dari koleksi Saint-Martin. Dia menyimpulkan mungkin sekali hampir semua naskah tersebut hilang selama periode kemerosotan Bataviasch Genootschap dalam paruh pertama abad ke-19.
Daftar naskah-naskah Melayu itu sebanyak 77 judul juga dimuat dalam buku tatabahasa Melayu, Maleische Spraakkunst (1736) karya G.H. Werndly, pendeta asal Swiss.
Selain naskah-naskah itu, Saint-Martin mewariskan kepada saudaranya di Oloron, sekitar 1.200 buku dalam berbagai bahasa, seperti Ibrani, Arab, Persia, Portugis, termasuk Melayu. Dia salah satu yang pertama mengumpulkan buku-buku dalam bahasa Melayu. Rumah dan kebunnya di Kemayoran dengan paviliun Jepang dijual kepada Joan van Hoorn (kemudian menjadi gubernur jenderal 1704-1709), karena orang asing (saudaranya) tidak diizinkan memiliki properti di Batavia.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar