Banjir di Kerajaan Tarumanegara
Raja Purnawarman dan rakyat Tarumanegara telah memiliki kesadaran adaptif-ekologis. Suatu teladan bijak dari masa lampau.
Dahulu sungai yang bernama Candrabhaga digali oleh maharaja yang mulia dan memiliki lengan kencang serta kuat, yaitu Purnnawarmman. Alirannya ditujukan ke laut. Itu setelah saluran sungainya sampai di istana kerajaan yang termasyhur.
Pada tahun ke-22 bertakhtanya Yang Mulia Raja Purnawarmman yang berkilau-kilauan karena kepandaian dan kebijaksanaannya serta menjadi panji-panji segala raja, ia menitahkan pula menggali kali yang permai dan berair jernih. Gomati namanya. Itu setelah alirannya melintas di tengah-tengah tanah kediaman Yang Mulia Sang Pendeta Nenekda Sang Purnnawarmman.
Pekerjaan ini dimulai pada hari baik tanggal 8 paro-gelap bulan Phalguna. Lalu disudahi pada tanggal ke-13 paro-terang bulan Caitra. Jadi hanya berlangsung 21 hari lamanya. Saluran galian itu panjangnya 6.122 tumbak. Selamatan baginya dilakukan oleh para Brahmana disertai 1.000 ekor sapi yang dihadiahkan.
Begitulah yang dicatat Prasasti Tugu, peninggalan Raja Purnawarman. Prasasti itu diperkirakan ditulis pada abad ke-5, yaitu pada tahun ke-22 pemerintahan Raja Purnawarman.
“Pokok isi Prasasti Tugu adalah penggalian dua sungai, yaitu Sungai Candrabhaga dan Sungai Gomati,” kata Dwi Cahyono, dosen sejarah dan arkeolog Universitas Negeri Malang.
Baca juga: Hidup di Kawasan Rawan Banjir
Kali Gomati digali atas perintah dari Purnawarman. Bahkan, sang raja mungkin terjun langsung dalam penggalian itu. Pasalnya, teks dalam prasasti mengibaratkan sang raja memiliki lengan kencang serta kuat.
“Waktu penggalian dilakukan pada tahun ke-22 masa pemerintahannya, ketika Purnawarman telah berusia separoh baya,” ujar Dwi.
Banyak yang menafsirkan bahwa saluran-saluran itu dibuat untuk mengatasi banjir. Salma Fitri Kusumastuti dalam “Banjir dalam Beberapa Berita Prasasti” termuat di Menggores Aksara, Mengurai Kata, Menafsir Makna, menjelaskan bahwa prasasti itu mengindikasikan Kali Chandrabhaga digali Raja Purnawarman karena alirannya sampai ke istana. Untuk kedua kalinya Raja Purnawarman kembali memerintahkan penggalian kali yang lain, Gomati.
“Air yang masuk ke lingkungan kerajaan dapat diartikan sebagai banjir,” tulis Salma.
Karena mungkin masih mengganggu kehidupan di istana, Purnawarman pun mengambil langkah dengan menggali saluran lainnya. Prasasti beraksara Pallawa dan berbahasa Sanskerta itu menyebutkan penggalian kedua selesai selama 21 hari. Dimulai sejak tanggal 8 paro-gelap (krsnapaksa) bulan Phalguna hingga 13 paro terang (sukapaksa) bulan Caitra.
Menurut Dwi kalau dikonversikan ke masa sekarang kegiatan ini berlangsung sejak pertengahan Februari-Maret hingga pertengahan Maret-April. “Bisa jadi untuk memperlebar dan memperdalam aliran air sungai kecil yang telah ada sebelumnya, sepanjang 6.122 tumbak,” kata Dwi.
Baca juga: Raja Pembangun Bendungan
Prasasti Tugu memakai satuan pengukuran tumbak sebagai satuan ukuran tanah. Pada lingkungan budaya Sunda, 1 tumbak sama dengan 14 m². Sebutan lainnya di Jawa untuk tumbak adalah ubin atau bata. Apabila ruas sungai Gomati yang digali adalah 6.122 tumbak, artinya ruas yang digali adalah 6.122 x 14 m² sama dengan 85.708 m².
“Galian seluas itu dikerjakan selama 21 hari. Suatu luas gali yang besar untuk ukuran zamannya, yang untuk itu butuh pengerahan orang dalam jumlah besar,” kata Dwi.
Letak Bencana
Empat belas abad kemudian, Prasasti Tugu ditemukan kembali di Jakarta Utara. Dalam laporan Notulen Bataviaasch Genootschap 1879 disebutkan bahwa Prasasti Tugu ditemuan di Kampung Tugu. Saat ini unsur nama “Tugu” ditemukan pada nama dua kelurahan di Kecamatan Koja, Jakarta Utara, Kelurahan Tugu Utara, dan Kelurahan Tugu Selatan.
Di Kecamatan Koja, terdapat kelurahan lain bernama Koja, Lagoa, Rawa Badak Selatan, dan Rawa Badak Utara. Melihat ini, kata Dwi, sangat mungkin kalau wilayah Tugu Utara dulunya sempat berupa areal perairan sub-marine. Sementara kelurahan Tugu Selatan berbatasan dengan jalan Plumpang-Semper, Kelurahan Tugu Utara, Kali Bendungan Melayu, Kelurahan Rawa Badak Selatan, Kali Cakung Lama di Kelurahan Semper Barat, dan Kali Bendungan Batik di Kelurahan Pegangsaan Dua.
Karenanya, menurut Dwi, lokasi awal berdirinya Prasasti Tugu pasti di Kelurahan Tugu Selatan. Tepatnya di suatu kampung bernama “Batu Tumbuh”, yang ada di sekitar Simpang Lima Semper, tak jauh dari tepi Kali Cakung Lama.
Baca juga: Saat Jakarta Dikepung Banjir
“Boleh jadi, toponimi ‘Tugu’ yang kini menjadi nama dari dua kelurahan itu berasal dari adanya batu prasasti, yang bentuknya silindirs, yang menyerupai tugu batu,” kata Dwi. “Ketika diketemukan pada 1879, seolah ada batu yang tumbuh dari dalam tanah, sehingga muncul sebutan Batu Tumbuh.”
Kini nama kampung Batu Tumbuh jarang dikenal publik. Untungnya, masih ada lorong pendek di dalam kampung yang mempunyai nama Jalan Batu Tumbuh, dengan akses timur ke barat, melintasi Sungai Cakung Lama yang mengalir dari selatan ke utara.
Konon, kata Dwi, beberapa meter sebelah utara dari ujung barat lorong itu dulunya ada semacam punden desa. Punden desa biasanya sebutan untuk awal mula desa itu berkembang. Oleh warga setempat lokasi itu dinamai Kramat Batu Tumbuh.
“Sayangnya, kini sudah tak ada lantaran kena gusur untuk pelebaran Jalan Pegangsaan Dua,” kata Dwi.
Sungai Itu Kini
Filolog, R.M.NG. Poerbatjaraka dalam Riwayat Indonesia I menulis kalau Sungai Candrabhaga yang disebut dalam Prasasti Tugu kini berubah sebutan menjadi Kali Bekasi. Namanya mengalami perubahan dari Candra, yang berarti bulan dan Bhaga, menjadi Bhaga dan Candra, kemudian Bhaga dan Sasi. Sama seperti candra, sasi berarti bulan.
Kali Candrabhaga atau yang kini menjadi Kali Bekasi, menurut prasasti mengalir melintasi istana Kerajaan Tarumanagara yang masyhur. Artinya, kemungkinan lokasi Tarumanagara berada di Daerah Aliran Sungai Kali Bekasi sekarang.
Adapun nama Gomati, kata Dwi, dipinjam dari nama sungai di India. Ia adalah anak dari Sungai Gangga, sebagai sungai suci. “Baik Sungai Gomati atau Candrabhaga merupakan nama dua sungai yang terkenal di Punjab,” kata Dwi.
Sungai Gomati kini berubah sebutan menjadi Kali Cakung Lama. Unsur sebutan “lama” memberikan gambaran bahwa sungai kecil ini adalah kali purba.
Baca juga: Air Mengalir Sampai Banjir
Sungai Cakung kini menjadi buangan banjir dari Kota Bekasi maupun Jakarta Timur dan Utara. Nama-nama di kawasan itu mempunyai unsur “rawa”, seperti Rawa Badak, Rawamangun, Rawasari, Rawa Lumbu, Rawa Bebek, Rawa Terate, Rawa Bunga, dan seterusnya. Adapula tempat-tempat yang mempunyai unsur nama “pulo”, yaitu daratan yang menyembul di perairan rawa. Seperti Pulo Gadung dan Pulo Gebang. Ada pula unsur nama “muara”, misalnya Kamal Muara, Kapuk Muara, dan Cipinang Muara. Terdapat juga unsur nama “teluk”, seperti Teluk Pucung, serta habitat “buaya”, seperti Lubang Buaya.
Karenanya Kali Candrabhaga maupun Kali Gomati sengaja digali untuk menangani banjir tahunan pada sekitar pusat pemerintahan Tarumanagara di daerah Bekasi dan Jakarta Timur sekarang. Ikhtiar ini didasari oleh kesadarannya bahwa areal tempat ia tinggal berawa-rawa, yang rentan banjir di musim penghujan.
“Kesadaran adaptif-ekologis telah dimiliki oleh raja Purnawarman beserta rakyat Tarumanegara kala itu. Suatu teladan bijak dari masa lampau,” kata Dwi.
Baca juga: Raja Pembangun Kanal
Candrabhaga dan Gomati, kata Dwi, merupakan sungai-sungai yang penting di wilayah kekuasaan Tarumanegara, selain sungai induk Citarum, yang unsur “tarum”-nya dijadikan sebagai unsur nama dari kerajaan Tarum(anagara).
“Ketiganya adalah sungai-sungai yang rentan menimbulkan bencana air bah pada wilayah yang menjadi DAS-nya,” ujarnya.
Kini, Kali Cakung yang dulu adalah buah karya Maharaja Purnawarman sebagai solusi banjir justru menjadi salah satu biang banjir di kala penghujan. “Tragis memang,” kata Dwi.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar