Hikayat Putri Cempa dan Islam di Majapahit
Putri Cempa dikisahkan dalam Babad Tanah Jawi sebagai permaisuri yang dikasihi raja Majapahit. Kisahnya berhubungan dengan Islam di Majapahit.
Prabu Brawijaya bermimpi punya istri putri dari Negeri Champa. Paginya, setelah bangun dari tempat tidur, ia memanggil Kiai Patih dan memerintahkannya pergi ke Negeri Champa. Ia titipkan sepucuk surat untuk raja di Champa berisi lamaran untuk putrinya.
Patih Gajah Mada berangkat naik kapal karena negeri itu terletak di seberang lautan. Perjalanan selamat sampai tujuan. Patih menghadap sang raja dan menyerahkan surat lamaran. Raja menerima lamaran itu.
Putri Cempa dibawa ke Jawa. Mereka juga membawa gong Kiai Sekar Delima dan tandu Kiai Jebat Bedri. Rombongan selamat sampai di Majapahit. Sang putri dipertemukan dengan Prabu Brawijaya.
Prabu Brawijaya kemudian menikah lagi dan memperoleh putri dari Cina. Sang prabu sangat mengasihi Putri Cina sehingga Putri Cempa cemburu. Ia tak rela dimadu dan meminta dipulangkan ke negerinya jika istri muda tak disingkirkan.
Prabu Brawijaya tak sampai hati memulangkan Putri Cina. Namun, karena besarnya cinta kepada Putri Cempa, ia pun memerintahkan Gajah Mada untuk menyerahkan Putri Cina kepada Arya Damar, penguasa Palembang, agar diperistri.
Begitulah kisah Putri Cempa dalam Babad Tanah Jawi. Kini, kompleks makam di Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur diyakini banyak orang sebagai pusara Putri Cempa. Lokasinya tak jauh, di utara timur Kolam Segaran.
Kompleks makam Putri Cempa atau banyak orang menyebut Putri Cempo adalah salah satu situs ziarah paling terkenal di Trowulan. Kuburan ini pernah dikunjungi oleh J.W.B. Wardenaar, yang mensurvei tinggalan purbakala di Trowulan atas perintah Letnan Gubernur Hindia Belanda Thomas Stamford Raffles pada 1815. Deskripsi tentangnya kemudian diterbitkan dalam catatan Raffles, History of Java dua tahun kemudian.
“…desa yang berdekatan adalah Trawoelan, atau Trang Wulan (cahaya bulan), di sini kami menemukan makam Putri Champa...,” tulis Raffles ketika menguraikan situs Putri Cempa.
Baca juga: Gajah Mada dan Islam di Majapahit
Menariknya, di makam itu ada lempengan batu andesit halus. Salah satu sisinya, menurut Hadi Sidomulyo, terpahatkan angka tahun 1370 Saka (1442) dan sebuah prasasti pendek.
“Angka-angka yang menyatakan tanggal cukup jelas, tetapi dua baris inskripsi yang menyertainya sejauh ini tampaknya tidak dapat ditafsirkan,” tulis sejarawan Inggris bernama asli Nigel Bullough itu dalam “Gravestones and candi stones. Reflections on the Grave Complex of Troloyo” yang terbit dalam Bulletin de l’Ecole française d’Extrême-Orient.
Makam Putri Cempa itu kini dikeramatkan. Banyak peziarah datang terutama pada malam Jumat Kliwon.
Selain di Trowulan, makam Putri Cempa juga dipercaya masyarakat berada di Gresik. Tepatnya di Gunungsari, Sidomoro, Kebomas, tak jauh dari makam Sunan Giri, ada bangunan makam dengan cungkup berdinding merah.
Negeri Asal Muslim Pertama
Kebenaran makam Putri Cempa itu masih simpang siur. Menurut Hadi Sidomulyo, penjaga makam bahkan bilang batu andesit itu lebih merupakan peringatan daripada nisan dalam arti sebenarnya.
N.J. Krom pun membatasi penjelasannya dengan hanya menyebutnya sebagai “batu bertulis dari Trowulan”. “Mencerminkan ketidakpastian fungsi aslinya,” jelas Hadi Sidomulyo.
Sebaliknya, Damais tak ragu mengidentifikasinya sebagai batu nisan. “Saya pikir kriteria untuk menentukan fungsi dari benda ini tetap terlalu kabur untuk memberikan banyak kepastian,” tulis Hadi Sidomulyo.
Baca juga: Agama-Agama di Majapahit
Bagaimanapun, menurut sejarawan Belanda, H.J. de Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud dalam Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Putri Cempa merupakan tokoh terpenting dalam kisah Jawa mengenai Negeri Cempa. Penceritaan tentang sang putri ini meliputi dua hal.
Pertama, cerita lisan yang dihubung-hubungkan dengan makam Islam di Trowulan. Dua makam berdampingan bercungkup di dalam kompleks makam Putri Cempa itu merupakan milik putri dan suaminya, Damar Wulan, yang diyakini sebagai raja terakhir Majapahit. Begitu yang dijabarkan Hadi Sidomulyo berdasarkan kepercayaan masyarakat.
Adapun dalam Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda, Putri Cempa itu bernama Dwarawati. Ia menikah dengan raja terakhir Majapahit alias Brawijaya V.
Baca juga: Kisah Leluhur Walisongo
Babad Meinsma juga memberi uraian panjang lebar tentang sang putri. Sebagai mas kawin, konon ia membawa barang berharga dari Cempa. Barang ini kelak dijadikan pusaka Keraton Mataram. Di antaranya gong Kiai Sekar Delima dan kereta kuda tertutup Kiai Jebat Betri.
“Barang-barang berharga ini diperoleh Keraton Mataram sebagai barang-barang rampasan perang ketika menyerang Demak,” tulis De Graaf dan Pigeaud.
Kedua, cerita tradisional Jawa yang menghubungkannya dengan orang-orang suci penyebar Islam di Surabaya dan Gresik. “Konon mereka berasal dari Cempa,” tulis De Graaf dan Pigeaud.
Ceritanya, Putri Cempa meninggalkan saudara perempuan di tanah airnya, yang sudah kawin dengan orang Arab. Ipar putri ini dalam Hikayat Hasanuddin dari Banten hanya disebut sebagai Orang Suci dari Tulen, keturunan Syekh Parnen. Dalam babad lain ia diberi nama Raja Pandita, yang dulunya bernama Sayid Kaji Mustakim.
Adapun Babad Meinsma menyebutnya dengan nama Makdum Brahim Asmara, imam dari Asmara. Dalam Sadjarah Dalem, silsilah raja-raja Mataram dan nenek moyang mereka, Maulana Ibrahim Asmara lahir di Tanah Arab. Ia putra Syekh Jumadil Kubra.
Dengan begitu, ia adalah moyang dari garis panjang pemeluk agama Islam, sekaligus yang paling senior dari sembilan wali (wali sanga). “Sembilan wali yang menurut tradisi Jawa abad ke-17 menyebarkan agama di Jawa Timur dan Jawa Tengah,” jelas De Graaf dan Pigeaud.
Menurut Serat Kanda, Raja Champa telah memeluk agama Islam berkat Makdum Ibrahim. Makdum Ibrahim berhasil mengislamkan rakyat Champa. Sebagai tanda terima kasih dan penghargaan, Makdum Ibrahim pun diambil menantu oleh raja dan dikawinkan dengan adik perempuan Putri Cempa, permaisuri Raja Brawijaya V.
Dari perkawinan itu, lahirlah Raden Rahmat dan Raden Santri. “Cempa (Champa) dikatakan sebagai negara asal muslim pertama yang datang ke Jawa,” tulis De Graaf dan Pigeaud.
Hubungan Champa-Jawa
De Graaf dan Pigeaud meletakkan Kerajaan Campa di pantai timur Indocina. Sejak dahulu kala kerajaan di Jawa Timur selalu punya hubungan dengannya. Relasi keduanya mungkin sudah terjadi sebelum ekspedisi Yuan ke Jawa pada awal masa berdirinya Majapahit abad ke-13.
Dalam Prasasti Po Sah di dekat Phanrang dari 1306 disebutkan seorang permaisuri Raja Champa adalah putri dari Jawa bernama Tapasi. Adik Kertanegara itu menikah dengan Raja Jaya Simhawarman III (1287–1307).
Kerja sama itu menguntungkan bagi Jawa ketika Kubilai Khan, kaisar Dinasti Yuan mengirim pasukannya pada 1292 untuk menghukum Kertanegara. Raja Jaya Singhawarman III tidak mengizinkan mereka menurunkan jangkar di pelabuhan Champa untuk mengisi perbekalan.
Baca juga: Cara Penguasa Jawa Melawan Tiongkok
Puncaknya pada abad ke-14 dan ke-15 sebagaimana tercatat dalam Nagarakrtagama.
“Itulah sebabnya mengapa tanpa henti datanglah orang dari semua negeri yang serbaneka, India, Kamboja, Cina, Vietnam, dan Campa, Karnataka, Gaur, dan Siam,” catat Mpu Prapanca dalam Nagarakrtagama. “Dari semua daerah itu mereka berdatangan naik perahu dan berjejalan, kerumunan lebat pedagang.”
Sementara itu, arkeolog Uka Tjandrasasmita dalam Arkeologi Islam Nusantara, menyebutkan makam Putri Cempa yang berada di tengah makam muslim kuno Trowulan itu bisa dikaitkan dengan hubungan antara masyarakat muslim di pantai selatan Tiongkok, India, dan Timur Tengah sebagai poros pelayaran.
“Hubungan antara Champa dan Jawa Timur dapat dikaitkan dengan sebuah legenda yang menyebutkan perkawinan antara Putri Campa dengan raja Majapahit,” tulis Uka.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar